Nilai Aku | 10

266 45 1
                                    

Pen berpegas itu bergerak lincah, mencentang daftar belanjaan yang telah dibeli perempuan muda berjaket cokelat susu. Matanya sesekali naik turun, ke arah troli dan kertas tipis bekas struk belanjaan beberapa hari yang lalu.

"Bubuk merica, telur, daun bawang, kunyit, jahe, tepung, gula, kopi, keju dan hmm hmm, oke semuanya udah masuk," kata Fura mantap.

Kegiatan itu selalu dilakukannya sebelum tiba di meja kasir, memastikan barang-barang dapur yang dibelinya sesuai dengan kebutuhannya di rumah. Antrian di depan meja kasir selalu ramai, apalagi di awal bulan, para ibu rumah tangga mendominasi toko grosir yang didatanginya ini. Selain harganya lebih miring, juga barang dagangannya sungguh lengkap, cemilan keripik bekicot saja ada.

Fura menggerak-gerakkan kaki kanannya, menunggu antrian bergerak dalam waktu dekat. Tapi nyatanya, ia harus berdiri berlama-lama di belakang troli hingga rasa jenuh menyerangnya. Fura dan pengunjung lainnya selesai dilayani kasir beberapa menit lalu, melihat daftar struk belanjaan dan mendorong ke pintu keluar. Suara hujan terdengar deras ketika sampai di dekat parkiran, atapnya terbuat dari besi dan itu nyaring sekali jika ditempa hujan.

"Yah, hujan. Payungnya di mobil," keluh Fura melihat mobil mungil edisi tahun lama diguyur hujan.

Fura memilih menunggu hujan mereda sedikit saja, agar dia bisa berlari ke sana membawa belanjaannya. Tapi, setelah menunggu berlama-lama hujan sepertinya tak mau berbaik hati mereda sejenak saja. Fura berlari ke parkiran mobil sambil menenteng belanjaannya, berusaha memasukkan kunci dalam rinai hujan tapi luput dari tangannya. Ketika berdiri, ia tak merasakan hujan menghujam kepalanya yang tanpa penutup.

Ia mendongak, sebuah payung besar berwarna ungu muda memayunginya, gagangnya dipegang erat oleh seorang pria yang menatapnya tanpa kata sambil mengunyah permen karet. Fura mempertanyakan tindakannya, tapi Fura ingat bahwa lebih baik menggunakan waktunya untuk membuka pintu bagasi dan masuk ke dalam mobil. Payung itu senantiasa mengikutinya sampai ia sudah duduk di balik setir dan menoleh ke arah lelaki itu.

Fura merogoh tasnya, membuka dompet dan mengeluarkan uang padanya. "Terima kasih ojek payungnya, sangat membantu."

"Sama-sama." Pria itu tak lantas pergi, tapi masih di tempat memayungi Fura.

"Pintunya mau kututup," kata Fura.

"Tutup saja," katanya.

Pria itu tak segera pergi meski pintu mobil Fura telah menutup, dia masih di sana sampai Fura meninggalkan parkiran di bawah rinai hujan. Ia melihat dari spion depan, lelaki itu masih di sana tanpa bergerak sedikit pun, padahal jika dia memang berprofesi sebagai ojek payung, ada beberapa pengunjung toko besar itu membutuhkannya.

"Ojek payung!" seru wanita tua berambut putih.

Lelaki itu justru berlalu membawa payungnya pergi, ketika sampai di belakang pos satpam justru melipatnya. Wanita tua itu mengomel karena lelaki itu tak mau membantunya, padahal ia berpotensi sekali membantu siapapun dengan sigap karena tubuhnya yang sempurna. Lelaki itu mengibas-kibaskan jaket gelapnya hingga diihat oleh anak kecil berkaus lusuh dan basah membawa payung.

"Paman enggak ngojek payung lagi?" tanya anak lelaki berusia delapan tahun.

"Enggak."

"Buat Adul ya?"

"Ambil saja," kata lelaki itu menoleh pada si anak.

Anak kecil itu berlari ke arah pengunjung yang tak betah menunggu di luar. Sementara lelaki itu sudah tak ada di sana setelah si Anak kembali. Langit siang ini begitu gelap, mestinya terang benderang ketika musim panas. Orang-orang akan berlarian mencari tempat berteduh dan memesan makan siang mereka ditemani teh manis yang dingin dan segar. Tapi, sekarang justru kebalikannya.

Fura sampai di rumah susunnya, rumah tempat tinggalnya selama ini. Ia melepas sendalnya, melihat foto pernikahannya yang selalu disentuhnya setiap kali akan pergi, mengingatkannya akan hidup pastilah punya ujung, dan ujung itu telah datang lebih dulu pada suaminya. Ia tersenyum tipis dan semakin masuk ke dalam, hujan di luar membuat udara menjadi dingin siang ini.

"Hmmm, dingin. Buat teh dan makan siang yang hangat enak mungkin," kata Fura.

Fura lantas menaikkan panci di atas tungku dan mulai mengeluarkan barang belanjaannya. Ia bukan orang pemilih soal makanan, makanan apapun pasti akan masuk apalagi saat lapar begini. Bunyi aneh terdengar, Fura menghentikan tindakannya memotong daun bawang mencoba menjernihkan pendengarannya. Suara aneh itu terdengar beberapa kali belakangan ini, tak peduli siang maupun malam hari.

Setelah beberapa saat hening, Fura mencoba mengabaikan suara itu seperti sebelumnya, tapi yang ada justru suara itu terdengar kembali. Kali ini seperti sesuatu ditumpuk, lalu benda jatuh di lantai, atau suara mencurigakan lainnya. Fura tak yakin benar mengenal siapa penghuni rumah susun di sebelah, pintunya selalu tertutup juga jendela dan tirainya. Tak ada sandal ataupun sepatu yang membuat kejelasan apakah dia lelaki ataukah perempuan.

Fura keluar sambil membawa panci lebih kecil sebagai senjata. Siang hari di rumah susun itu tampak lengang, sebagian besar penghuninya bekerja, jikapun seorang ibu rumah tangga pasti menemani anaknya makan siang atau tidur siang bersama. Fura melihat ke arah pintu rumah susun sebelah, tertutup rapat. Ia mengeratkan pegangannya dan mengulum bibir untuk mulai mengetuk.

"Sebenarnya aku bukan tetangga yang ikut campur, huh. Tapi, suara mencurigakan itu makin terasa mengganggu. Oke, tenang Fura. Kita lihat siapa pemiliknya."

Dua ketukan beruntun telah dilancarkan, tak ada respon. Ketukan berikutnya adalah akibat dari gugup dan ketika pintunya terbuka justru membuatnya berteriak dan hampir saja memukulkan panci itu. Fura membuka matanya perlahan, dari bawah tampak sebuah kaki tanpa alas, celana hitam dari kain tebal kemudian semakin ke atas, tampak perut yang sering dilatih pemiliknya setiap hari-Fura rasa. Tapi ada yang membuat matanya melotot seakan mau keluar dari rongganya.

"Darah," kata Fura kaget dan gugup.

"Apa?" tanya pria itu melihat dadanya.

"Kau pembu-," teriakan Fura teredam akibat bungkaman dari tangan kekar dan lebar milik pria itu, menariknya ke dalam rumah sebelum tetangga keluar.

"Hmmpphh, mmpashmm, mpashhhmm!"

Lelaki itu menyibak rambut panjangnya, ada tato besar di punggungnya,meski begitu Fura tak bisa melihat dengan jelas wajah tetangganya yang aneh itu. Ia menarik kelambu di belakangnya sampai terjatuh, sungguh itu tarikan tanpa tenaga apapun, tirainya saja yang rusak dan lapuk.

"Kau pembunuh, kau pembunuh iya 'kan? Suara-siara dari sini terdengar sampai ke dapurku!"

"Ada-ada saja," kata lelaki itu berjongkok di balik meja dapur dengan gerakan aneh.

"Kau yang memberiku ojek payung tadi 'kan?"

Tak ada jawaban hingga Fura mengulangi pertanyaannya. Lalu saat Fura hendak mendekat dia dikagetkan dengan lelaki itu bangkit menatap Fyra.

"Ini... bukan darah, ini saus tomat. Aku bukan tetangga aneh," kata lelaki itu mengangkat sekop plastik dan ada botol tomat dari kaca yang pecah.

"Jangan boong deh," kata Fura tak percaya.

"Terserah," kata lelaki itu membuang sampah di tong sampah depan rumah sewa.

"Hei, aku belum selesai! Kau itu aneh, tiba-tiba aja muncul di toko grosir, sodorin payung. Dikasih uang diterima aja kalau bukan ojek payung."

"Masih ada uangmu, tuh!" serunya sambil mengedikkan dagu. "Jangan nilai aku lewat penampilanku, aku emang begini."

Sanggahan-sanggahan Fura masih berlanjut dan lelaki itu hanya tersenyum tipis menangggapinya. Sesekali ia menjawab jika tuduhan Fura melenceng jauh dari dugaannya.

Kumpulan Cerpen ArlenLangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang