Bab 4

51 7 0
                                    

Aku dan Anggi mulai dekat. Walaupun kami berbeda kampus, Anggi cukup bisa menempatkan dirinya. Tentunya dengan tetap sopan, walaupun kami sudah menjadi teman baik. Teman? Ya. Aku sudah menganggapnya teman. Anggi, dia adalah temanku. Aku begitu bangga dan tentunya, aku senang dengan hal itu. Jika kebanyakan perempuan bangga dengan embel-embel "aku bangga punya pacar seperti dia", maka aku bangga memiliki Anggi sebagai temanku. Baru sekitar dua minggu, dan aku sudah cukup nyaman dengannya.

Mungkinkah karena selama ini memang aku yang terbiasa dengan kesendirian, dan dalam hatiku yang paling dalam sebenarnya aku merasa kesepian? Mungkin saja. Perihal itu, aku juga tidak ingin menafikkannya, bahwa sebenarnya setiap orang butuh teman. Berita baiknya, aku dan Adnan juga sudah mulai berkomunikasi lagi. Setidaknya sekarang aku punya 2 teman yang baik padaku.

Tentang teman, aku pernah mendengar bahwa sebenarnya tidak ada yang namanya teman. Dalam hal ini, teman yang sebenarnya adalah dirimu sendiri. Ada banyak hal yang bisa kamu lakukan dengan dirimu sendiri. Di samping itu, kamu juga tidak perlu untuk bergantung kepada orang lain. Tentunya bergantung pada orang lain dan membutuhkan orang lain itu dua hal yang berbeda. Tetapi setiap orang punya pendapatnya masing-masing. Punya pandangannya masing-masing. Pemikiranmu mungkin saja berbeda dengan apa yang aku pikirkan selama ini.

Anggi tengah menungguku di suatu tempat makan yang juga menyediakan perpustakaan mini di sudut ruangan ini. Dia sedang ingin mengobrol katanya. Sedangkan aku sendiri sedang mulai membiasakan diri untuk berbicara dengan orang lain yang dekat denganku. Tidak semudah itu kan? Aku terbiasa berbicara dengan orang yang hanya sebatas kenal. Bukan dalam konteks, sudah kuanggap sebagai teman.

"Aku nemu ini di tasku"

Anggi memberikan secarik kertas padaku,dengan wajah menunduk. Sepertinya dia menangis.

Sekarang cuacanya lagi nggak bagus, nih. Lagi berangin. Kamu hati-hati nanti kebawa angin ya. Abisnya ringan banget sih, kurus banget. Makan gih, biar nggak kayak orang terlantar hahaha

Anggi tampak sedih, sedangkan aku tersenyum. Anggi sudah harus mulai belajar untuk tidak menanggapi apa-apa saja yang membuatnya down. Terkadang juga banyak orang yang bahkan tidak mengerti apa yang sedang ia bicarakan. Ada juga yang tidak tahu, atau mungkin tidak mau tahu, dampaknya pada orang lain dikarenakan kalimat yang keluar dari mulutnya. Dasar memang mulutnya seperti tidak pernah sekolah.

"Nggi, kamu itu nggak perlu buat nutup mulut semua orang atau menutup mata semua orang. Yang perlu kamu lakuin, tutup kedua telingamu. Kita ini sama-sama manusia. Kamu ngga perlu takut. Kita ngga ngerugiin mereka dan kita ngga bikin mereka celaka kan? Kamu hidup dengan tubuhmu sendiri. Selamanya, sampai mati. Perbaiki apa yang bisa diperbaiki, optimalkan apa yang baik dalam diri kita sendiri"

Anggi mengusap wajahnya yang basah karena air mata.

"Kamu mau mulai memperbaiki semuanya sama aku? Kita harus saling support satu sama lain"

Ini yang aku maksud. Beberapa orang memang terlahir dengan keadaannya masing-masing. Namun orang-orang di sekitarnya tidak pernah bisa berhenti untuk tidak membuat perbedaan itu semakin nyata. Dengan kata lain, beberapa orang memang kurang bisa menghargai orang lain. Begitu juga dengan pilihan yang mereka pilih dan apa yang mereka alami. Terlalu mengurusi kehidupan orang lain.

Kemudian yang terjadi?

Yang berbeda semakin merasa berbeda. Atau lebih parahnya lagi, yang berbeda semakin membenci dirinya.

Anggi mulai tersenyum lagi. Aku tidak tahu kenapa, menyaksikan Anggi tersenyum membuat hatiku menghangat. Bahagia memang sesederhana ini.

"Gambar-gambar kamu bagus semua ya, Naf. Aku jadi iri. Kok bisa ya ada orang yang bisa menggambar bagus gini" Anggi menyeletuk saat melihatku menggambar di sketch book-ku.

Nafira dan SadewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang