AtasNama#2

7.5K 1.3K 61
                                    

~Adam Aliefattah~

BUG!!!

"Papaaa!"

Teriakan mama mengiringi tindakan papa yang memukul wajahku dengan bogem mentahnya hingga aku terjatuh karna tak siap menerima pukulannya.

Papa dan Mama baru saja menjemputku dari kantor polisi. Kenapa aku dikantor polisi? Karna ketika aku dan teman-teman remaja mesjid dikampung sebelah berkumpul dirumah Ustadz Daud, tiba-tiba teriakan dari luar mengejutkan kami. Begitu Ustadz Daud membuka pintu rumah, sepasukan yang meneriakkan diri mereka polisi berkata kalau rumah Ustadz Daud sudah mereka kepung.

"Jangan bergerak!! Tempat ini sudah terkepung!! Angkat tangan diatas kepala!!"

Dan kejadiannya begitu cepat. Sekompi pasukan yang baru aku ketahui tim densus anti teror bergerak cepat meringkus orang-orang yang berada didalam rumah Ustadz Daud, termasuk aku.

Aku berani bersumpah aku tak mengerti kenapa mereka menganggap rumah Ustadz Daud, tempat bersarangnya para teroris? Padahal kami disana hanya mendengarkan pengajian dari beliau. Beliau adalah ahli tafsir Al Qur'an jebolan sebuah Universitas di Mesir. Selama ini dalam menafsirkan Alquran, beliau selalu membandingkan satu pendapat dengan pendapat lain. Tak ada yang salah dengan beliau. Siapa yang memfitnah tempat tinggalnya sebagai sarang teroris? Apakah karna beliau didekati politikus untuk mendukungnya berkampanye tapi ditolak?

"Pergi dari sini, dasar kau anak bodoh, tak bisa jadi kebanggaan, papa!!"

Teriakan papa terdengar lagi. Mungkin ini adalah emosi yang ia pendam sejak berada dikantor polisi dan bernegosiasi untuk melepaskan aku dari jeratan kasus teroris yang menimpa Ustadz Daud. Akhirnya papa dan mama berhasil membawaku pulang.

"Papa, tolong jangan berkata seperti itu, dia anak kita!" Protes mama terdengar keras.

"Anak yang iQ nya jongkok begini?" Papa berteriak lebih keras lagi.

"Astagfirullahhh....!"

Mama mengucapkan Istigfar sambil memegang dadanya. Aku merengkuh mama yang sedang berjongkok membantu aku berdiri, menenangkannya. Aku berharap mama tak emosi menghadapi papa. Aku tak mau mama juga menjadi tempat luapan kekesalan papa terhadapku.

"Dia selalu saja menyusahkan kita, sudah berkali-kali diperingatkan, jangan bergaul dengan orang sembarangan, kalau dia cerdas dia harusnya bergaul dengan anak-anak pejabat seperti Abdul!!" Tegas papa lagi sambil menunjuk padaku.

"Papaa!"

Lagi-lagi mama meneriaki papa. Aku tahu, mama berharap agar papa tidak mengeluarkan kalimat yang menyakitkan hatiku lebih dalam lagi.

"Lihat saja Aya, pergaulannya sesuai dengan dimana dia sekarang belajar, berkelas, LALU KAU??"

Aku yang sudah berdiri karna dibantu mama menatap papa. Papa sekarang menunjukku dengan wajah merah padam. Tadinya ketika dijalan, dalam mobil hanya ada diam diantara kami. Aku sampai menduga-duga, apa yang ada dalam pikiran beliau. Tapi aku bersumpah, aku tak seperti yang mereka pikir. Kami berkumpul untuk mengkaji ilmu agama. Bukan untuk merencanakan apapun yang dianggap sebagai terorisme. Terorisme itu puncak aksi kekerasan. Dan korbannya seringkali orang-orang yang tidak bersalah. Sedangkan kami hanya mengkaji dan mendengarkan tafsir Al Qur'an. Kenapa disamakan dengan terorisme?

"Kalau pergaulanmu hanya dengan orang-orang yang tak berkelas itu, alamat sampai aku mati kau takkan pernah menjadi kebanggaanku!!" Cecar papa tanpa ampun membabat dadaku.

Sampai mati takkan pernah menjadi kebanggaan? Hati-hati pa, kalau bicara! Dadaku mulai bergemuruh.

"Papa!"

Atas Nama Yang MahaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang