01

180 26 4
                                    

Antara yakin dan tidak, Wendy pikir yang semalam bukan hanya bunga tidur belaka.

Wendy terdiam dengan kedua tangan yang memegang erat ujung selimut. Malam berganti pagi dengan cepat. Entah bagaimana Wendy bisa sampai di rumah dan tidur di kasurnya. Untung saja Wendy masih dalam keadaan sehat, meskipun ada sedikit luka yang tertoreh di pergelangan kaki.

Memorinya berputar mengingat potongan demi potongan kejadian semalam. Mulai dari Wendy bertemu Hyukjae hingga akhirnya bertemu laki-laki misterius yang mampu melesat dengan kecepatan cahaya. Wendy jadi bergidik kalau mengingat laki-laki itu. Masih jelas terasa embusan napasnya menerpa telinga Wendy dan bisikan yang disertai deru napas sensual.

"Wendy!"

Wendy yang mulanya tertegun mendengar suara itu sontak melompat menyingkap selimut. Tungkai Wendy begitu saja berlari membawa tubuhnya bersembunyi di dalam lemari. Ini masih pagi dan Hyukjae pasti akan mengacak-acak Wendy serta rumahnya karena kejadian semalam. Wendy menggigit telunjuknya, berusaha menutupi rasa panik dengan muka pucat yang telah membingkai rapat wajahnya.

Wendy memberanikan diri mendorong sedikit pintu lemari sampai terbuka. Dahi Wendy mengernyit karena sedikit pun tak terdengar keributan di luar atau pun suara amarah Hyukjae yang menggebu-gebu. Tetapi, Wendy berani bersumpah jika barusan dia memang mendengar suara Hyukjae.

"Kak Hyukjae," gumam Wendy yang kemudian membuka lebar-lebar pintu lemari. Sisi lain Wendy mungkin sedang mengutuknya karena melakukan hal bodoh ini. Bagaimana kalau Hyukjae bersembunyi hanya untuk memancing Wendy keluar?

"Kak Hyukjae?"

Wendy malah melangkah keluar kamar, menyelidik si pemilik suara yang belum juga memunculkan batang hidungnya. Masa bodoh! Kalau memang takdir Wendy mati di tangan Hyukjae hari ini, biar saja. Toh tak ada gunanya Wendy hidup lebih lama.

Langkah jingkat Wendy praktis berhenti saat melihat laki-laki yang berdiri di ruang tengah. Kedua tangannya yang masuk ke dalam saku celana menyiratkan kalau laki-laki itu memang sedang menunggu Wendy. Dia berbalik. Jantung Wendy nyaris melompat karena terkejut. Bukan Hyukjae, tetapi kaki Wendy terasa lemah seketika. Beruntung dia masih dapat mempertahankan bobot tubuhnya supaya tak segera runtuh.

"Sudah bangun? Ternyata suara Lee Hyukjae cukup membantu."

"Si-siapa sebenarnya kau ini hah?" tanya Wendy serak, memaksakan sisa tenaga yang dimiliki sebelum dia benar-benar tercekat.

Ini laki-laki semalam. Laki-laki yang melesat seperti cahaya di depan matanya. Laki-laki yang Wendy yakini bukanlah seorang manusia.

"Di-di mana Kak Hyukjae?" tanya Wendy sekali lagi.

"Oh, dia? Dia tidak ada di sini. Suara yang kau dengar adalah suaraku." Dia berucap dengan santai, seolah hal itu adalah hal biasa yang tak perlu dipertanyakan.

Kalau bukan karena kusen pintu kamar, Wendy pasti sudah terjengkang ke belakang sejak tadi. Kedua kakinya bergetar hebat, begitu pula tangan yang berpegang pada kusen. Siapa orang ini? Selain mampu melesat cepat, juga mampu menirukan suara orang lain. Bukan mirip lagi, tetapi sama persis.

Wendy berusaha mengenyahkan pikiran kalau laki-laki ini mungkin saja adalah hantu. Bola mata Wendy melirik ke arah kedua kaki laki-laki itu. Kedua kelopak matanya mengerjap. Tidak, laki-laki itu menyentuh lantai. Bukan hantu berarti.

"Namaku Mateo. Mateo Kim, Wendy."

Laki-laki itu berkata setelah keheningan Wendy dalam ketakutan meliputi mereka beberapa saat. Dia menyebut namanya seolah tahu kalau Wendy memang mempertanyakan hal itu sejak semalam.

"Bagaimana kau bisa ada di sini hah? Kau menguntitku, ya? Aku akan memanggil polisi! Dasar penguntit!"

Wendy bergegas menuju ke kamar, berniat mengambil ponsel yang berada di bawah selimut. Beruntung Wendy tak punya penyakit jantung, karena sekali lagi Mateo nyaris membuat jantungnya melompat keluar. Hanya saja dia harus terjengkang ke lantai sekarang. Kini Mateo sudah berdiri sambil melipat tangan di dekat lemari.

Doppelgänger | CHENDYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang