AtasNama#3

7.8K 1.2K 26
                                    

~Hawa Prilliea~

"Hawa Prilliea!"

Ketika namaku dipanggil naik ke panggung untuk menerima tanda kelulusan, betapa leganya hati ini. Meski bukan semata lega saja, sekaligus sedih juga karna harus meninggalkan tempat yang memberi banyak pelajaran selama tiga tahun ini dan teman-teman seangkatan yang penuh kenangan. Pondok pesantren Al Hawiyah, pondok pesantren putri yang didirikan oleh Kiayi Haji Abdullah Marawi dan putra beliau Drs. K. H. Ahmad Berkah sekaligus sebagai pimpinan pondok khusus untuk putri, hari itu bertaburan suka cita.

"Alhamdulilah, semoga apa yang sudah didapatkan dipondok ini membawa kebaikan bagi, nak Hawa Prilliea!"

Aku tersenyum dan mengangguk saat menerima tanda kelulusan dari K. H Ahmad Berkah dan melangkah menuju tangga untuk turun kepanggung acara kelulusan yang tadinya diawali dengan berbagai acara yang dibuat ponpes.

Aku menarik napas dan menghembuskannya keras-keras. Beberapa saat lagi, aku akan meninggalkan pondok. Meninggalkan semua aktivitasnya setiap hari yang dimulai dari pukul 04.00 subuh sampai jam 21.00 malam saat harus berangkat tidur.

Kegiatan sholat lima waktu, puasa senin kamis, hapalan Al Qur'an setiap hari kamis, wajib berbahasa arab setiap hari jumat, dimana aku lebih memilih banyak diam daripada harus bicara bahasa arab karna takut salah, dan kalau tidak berbahasa arab didenda sampai dapat hukuman bagi pelanggaran. Kegiatan lainnya seperti setiap malam minggu sering mengadakan acara muhadoroh atau pentas kreasi siswa, semuanya sudah aku lewati selama tiga tahun ditempat itu.

Aku tidak pernah bercita-cita sekolah dipesantren. Sekolah Dasar dan lanjutanku memang di sekolah Islam. Orangtuaku yang mengarahkan aku untuk memasuki pesantren setara SMA.

Tadinya aku menolak, tetapi abi dan umi memaksaku mencoba untuk memasuki pesantren. Dua minggu pertama aku sering kabur pulang kerumah. Atau minta ijin menelpon untuk minta jemput abi atau umi.

Pondok pesantren punya aturan. Meski abiku adalah seorang ustadz yang cukup disegani, tapi aku tak mendapat perlakuan khusus. Aku harus mengikuti aturan, dimana santriwati hanya boleh pulang, saat waktunya libur tiba setelah ujian. Akhirnya aku harus kabur, dan kembali kerumah tanpa ijin.

"Kalau ditolak syukurlah mi, ii gak mau balik lagi juga," ucapku disambut istigfar Umi saat aku kabur untuk kesekian kali
dan umi ingin mengantarku kembali kepondok.

"Jangan begitu nak, ii-kan baru dua minggu dipondok, jadi betah atau tidak belum bisa ditentukan dalam waktu sesingkat itu," sahut umi mengingatkan.

"Tapi umi, ii ngerasa gak sanggupp, umi tahukan, jam 4 subuh itu masih ngantukkk, padahal belum waktunya subuhh, subuhkan masih bisa asal sebelum terbit matahari," sahutku dengan suara berat.

"Sholat itu diawal waktu, nanti juga terbiasa i, jalani saja dulu, sebulan," ucap Umi lagi seakan membujuk.

"Kalau sebulan gak sanggup, ii balikin ke sekolah umum saja ya umi, sekolah Islam kan sama saja banyak pelajaran agamanya, mi!"

"Sangguppp, ii sanggup, Umi yakinn," Umi berkata dengan yakin sambil mengusap punggungku.

"Umiiii... " tukasku, "kan umi udah janjiiii, umi tidak tahukan aku disana makan apa?" Aku semakin mengutarakan alasan kenapa aku merasa tidak betah dipondok.

"Yakan harus dibiasakan, makannya memang tidak bisa seperti dirumah milih-milih, tapi itu membuat ii bisa tahu bagaimana rasanya makan tanpa memilih, mensyukuri nikmat yang diberikan Allah!"

"Umiiiiii," rengekku.

"Iya, umi janji bila dalam sebulan tak juga betah, umi akan bantu bicara sama abi!"

Atas Nama Yang MahaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang