"Nona?"
Seungwan ....
Tangan Kim Jongdae yang terulur seketika terasa kaku, kala mendapati gadis yang sedang bersimpuh di dekat lubang drainase itu memutar leher menatap ke arahnya. Gadis itu seperti sedang meratapi sesuatu yang mungkin jatuh di antara lubang-lubang berukuran sangat kecil untuk tangan orang dewasa. Setelah sebuah insiden kecil terjadi di antara mereka, Jongdae tak menyangka hal semacam ini akan menimpanya.
Dia ... bukan. Dia bukan Seungwan. Gadisnya itu telah lama pergi, mendahului Jongdae terbang ke suatu tempat yang jauh di atas langit. Dia adalah orang lain. Jongdae berusaha meyakinkan dirinya akan hal itu.
Alis Jongdae terangkat naik. Tangannya membenarkan posisi tas gitar yang tersampir di punggung. Wajah gadis ini tiba-tiba berubah pucat. Jongdae merasa terheran. Ekspresi gadis ini saat melihat Jongdae seperti melihat hantu saja. Padahal ini masih pagi. Cuaca pun cerah bersahabat. Bukan waktunya bagi hantu-hantu berkeliaran.
Setelah beberapa detik saling menatap satu sama lain, Jongdae melirik ke arah saluran drainase.
"Kau kehilangan sesuatu?"
Gadis itu mengangguk, lalu menyahut dengan suara parau. "Pon-ponselku."
"Bangunlah lebih dulu, Nona. Orang-orang melihat kita. Mereka mungkin mengira aku sedang menyakitimu."
Jongdae membantu gadis itu untuk bangkit dari posisi bersimpuhnya. Dia kemudian menggiring gadis itu di sebuah bangku panjang dekat taman dan pepohonan.
"Lukamu perlu diobati."
Jongdae meraih tangan kanan gadis itu. Terdapat sebuah goresan kecil, tetapi terlihat dalam di sana. Tangan ini ... tidak. Sekali lagi, dia bukan Seungwan. Seungwan memiliki tanda lahir berwarna hitam berdiameter sekitar dua senti di punggung tangan kanannya. Dan gadis ini, dia tidak memilikinya.
Merasa tak nyaman, gadis itu menarik tangannya kasar. "Aku bisa menanganinya." Dia berucap dengan ketus.
Jongdae jadi merasa sangat bersalah dibuatnya. Ketakutan yang baru saja membingkai wajah gadis itu tiba-tiba hilang, digantikan raut kesal dan risi. Mungkin karena Jongdae dengan lancang menyentuh tangannya, atau karena ponsel yang hilang di saluran drainase. Jongdae juga sempat mendengar saat dia berteriak tentang akhir bulan.
"Sekali lagi, maafkan aku, Nona. Oh iya mengenai ponsel itu aku akan menggantinya," sesal Jongdae.
"Tidak usah—"
"Biarkan aku bertanggung jawab atas insiden ini," kata Jongdae bersikeras. Dia sudah merasa tak enak hati pada gadis ini. Sudah membuat ia terluka, juga kehilangan ponsel berharganya.
"Ah, ini kartu namaku." Jongdae menyerahkan secarik kertas kecil tebal yang diambilnya dari saku celana pada gadis itu.
Gadis itu menilik tajam ke arah Jongdae. Tersirat maksud kalau ia sedang mencurigai Jongdae yang mungkin akan melakukan kejahatan padanya. Meskipun pada akhirnya dia meraih kartu nama itu. Gadis itu melihatnya sekilas, sebelum dia melayangkan pandangan pada Jongdae lagi.
"Kau bisa menghubungi nomor itu. Nanti sore kita bertemu di kedai kopi di seberang halte sana."
"Baiklah." Gadis itu bergumam pelan.
"Maaf, aku harus pergi," kata Jongdae setelah melirik arlojinya. "Aku harus mengajar. Soal luka—"
"Aku bisa menanganinya." Dia menekankan.
Jongdae mengulum senyum. Gadis yang keras kepala, pikirnya. Mirip seperti Seungwan dulu. Ah! Kenapa Jongdae jadi mengingat Seungwan lagi?
"Baiklah. Kalau begitu sampai bertemu nanti sore."
KAMU SEDANG MEMBACA
Doppelgänger | CHENDY
Fanfiction•••hiatus••• Wendy Son, seorang gadis cantik yang terjebak dalam utang judi kakak tirinya. Sampai satu hari, ia bertemu dengan seorang misterius, Mateo Kim. Mereka saling membutuhkan. Satu-satunya yang mampu Wendy lakukan hanyalah menyerahkan diri s...