Bab 6

32 3 0
                                    

Bayu menyesap minumannya lagi setelah menjawab pertanyaanku tentang kelopak mataku yang masih sembab seperti tadi atau tidak. Dia membuka tasnya kemudian mengeluarkan sebuah buku yang sedikit usang dan berdebu. Kertasnya sudah berwarna kuning khas buku lama. Aromanya pun sudah digantikan aroma yang kurang menyenangkan.

Dia membuka di halaman paling akhir. Bergumam membaca sesuatu yang tidak terlalu terdengar dengan jelas. Kemudian mengulangnya lagi sambil tampak berpikir.

"Seorang laki-laki pemberani dan seorang puteri. Mereka tumbuh bersama kemudian saling terpisah"

Dahinya mengernyit, mungkin juga tengah meneliti maksud dari kalimat itu. Aku menyenggol tangan kanannya.

"Baca apaan sih? Mukamu gitu banget"

Bayu menatapku sebentar kemudian menunjukkan padaku apa yang tengah ia baca.

Aku menyentuh lembaran buku itu. Seperti kelihatannya, kasar dan berdebu. Manik mataku meneliti tulisan tegak bersambung yang sudah agak luntur warnanya. 

"Seorang laki-laki pemberani dan seorang puteri. Mereka tumbuh bersama kemudian saling terpisah"

Aku mengulanginya beberapa kali sambil mencerna makna dari tulisan ini.

"Kamu dapet ginian dari mana sih?"

Bayu menegakkan kepalanya dan menatap manik mataku. "Dari almarhumah mamaku"

"S-sorry, Bay. Aku nggak tau"

Dia mengangguk dan tersenyum tipis, "it's okay".

"Menurutku, mungkin ini ada hubungannya sih sama adikmu. Kemaren kamu ngasih aku foto itu kan? Yang gambarnya pun udah agak pudar. Itu adikmu, kan?"

Bayu mengangguk. Matanya menerawang sesuatu yang tampak mengganggunya. "Aku bingung harus gimana sekarang. Aku ingat dulu sering main layangan sama dia. Tapi entah kenapa karena sesuatu hal, aku terbangun di rumah sakit dan tidak pernah bertemu dengan dia setelah itu"

"Aku emang baru kenal sama kamu. Tapi aku percaya kamu pasti bisa ketemu sama dia" Aku menepuk bahunya pelan, kemudian mengeluarkan pesanannya.

*

Aku membuka pintu dan menemukan ayah yang sedang duduk di kursi tengah sambil membaca sebuah buku. Ia melepaskan kacamatanya saat melihatku selesai menutup pintu.

"Ra, kamu sudah pulang. Sudah makan? Ayah siapin makanannya, ya? Kebetulan ibu kamu lagi keluar jadi-"

"Stop, Yah. Aku minta maaf. Aku hargain ayah yang mau coba buat berubah. Tapi aku masih belum bisa menerima kehadiran ayah kembali secepat ini"

Langkah kakiku menaiki anak tangga, mencoba menepis kenyataan bahwa ayahku sudah ada di rumah. Dia pulang dan sekarang sedang melihatku naik untuk segera masuk ke dalam kamar. Semua yang dilakukan ayah dulu masih begitu membekas di pikiranku.

"Ra, ayah perlu bicara"

Aku menoleh ke arah ayah yang sedang menatapku. Tatapannya menyiratkan sejuta penyesalan, entah benar-benar penyesalan atau hanya kepura-puraan. Tidak seperti dahulu yang manik matanya selalu menatap tajam seperti elang, tidak seperti dahulu yang tatapannya seakan mengartikan dia akan menyakiti semua orang.

Aku duduk sambil terus menunduk, tidak ingin melihat matanya. Pria itu berdeham. Entah mengapa aku terus menerus berpikir bahwa semua ini hanya kedoknya agar bisa diterima kembali di rumah ini saat tidak ada yang mau menerimanya kembali, bahkan keluarga besarnya sendiri. Aku ingat saat pria itu diringkus oleh pihak berwajib karena terlilit hutang dengan teman judinya. Juga atas kasus kekerasan yang menimpanya.

Nafira dan SadewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang