10. #Rumah dan sakit

340 21 3
                                    

Untuk orang sudah nyelakain lo kayak gue itu lebih pantes
buat lo judesin, itu lebih baik. Dari pada lo tersenyum
manis seperti sekarang.
-Rizky saputra

--Rainfall--

Lelaki yang masih mengenakan seragam sekolahnya, dengan tampang sedu berjalan celikak-celikuk berputar-putar di tempat yang sama saja. Rizky di temani oleh bu Intan sang kepala UKS. Beberapa saat yang lalu pihak sekolah merujuk Resya segera di larikan ke rumah sakit terdekat agar segera mendapatkan penindakkan lebih lanjut, dikarenakan pihak uks sekolah tidak sanggup menjamin karena sakit Resya tidak dapat di tanggani begitu saja. Jadilah sekarang, mereka ada disini.

Glek!

Suara pintu terdengar telah terbuka. Menampilkan sosok wanita muda dengan balutan jas putih. Wanita itu tersenyum kearah Rizky dan bu Intan. Segera mereka mendekat.

"Gimana keadaan murid saya, Dok?" itu suara Bu Intan yang menanyakan perihal yang sama seperti yang ada dalam bayangan Rizky.

"Keadaannya sudah membaik kok, Bu. Tubuhnya sedang mengalami respon abnormal terhadap sesuatu yang masuk ke tubuhnya atau mengenai langsung dengan tubuhnya. Keadaan ini biasanya disebut gejala elergi. Dan tingkatan elergi yang dialami oleh murid Ibu ini sudah fase yang perlu di khawatirkan" jelas sang dokter.

"Lalu, dokter tahu Resya itu elergi terhadap apa, Dok?" tanya Rizky.

"Begini, untuk sekarang kami tidak dapat memastikan jenis elergi terhadap apa yang di derita pasien. Namun, dari gejala yang timbul, seperti sekitaran wajah membengkak, lalu di susul dengan sesak nafas, hal ini bisa saja memungkinkan jika pasien mengalami elergi terhadap makan yang di konsumsinya. Jadi, saya sarankan agar keluarga pasien melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui lebih dalam." sang dokter berhenti sejenak,sedangkan Rizky beserta bu Intan hanya mengangguk-angguk. "Untuk sekarang ini, saya sudah membuat resep untuk pasien, ini tolong di tebus di apotik!" dokter mengutas senyumnya diakhir kalimatnya.

"Baik dok, terima kasih. Dan, apakah Resya bisa segera pulang, dok? Atau mesti rawat inap?" Bu Intan mengeluarkan suaranya.

"Saat ini kondisi pasien masih sangat lemas, daya kekebalan dan energi tubuhnya cukup banyak terkuras, jadi lebih baik biarkan ia istirahat dulu, bu. Baru besok dibawa pulang." lagi-lagi Rizky dan bu Intan hanya mengangguk.

"Baiklah, Bu. Saya permisi dulu. Dan untuk pasien sudah bisa di jenguk," ucap dokter dan langsung melangkah pergi. Rizky dan Bu Intan pun membuka pintu ruangan dan masuk ke salam sana. Tempat Resya dirawat.

***


"Bu, Resya mau pulang aja, yah?"

"Gak bisa gitu, Resya. Kata dokter tadi, kamu harus rawat disini dulu untuk hari ini, besok baru dibolehin pulang. Badan kamu itu masih lemes, nak."

"Tapi, bu.."

"Udahlah, Sya. Nurut aja, kek." sambung Rizky

"Sementar, ibu hubungin orang tua kamu dulu." Bu Intan melengang keluar dari ruangan.

Resya kini terbaring lemas, matanya masih memerah, dan tangan kirinya di infus. Rizky yang sedari tadi berdiri kini beralih menarik kursi dan duduk di samping ranjang Resya. Lelaki itu manatap lekat sosok perempuan yang memandang kosong kearah depan.

Entahlah, bagi Rizky sosok Resya selalu saja terlihat misterius, dan susah untuk di tebak. Ia menghela nafas berat, namun tak bersuara. Di tariknya perlahan telapak tangan Resya yang masih terinfus. Membuat Resya menoleh kaget.

"Sya.."

"Hm,"

"Lo marah, yah sama gue? Maafin gue, Sya gue beneran gak tahu lo elergi. Lo pasti kayak gini gara-gara makan roti gue. Lo kenapa gak bilang lo, bisa elergi roti? Atau, lo juga gak sadar?"

Resya tertawa pelan. Rizky yang sedang berada di mode serius menjadi kesal. Mengapa gadis tengil itu malah tertawa?

"Lo kenapa sih, Sya? Jangan-jangan efek dari elergi tadi saraf lo ada yang putus, lagi! Ya ampun, padahal saraf lo udah banyak yang putus sekarang tambah lagi. Yang sabar yah, Sya"

Rasanya Resya ingin sekali menjitak kepala sang lelaki di sampingnya ini. Tidak punya perasaan memang, temennya sakit malah diginiin lagi. Lihatlah, sekarang dengan tampang polosnya ia menunduk kepalanya dan jemarinya dengan seenak jidat menggenggap telapak tangan Resya. Apa-apaan ini?

"Riz, lepasin deh. Gak usah melow gitu, deh. Norak, tahu!" gadis itu menepis telapak tangan Rizky yang menggenggam tangannya.

"Maafin gue, yah, Sya? Gue merasa bersalah, loh."

Di dalam ruangan bernuansa putih, dengan bau khas rumah sakit, tawa Resya pecah dengan nyaring. "Riz, gue tuh sebenarnya cuma elergi cokelat. Kan, gue pernah bilang sama lo, gue suka cokelat cuma akhir-akhir ini gue jarang makan itu, gue sendiri juga gak sadar elergi itu. Terakhir gue makan cokelat batang, itu pemberian abang gue biar gue gak nangis lagi, tapi setelah makan itu langsung gatel-gatel. Dan, tadi itu juga gue gak sadar itu roti isinya cokelat, yah perut gue laper, sih, hehee.. Jadi lo gak usah sok merasa bersalah gitu, deh. Jijik tahu, gak?"

"Tapi itu karena gue gue, Sya!" Rizky sepertinya masih merasa bersalah. Resya, gadis yang kini terbaring itu, tersenyum hangat, Rizky yang menatapnya merasakan ketulusan dari balik senyum itu. "Gue, baik-baik aja. Tapi, gue pengen pulang, Riz." lirih Resya pelan, seakan ia mengucapkan kalimat itu seperti sedang mengadu.

Rizky menghembus nafas gusar, "Kenapa sih, Sya lo masih senyumin gue gini. Padahal juga, gue yang buat keadaan lo gini!?" keluh Rizky kesal. Aneh memang, kenapa ia harus merasa kesal?

"Gue sakit itu karena memang jatah sakit."

Setelah Resya mengeluarkan ucapannya, keduanya menjadi diam. Suasana begitu hening.

Resya yang tengah berbaring pun menoleh kearah pintu ketika bu Intan kembali masuk.

"Gimana, Bu? Ibu udah kasih kabar Resya ke mama-papa, Resya?" tanya Resya.

Bu Intan menghela nafas. "Ibu sudah usaha, Resya. Tapi sepertinya orang tua kamu lagi, sibuk. Tadi pihak sekolah sudah ngirim nomor kontak orang tua kamu, tapi ibu kamu saya telfon gak aktif. Sedang papa kamu, pas ibu telfon hpnya ketinggalan di kantor, papa kamu lagi keluar. Sekretarisnya yang angkat." jelas Bu Intan panjang lebar untung tidak di kali tinggi.

Resya sudah dapat memastikan itu. Orang tuanya adalah manusia yang sangat menghargai pekerjaan. Tetapi, tidak dengan anaknya. Lihat saja sekarang, ketika ia sakit dan malah orang lain yang merasa khawatir bukan orang tuanya. Tentu saja, ia merasa sedih. Padahal beberapa menit lalu, ia sempat berharap bahwa rang tuanya akan datang, dengan wajah di liputi rasa khawatir. Namun ternyata, ia kembali menerima kenyataan yang berhasil mematahkan harapannya.

"Ya udah, Bu. Mendingan, Resya dibawa pulang aja, yah? Di sini juga, Resya gak ada yang jagain. Kan, ibu gak mungkin. Beneran, Resya udah mendingan sekarang, Bu." Resya memohon pada Bu Intan.

"Iya, Bu. Kayaknya ada benernya, juga. Kita gak bisa maksa, sedangkan orang tuanya belum tahu, Resya ada di sini. Kalau ada apa-apa nanti, gimana." Rizky ikut menyambung. Ia merasa kasian pada Resya. Karena ia juga merasa bersalah, jadi tak ada salahnya jika ia mencoba membantu Resya sesuai keinginan gadis itu. Asal dia bahagia.

"Ya sudah kalau begitu. Ibu mau urus adrimistrasi dahulu. Kamu bantuin Resya siap-siap, biar nanti kita langsung bisa pulang."

Rizky mengangguk, Bu Intan kembali melangkah keluar. Harusnya Resya tersenyum, tetapi masih murung.

--Rainfall--

Niatnya tadi mau lanjut lagi, cuma aku potong aja, kepanjangan ntar.
Kalau cepet siap part selanjutnya, bakal aku up segera, kok. Mumpung ide lagi berpesta. Lagian, aku lagi pengen cepet namatin Rainfall, soalnya ada yang sudah menanti di lapak pribadi. Hehee.. Jadi curhat di sini.

Salam hangat,
maulinar18
 


RainfallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang