Bab 7

20 4 0
                                    

Kabar gembira di pagi hari saat aku memberanikan diri menimbang berat badanku. Sudah turun 3 kilogram selama 2 bulan ini. Aku bersyukur bukan main karena sedikit demi sedikit, berat badanku bisa turun. Sungguh, selama ini aku selalu gagal menjalani dietku dan lagi-lagi hanya bisa turun satu atau dua kilogram lalu kemudian kembali lagi. Aku merasakan yang berbeda kali ini adalah karena aku berhasil menciptakan pola pikir yang bagus soal diet. Dulu aku menanamkan bahwa diet harus dijalani secara ketat dan keras, tapi tidak. Sekarang aku diet dengan masih makan teratur, makan makanan yang tinggi serat untuk mencegah lapar yang sering, lalu berolahraga teratur. Untuk saat ini, olahraga yang kujalani juga pelan-pelan dan melakukan gerakan-gerakan yang aku bisa, yang aku lakukan dengan melihat youtube. Sebenarnya hasilnya mungkin bisa lebih bagus saat aku mengikuti saran Anggi. Ikut kelas yoga. Anggi tidak menyarankanku untuk ikut kelas fitness karena katanya, aku mungkin ke depannya bisa tidak konsisten karena dia tahu, aku benci hal-hal yang menggunakan banyak tenaga fisik, apalagi dalam waktu yang panjang.

Kebahagiaanku bertambah lagi saat aku membuka aplikasi kampus, aku melihat ipk-ku yang lumayan bagus.

"Ibu bakal izinin kamu buat pergi ke Jogja kalau Ipk kamu semester ini di atas 3.6. Bisa nggak?" Kata Ibu saat aku merengek meminta izin untuk pergi ke Jogja. Ibu bukan orang yang dengan mudah memberi izin, apalagi izin untuk anaknya pergi ke luar kota sendirian.

Tentu saja menjadi sebuah pacuan yang membuatku lebih giat dari biasanya. Aku sudah lama ingin pergi ke Jogja, menikmati Malioboro, lalu membeli bakpia kukus kesukaanku. Ah, membayangkannya saja aku sudah sangat tidak sabar.

"Semuanya udah siap, Ra? Nggak ada yang ketinggalan lagi?"

Aku mengangguk setelah melihat driver ojek online yang menaikkan satu tas cangklinganku di depannya. "Udah, Bu. Nanti Ra kabari kalo udah sampai di stasiun ya, Bu"

Setelah menyalami ibu, ayah, dan berpamitan dengan Gea, aku memakai helm berwarna hijau itu dan segera naik ke atas motor.

Kalau naik ojek online begini, aku kadang masih takut. Waktu dulu aku pernah pergi kuliah menggunakan jasa ojek online. Saat aku keluar rumah, aku langsung mendapatkan tatapan aneh dari driver itu. Dia seperti menghela napasnya berat, raut wajahnya tampak kesal. Aku berusaha biasa saja, karena kupikir, itu mungkin hanya perasaanku saja. Saat aku meminta helm, driver itu berkata pelan, "Waduh kok orangnya gede gini. Bisa kempes nih bannya"

Aku mendengar itu. Rasanya sakit sekali. Bahkan seorang driver ojek online saja mengeluh karena tubuhku. Aku benar-benar menahan tangis.

"Saya denger, Pak. Kalau nggak mau nganter, udah bapak cancel aja. Saya bisa aja lapor ke atasan bapak atas perbuatan yang tidak menyenangkan dan membuat saya tersinggung. Tapi saya nggak bakal lapor karena saya nggak mau jahat ke orang yang bikin saya sakit hati kayak gini"

Driver ojek online itu tampak gelagapan. Dia menatapku dengan raut wajah yang khawatir dan seperti merasa bersalah. Bibirnya tiba-tiba pucat.

Hhh. Manusia. Kalau bicara tidak berpikir, setelah seperti ini baru merasa bersalah. Sama seperti orang-orang yang suka melakukan tindakan bodoh, lalu saat tindakan itu dikecam dan viral, barulah membuat klasifikasi. Berbuat salah-klarifikasi-masalah selesai. Lingkaran setan yang membuatku terkadang muak sendiri. Padahal ada banyak yang dirugikan atas hal itu, tapi seperti tidak ada tanggung jawabnya sama sekali.

Stasiun tampak ramai, dengan aroma ayam dan roti yang khas, langsung masuk ke indera penciumanku dengan sopan. Aku segera pergi ke tempat untuk mencetak tiket kereta, kemudian memastikan bahwa yang kubawa sudah lengkap.

Syukurlah aku mendapatkan tempat di dekat jendela. Sedangkan kursi di depan dan di sampingku masih kosong. Aku mulai membuka ponselku dan memutuskan untuk mendengarkan lagu.

Nafira dan SadewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang