Terbayar Penuh | 3

522 61 7
                                    

Sarchie tengah mengamati wanita bersepatu tinggi di dalam toko, meski kadang sosoknya terhalang manekin dan deretan pakaian tak menghalanginya untuk melihat dengan jelas. Tugasnya memang nanti malam, tapi saat tak ada calon penumpang yang harus diantarnya, Ia suka mendatangi calon penumpangnya, sekadar mengamati tindak tanduk manusia sebelum ajal mendatangi mereka.

Ia tak masuk, hanya mengamati dari depan toko dan melipat kedua tangannya dan tersenyum miring, "Satu wanita saja bisa memakai pakaian itu semua? Untuk apa? Toh segala dosa tak akan bisa lebur walau ditutup kain karung sekalipun."

Sesuatu ditempelkan ke dadanya oleh seseorang. "Biarkan saja, toh dia sedang bersenang-senang. Tak ada toko lingeri di neraka."

Lelaki itu menoleh dan menerima cup dingin berisi jus. "Bisa jadi."

"Aku berhasil kabur dari anak kecil, sedikit merepotkan."

"Siapa?"

"Pamaan cakep!!" seru seorang anak kecil yang melambaikan tangannya pada lelaki yang baru datang.

"Kenapa dia bisa nemuin aku lagi sih!" keluh lelaki tampan di sisinya.

Gadis kecil itu berhenti setelah menabrak tubuh lelaki yang berdecak barusan. "Alice bisa 'kan temukan, Paman! Alice hebat!"

"Pergilah, pulang ke mamamu, nanti cariin kamu loh."

Alice menatap ke arah Daryn dan Sarchie, kemudian mengamatinya sambil mendongak. "Paman itu temennya Paman Cakep ya? Kenapa mukanya tegang, apa dia lapar?"

Sarchie menoleh ke arah Daryn, "Dia bisa melihatku?"

"Kebanyakan anak kecil bisa melihatmu," kata Daryn.

Sarchie menoleh ke arah Alice karena perutnya ditekan-tekan dengan satu jari. "Keras, kayak batu. Paman bisa gerak juga enggak?"

"Bisa, bisa juga buat kamu kesakitan kalau macam-macam."

Alice melongo. "Kereenn!"

"Bawa dia pergi, atau...."

"Dia cucumu asal kautahu." Daryn berbisik di dekat Sarchie.

Sarchie menoleh. "Enyahkan dia dari pandanganku atau kuenyahkan dia?"

"Oke, oke. Ayo, ikut paman." Daryn mengajak Alice pergi

"Dadahh, Paman Galak! Jangan galak-galak nanti cepet tua, keriputan!" seru Alice sambil berjalan menjauh.

"Gadis kecil yang cerewet akut."

Wanita berhak tinggi itu keluar dari dalam toko membawa beberapa tas sambil bertelepon riang. Ia berbicara dengan logat manja berjalan melewati Sarchie. Wanita cantik itu tersenyum sambil mengerling manja pada tiap pria yang berjalan sendirian. Ia tertawa kecil masuk ke dalam lift bersama Sarchie, menyadari keberadaan Sarchie yang sendirian pun menjadi ladang empuk untuknya berkenalan dan melempar umpan.

"Halo, boleh kita berkenalan? Aku Sarah." Wanita itu mengulurkan tangannya pada Sarchie.

Sarchie hanya menoleh sekilas dan menunggu lift terbuka. Sarah menarik tangannya, tapi bukannya menyerah justru mensejajari Sarchie sambil mengamatinya tertarik.

"Ganteng banget, tapi sayang kamu dingin ya?" keluh Sarchie dengan tersenyum manja.

Suara ping yang terdengar bukan dari lift, melainkan dari jam tangan Sarchie. Sarah melihat Sarchie mengamati jam tangannya dan menoleh dengan sikap dingin ke arahnya. Tak lama denting lift sesungguhnya terdengar, Sarchie segera keluar dan berbelok ke kiri. Sementara Sarah mengikuti langkah Sarchie dengan terburu-buru.

"Tunggu, Tampan. Tunggu!" Sarah memanggil.

Sarah memgikuti ke mana Sarchie melangkah, tapi saat berada di lorong yang diyakininya dilewati Sarchie, sosoknya tak ada di sana. Sarah memeriksa ke setiap toko yang ada di sana, tak ada satu pun pengunjung toko seperti sosok yang dicarinya.

"Aneh, cepat sekali dia perginya? Lari? Ke mana?" Sarah bertanya-tanya sendiri.

Sarah pergi ke arah sebaliknya, ke arah pintu keluar karena tak lama lagi ada janji temu dengan seseorang berkantung tebal. Sarah menaiki mobil jemputan yang menunggunya sedari tadi.

"Lama sekali, dia sudah menelepon dari tadi."

"Aku tahu." Sarah menjawab sekilas dan duduk dengan tangan kanan menumpu dagunya.

Lelaki di balik kemudi menyetir tanpa kata hingga sampai di rumah besar nun tinggi. Sarah keluar lebih dulu, seorang wanita muda dengan pakaian khas jepang menunduk ke arahnya, membawakan semua belanjaan Sarah dan mengekorinya masuk.

Petikan dawai dari alat musik tradisional Jepang terdengar menggema, Sarah bisa tebak dengan benar jika pria itu di sana sedang menikmati makan malam dengan sedikit keributan. Ia menoleh dengan wajah tak suka ke arah Sarah. Sarah segera melepas sepatunya dan mendekati lelaki berpostur seksi di balik meja makan.

"Lama sekali baru datang," kata lelaki itu sambil mengambil makanan dengan sumpit.

Sarah bergelayut manja di lengan pria tersebut. "Tidak selama itu kok, aku beli lingeri yang bagus."

Pria itu menoleh ke arah Sarah, "Pakailah dan tunggu aku di kamar."

Sarah segera merasa mual, tapi Ia menepisnya dengan senyuman. Sesungguhnya Ia merasa jengah dan ingin barlari, tapi tak akan pernah lelaki itu lepaskan dia kecuali sudah menjadi jasad. Sarah ke kamarnya, membuka isi tas belanjaannya memilih lingeri yang seksi menampilkan lekuk tubuhnya sejelas mungkin.

Lelaki itu masuk, tapi bukan dengan tangan kosong, seperti biasanya membawa sesuatu yang akan memuaskan hasratnya yang nyeleneh. Sarah tak gentar karena itu hanya seutas tali tampar warna hijau, biasanya dia akan membawa pisau dapur atau alat kepuasan lain yang tak pernah diduga Sarah. Sarah tak pernah mempermasalahkan dirinya 'dipakai' berapa kali dalam semalam olehnya, toh dirinya bisa hidup serba mewah karenanya. Tapi, malam ini berbeda, entah nasib tengah tak berpihak padanya atau tidak.

Sarah meregang nyawa dilanda rasa terdalam dari sebuah kesakitan dan kenikmatan. Matanya menoleh ke arah Sarchie yang tengah duduk manis sambil melipat kakinya tanpa ekspresi. Lelaki yang masih saja bergerak di atas tubuhnya yang tak bernyawa mengerang hebat, menumpahkan semua di tubuh Sarah. Tapi, Ia perlahan menyadari jika Sarah tak bergerak lagi setelah meminta ampun seperti tadi.

"Itukah makna kehadiranmu, huh?"

"Ya."

"Huh, harus gitu lihat aku kesakitan dulu sebelum mati, tega."

"Aku tidak peduli pada apa yang kaulakukan di dunia. Punya satu permintaan terakhir?"

Sarah menatap raganya yang terlentang di atas ranjang dengan ikatan-ikatan vulgar kemudian menatap lelaki yang berdiri abai pada jasadnya.

"Aku ingin dia ikut merasakan api neraka bersamaku."

"Dikabulkan."

Lampu hias yang berdiri angkuh di atas plafon terjatuh tepat di atas kepala lelaki itu saat akan meninggalkan ruangan, menancap tepat di atas kepalanya hingga ambruk.


Kumpulan Cerpen ArlenLangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang