☆Bed

754 62 7
                                    

SoonHoon
.
.
.

Aku tahu tempat dimana kami sering menghabiskan waktu bersama.

Kamar.

Jangan berpikiran macam-macam tentang tempat favorite kami. Kami memang pernah melakukan itu, hal yang kalian pikirkan. But no, that's not the reason. Eh bisa jadi sih hahaha.

Kwon bekerja di kantornya sebagai arsitek dari jam 8 pagi sampai jam 6 sore atau kadang hingga jam 7 malam. Gajinya lumayan besar dan berlebih untuk kami berdua. Tapi, aku pun tidak pengangguran.

Aku bekerja di rumah. Menghabiskan waktuku berkutat dengan alat musik dan komputer di studio yang Kwon buatkan untukku. Rumah kami tidak besar tapi cukup nyaman, sepi dan luas untuk kami. Walau terkadang aku mengharapkan ada suara berisik anak-anak berlarian.

Kedua anak Seungcheol dan Jeonghan hyung pernah dititipkan disini. Beberapa kali, mungkin. Mereka berdua sering berpergian keluar negeri baik untuk bekerja ataupun liburan. Entahlah, kurasa Seungcheol memang banyak menghabiskan waktunya dengan Jeonghan.

Kwon bukannya tidak romantis atau perhatian padaku. Dia sangat romantis dan untuk perhatiannya, mungkin malah agak overprotective. Astaga kenapa aku malah ingin tertawa.

Jadi teringat kejadian dimana dia melamarku di depan orang tua dan saudaraku. Saudaraku itu, Wonwoo namanya, memang sangat dekat denganku. Bahkan di umur yang ke 23 ini, kami masih sering mandi bersama. Sstt, rahasiakan dari Kwon ya.

Saat itu Wonwoo yang sangat bahagia memelukku dengan erat dan bahkan menciumi seluruh wajahku dengan bibir merahnya. Dengan spontan Kwon menarikku paksa dan memberikan tatapan tajam ke Wonwoo yang hanya dibalas cengiran manis ala Wonwoo. Heol, dengan ipar sendiri saja seperti itu.

Ada lagi saat aku tidak sengaja pulang dari agensi dengan tubuh basah kuyup. Aku masih ingat mulutnya yang menganga lebar saat menyambutku di pintu depan. Setelah itu, ia langsung membuka seluruh pakaianku, tapi tidak dengan celanaku tentu saja, dan memaksaku masuk ke dalam kamar mandi. Menyuruhku mandi dengan air hangat. Dinginnya malam itu membuatku berendam dengan air hangat sebentar.

Aku masih merasa biasa saja, hingga pada saat aku selesai mandi, dia sudah siap di pinggiran kasur dengan semangkuk cream soup, coklat hangat, dan juga obat flu. Ah, jangan lupakan pajamas lengan panjangku di atas kasur lengkap dengan kaos kaki dan syal. Saat aku bertanya, dia hanya bilang, "Kau cepat sakit. Jadi aku mempersiapkan semuanya sebelum kau selesai mandi. Bagaimana? Apa aku termasuk laki-laki idaman?"

Ingin sekali ku pukul kepala pintarnya itu. Perhatiannya sedikit berlebihan dan dia sangat percaya diri. Tapi aku suka sih hehe.

Kalian tahu? Kami pernah bertengkar hebat hingga dia yang sama sekali tidak pernah mengambul, bisa mendiamiku selama 2 minggu. Dengar, 2 minggu! Astaga aku ingin mati saja saat itu.

Saat itu kami berselisih pendapat antara ingin memiliki anak atau tidak. Tentu saja aku ingin dan dia yang belum ingin. Dia bilang masih ingin menghabiskan waktunya bersamaku, hanya berdua. Catat, berdua. Tapi aku bilang, selama dirinya bekerja, aku kesepian. Di rumah hanya menggarap lagu. Itu pun jika ada inspirasi. Lagian uang kami sudah lebih dari cukup untuk semua persiapannya.

Mungkin saat itu ia sedang lelah dan aku tidak pas saat membicarakannya. Ia membentakku dan melempar gelas kaca ke sebelahku sambil berkata bahwa aku tidak mengerti dirinya. Dan setelah itu kami berdiam diri. Yah, kurasa memang salahku yang agak memaksakan kehendakku. Aku menangis setiap sore, tidak malam hari karena dia pasti mendengarku dan aku juga tidak mau mengawali hari dengan tangisan. Entah kenapa rasa tidak enak selalu datang saat sore hari.

2 minggu yang panjang dan aku tak tahan. Tepat hari jumat, dia pulang lebih awal karena proyeknya sudah selesai. Tapi aku tidak tahu itu. Aku menangis di atas sofa sambil memeluk kakiku sendiri.

"Hei, kau menangis?" Ini kalimat pertama yang ia lontarkan setelah 2 minggu menjadi pendiam.

Aku terkejut tentu saja. Dengan cepat menghapus air mata dan beranjak pergi.

"E-eoh kau sudah pulang? Akan kusiapkan air hangat dan makan malam. Maaf." Aku menyiapkan semuanya dan dia juga tidak berkomentar apa-apa. Bahkan saat makan malam, kami tetap makan seperti hari-hari sebelumnya, makan dalam diam.

Jam 10 malam, aku mulai masuk ke kamar setelah hampir tiga jam mendekam di dalam studio. Saat memasuki kamar, hanya remang-remang yang terpampang di depan mataku. Mungkin Kwon sudah tidur karena samar-samar ada tubuhnya di atas kasur. Jadi aku bergerak pelan naik ke atas kasur dan merebahkan diri.

"Kenapa? Kenapa menangis?" Tubuhku menegang mendengar suaranya. Ia membalikkan tubuhnya dan menatapku dalam.

"Aku membangunkanmu? Maaf tidurlah kembali."

"Jawab pertanyaanku, Ji. Kau selalu saja mengalihkan pembicaraan." Kwon mendesah kecewa dengan memajukan bibirnya. Aku tersenyum sebentar.

"Aku sedih."

"Kenapa?"

"Aku merasa menjauh darimu. Maaf waktu itu aku yang terlalu memaksakan." Jujurku. Dalam sebuah hubungan harus ada kejujuran bukan?

"Ah.." hanya itu balasan darinya. Kami berdiam selama 2 menit. Dia tampak menimbang sesuatu di kepalanya dan aku diam menanti apa yang ingin dibicarakannya.

"Kau siap? Maksudku siap untuk kerepotan dan kau juga harus membagi waktu untuk memperhatikanku juga. Aku tidak mau kau jadi mencuekkan ku gara-gara ada anak kita." Astaga kepolosan seorang Kwon bisa melebihi anak-anak.

"Alasanmu, sangat lucu. Bukannya kita berdua yang harus memperhatikan anak kita? Aku tentu saja memperhatikanmu juga. Dan seharusnya aku yang bertanya. Apa kau bisa membagi waktumu untuk bekerja, merawat anak, danㅡ"

"Dan apa?"

"ㅡmemanjakanku." Aku yakin pipiku sudah memerah karena terasa agak panas. Kenapa malu sekali saat berbicara seperti itu.

"Astaga tentu saja sayang. Memanjakanmu juga salah satu hobiku setelah hobi menjahilimu." Gelak tawa ia lontarkan padaku yang masih terbengong. Hobi macam apa yang senang menjahili pasangannya sendiri?

"Kau, jahat." Ucapku final. Berpura-pura kesal tentu saja. Aku membalikkan tubuhku dan dia merengek seperti bayi besar.

"Aaahh ayolah. Aku bercanda. Sini-sini bayi kecilku. Uww sangat mungil." Ia memeluk tubuhku dengan sangat erat.

"Jadi, kita balikan? Sudah tidak marahan? Kau jadi ingin punya anak?" Tanyaku beruntun. Aku bisa merasakan anggukan dari atas kepalaku.

"Anak.. boleh lah. Tidak ada salahnya dicoba. Mau buat sekarang? Oke sekarang aja. Tidak terima penolakan."

"AAKHH KWON SOONYOUNG!!"







Lagi-lagi berakhir di atas kasur.



Cupidsoon
29-11-2018

🍃My Story✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang