Detik Kematian | 5

421 51 10
                                    

Cafe sore itu tak benar sepi, nyatanya ada saja yang datang meski tak seramai kemarin. Entah bersama teman, ataukah bersama keluarga kecil dan menikmati senja dari balik dinding kaca cafe yang menghadap ke arah barat. Pelayan-pelayan hilir mudik mengantar pesanan, tapi bukan untuk meja nomer sembilan, kedua lelaki yang duduk di sana harus bersabar menunggu pesanan mereka jadi dengan mengobrol.

"Penumpang pukul sebelas siang tadi sedikit menggila." Pria berstelan rapi itu membuka suara sambil tangannya membuka lembaran-lembaran kertas di depannya.

"Itulah tantangannya, harus kausyukuri itu," kata pria di depannya enteng.

"Dia mencakarku, menendang, mencabik dan menusukku dengan pisau buah, kaupikir tantangan model apa?"

Lelaki di depannya mengangguk dan tersenyum. "Wooo menarik! Trus gimana reaksi dia setelah tahu malaikat maut enggak bisa dilukai?"

"Aku suka ekspresinya, melongo, tidak percaya, kaget karena melihat sendiri luka-luka itu menutup kembali dalam hitungan menit."

"Itu keberuntungan baginya, melihat sendiri ketampanan malaikat maut tiada duanya."

Perbincangan mereka terpotong oleh pelayan yang datang, seorang lelaki muda berusia sekitar dua puluh lima tahun atau lebih. Ia menaruh nampan di tepian meja dan menaruh pesanan makanan dan minuman dengan hati-hati. Matanya yang bening melihat dan tersenyum ke arah mereka, seolah menyapa karena ada sesuatu yang menarik perhatiannya.

Pelayan lelaki itu tak segera pergi, melainkan tetap di dekat meja dan menoleh ke arah lelaki berstelan rapi yang memegang kertas-kertas tugasnya. Tapi tak benar tampak seperti itu di depan netra pelayan lelaki, mereka adalah dua gadis remaja SMA yang cantik dan mungil. Pelayan itu menanyakan apakah keduanya ada hal yang diperlukan lagi dengan sopan, tapi juga seolah mencari perhatian keduanya.

"Tidak, kami akan memanggil Mas jika perlu sesuatu," kata manis gadis yang dikucir kuda di sisi kanan pelayan.

Pelayan cafe itu menatap gadis cantik di sisi kirinya. "Baiklah, panggil saja jika butuh sesuatu, Cantik."

Kedua pria yang duduk di meja yang sama tertawa, tapi sungguh di depan mata orang lain keduanya tak ubahnya dua gadis cantik yang manja dan bak anak orang kaya tapi murah senyum. Sarchie melirik ke arah lelaki di depannya yang tertawa puas sambil mengambil cangkir kopi.

"Senang sekali ngerjain orang, buat orang jadi gemes, kauubah seperti apalagi aku?" tanya Sarchie santai.

"Jadi yang manis pokoknya, jangan khawatir," katanya sambil tersenyum.

Sebuah dering ponsel mengganggu Sarchie, ia melihat ke dalam sakunya dan benar ada panggilan dari atasannya. Daryn menengadah karena melihat Sarchie bangkit dari duduknya. Minuman dan makanan kecil yang dipesan mereka juga tak dijamah banyak, hanya berkurang kopinya saja.

"Ada jadwal dadakan?"

"Bukan, panggilan atasan, darurat."

"Kembali tak?" tanya Daryn.

"Kembali," kata Sarchie yang segera pergi ke toilet cafe.

Pelayan lelaki yang berpapasan dengan Sarchie pun tersipu malu, hendak mengikutinya ke dalam toilet. Tapi, seketika ingat jika itu toilet perempuan pun mengurungkan niatnya. Ia menunggu gadis cantik dan imut itu keluar saja dari dalam sambil mengantarkan pesanan. Berapa waktu berlalu, tapi gadis cantik dan imut itu tak kunjung keluar, pun menghampiri Daryn yang masih duduk di tempat.

"Ekhem, permisi." Pelayan itu menghampiri Daryn yang sibuk bermain ponsel.

"Ya?" tanya gadis cantik berkucir kuda pada si pelayan cafe.

"E, anu temennya enggak kembali-kembali?" tanya si pelayan pada Daryn.

Daryn melihat ke arah toilet dan ke arah si pelayan. "Oh, temen saya udah balik kok tadi, dia pergi dan nanti balik lagi. Ada apa?"

Pelayan itu tergagap. "E, tidak. Ya sudah kalau begitu."

"Ya."

Pelayan itu kembali bekerja dengan kekecewaan, karena niatnya untuk mendekati gadis imut dan cantik itu urung. Sementara orang yang diterka cantik dan imut justru berhadapan dengan tegas pada seorang pria tua, menunggunya sabar karena tengah sibuk menghabiskan makanan di sterofom putih. Pria tua itu tahu jika Sarchie datang, tapi membiarkannya duduk menunggunya selesai menyantap makanan.

Sarchie menoleh ke samping. "Bisakah segera katakan apa tujuan memanggilku datang?"

Pria tua itu tertawa kecil. "Sejak kapan kaupakai pakaian perempuan? Pakai diponi gitu rambutnya?"

Sarchie mendesah dan mengibaskan pakaiannya dengan tangan. "Cucumu yang satu itu sungguh luar biasa usilnya."

Pria tua itu tertawa lagi, badannya hingga bergetar dan mengambil sesuatu dari tas karton. "Ada pembaharuan di departemen, mengikuti jaman yang ada."

"Tab?"

"Ya, itu akan menggantikan kertas-kertasmu. Sudah ada jadwal sampai empat puluh delapan jam ke depan. Jikapun warnannya abu-abu itu masih perlu pertimbangan." Pria tua itu memberitahu Sarchie.

"Tumben jadi canggih gini? Kenapa enggak dari kemarin-kemarin aja?" tanya Sarchie pada pria di sisinya.

Sarchie hanya menemukan angin silir sore hari, tak ada siapapun di sana, maupun di sekitar. Sarchie mendesah dan menyalakan tab di tangannya, ada sandi yang sekiranya benar hanya dia yang tahu. Sarchie menerima jadwalnya empat puluh delapan jam berikutnya, ada beberapa nama yang benar berwarna abu-abu bahkan ada GPS yang menunjukkan di mana letak pasti calon penumpangnya. Nama yang berwarna merah tua ada di sekitarnya, dekat dan berjarak tak lebih dari dua meter.

Seorang wanita tua berambut putih dengan gaya rambut blow duduk perlahan. Tangannya melepaskan penyangga dan membiarkannya berdiri di depannya kemudian menoleh pada Sarchie. Mata Sarchie menoleh ke arah layar tabnya kemudian pada si Nenek di sampingnya. Calon penumpang yang baik hati, tak perlu jemputan datang sendiri.

"Kaumau ini anak muda?" tanya wanita tua di sisi Sarchie.

Sarchie memperhatikan apa yang ditawarkan padanya, keripik singkong dengan rasa balado. "Terima kasih, Nek. Apa yang membuat Nenek sendirian datang ke mari?"

"Aku sudah merasa akan bertemu denganmu," kata nenek itu pada Sarchie.

"Benarkah?" tanya Sarchie.

"Salamkan pada cucu-cucuku nanti," pinta nenek itu.

"Hanya itu permintaan terakhirmu?" tanya Sarchie.

"Ya, hanya itu saja. Kapan kita akan berangkat? Aku tak sabar bertemu dengan Herold, anak muda."

Sarchie mengangguk dan tersenyum. "Baiklah, Nenek Aurora. Akan kuantar."

Bangku itu kosong, hanya ada bangku dan alat penyangga yang ditempa matahari senja. Satu penumpang telah diantar dengan baik dan lancar, calon yang lain hanya menunggu detik pengantar kematian.



Hai, haiiii yuhuu Arlen back! Akhirnya bisa update juga setelah kemarin-kemarin berjibaku dengan mual dan muntah. Maklumi ya gaes, anu lagi jadi bumil gembul nih.

Semoga sukaaaa, love you, see you next part!

Kumpulan Cerpen ArlenLangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang