Alesa | 13

273 21 1
                                    

Alunan lagu dari Illenium dan Jon Bellion menyumpal sebagian besar pendengaran Alesa. Ia lebih menyukai alunan lagu untuk menemaninya pagi ini daripada mendengarkan obrolan daei saudara-saudarinya di ruang tengah luas itu.

"Ntar siang kita nonton bioskop, yuk!"

"Bernapas dalam kubur udah tayang loh, spesial buat lebaran!"

"Boleh tuh! Trus kita sekalian makan siang di Richeese!" timpal sepupu berbadan tambun. Kurang lebihnya itu yang bisa ditangkap samar-samar oleh Alesa.

Enam orang sepupu Alesa bersiap dengan rencana mereka pun akhirnya terdiam setelah menoleh ke belakang, di mana Alesa duduk di pojokan ruangan dekat jendela kaca yang terbuka sambil mendengarkan musik.

"Alesa! Mo ikut enggak ke mall?" tanya sepupu lebih muda pada Alesa. Alesa tak menjawab, bahkan tak menoleh. Gadis berambut hitam kecoklatan itu menoleh ke sepupu lainnya sambil tersenyum masam.

"Sa! Mo ikut enggak?" tanya sepupu lelaki Alesa yang berbadan tambun menepuk paha Alesa cukup keras.

Alesa menoleh dan menggeser headphone di telinganya. "Apa?"

"Ini pertanyaan ketiga dan terakhir! Mo ikut ke mall enggak?" tanya sepupu Alesa berbaju biru laut dengan kesal. "Daritadi nge-headphone mulu!"

"Enggak." Alesa menjawab singkat.

"Mo jadi wanita kuper?" tanya sepupu lain dan tertawa diikuti saudara lain.

"Enggak juga. Pergi ke luar enggak harus ke mall ngabisin duit, aku perlu duit buat skripsi." Alesa menjawab.

"Ish, nyebelin jawabannya! Udah kita pergi aja sekarang!" Para saudara-saudari Alesa bangkit satu per satu keluar dari ruang tengah.

Alesa masih memperhatikan mereka, meski salah satu telinganya masih disumpal lagu dari Illenium yang mengalun manis. Di sana, di ambang sekat ruang tengah dan tamu ia melihat wanita tua keluar membawa amplop cokelat dan membagi isinya pada mereka berenam.

"Hati-hati kalau pergi, beli makanan jangan beli gombal terus!" ingat wanita tertua di rumah ini.

Alesa muak, ia tak suka neneknya membagi uangnya lagi untuk cucu-cucu yang seharusnya sudah bisa mencari uang sendiri. Ia hampir saja memasang kembali sebelah headphonenya ketika wanita tua itu mendekat.

"Kamu itu harusnya ikut Lisa, Teri, Tara dan yang lainnya ke mall, jangan di rumah terus! Nanti kamu jadi keong loh, kuper." Wanita tua itu melirik Alesa lewat kacamata tuanya. Nenek Alesa meraba amplop yang sepertinya hendak mengeluarkan uang.

"Aku lebih sayang uangku untuk kerjain skripsi daripada beli baju baru."

"Baguslah, nenek enggak perlu kasih kamu uang, toh jatah bulananmu dari pamanmu itu masih ada." Nenek Alesa melipat kembali amplop tebal itu dan melenggang pergi ke kamar.

Alesa mendengarkan kembali lagu lewat headphone, menikmati liburannya yang kembali terasa biasa saja. Rupanya ia tertidur, entah berapa lama, yang pasti ia terbangun ketika mendengar jelas riuh suara-suara sepupunya yang berbicara soal apa yang mereka bawa pulang, sepatu, baju, sandal berhak tinggi dan make up yang sebenarnya mereka sudah punya. Alesa bangkit karena harus mengecas ponselnya yang mati, itu alasan mengapa suara-suara bising terfengar begitu jelas.

Alesa pulang dengan peluh yang lebih banyak daripada hari sebelumnya, mengumpulkan riset untuk membuat skripsi memang tak mudah. Ia membuka pintu utama dan keheningan menyergapnya, tak biasa itu terjadi. Pasti ada suara neneknya bersama barang-barang dapur bersentuhan, tapi kali ini tidak.

"Aku pulang," sapa Alesa dengan suara biasa saja, tapi entah terdengar begitu lantang.

Alesa merasa hal yang tak biasa, janggal, pun menaruh map dan tasnya di sofa kemudian melangkah semakin dalam. Ia melihat pintu kamar neneknya terbuka, sementara tak ada suara pergerakan satu pun. Ia membukanya semakin lebar dan melihat neneknya tergeletak di karpet cokelat muda bercorak batik.

"Nenek!"

Kelopak mata berkeriput itu perlahan terbuka, ruangan dengan aroma obat yang khas menyeruak indera penciumannya. Mata tuanya mengedar ke samping, menemukan sosok salah satu cucunya tersenyum manis ke arahnya.

"Nenek udah sadar, tadi dokter baru saja keluar, katanya nenek harus banyak istirahat."

Nenek mengangguk, selain kepalanya terasa berat, ia merasa kelu menanggapi perkataan cucunya. Tenggorokannya terasa kering, maka ia meminta diambilkan segelas air tapi ia tak mampu berkata apa-apa.

"Hngg, umm ... ummm," kata nenek yang jelas.

"Nenek mau apa? Minum?" tanya Alesa.

Nenek tak mampu mengangguk, hanya bibirnya yang terbuka tak bersuara dan kelopak matanya yang berkedip. Alesa memberi neneknya segelas air mineral dan menawarinya makan, tapi neneknya hanya diam dan bibirnya bergetar.

"Nenek sabar ya, paman sedang bicara sama dokter soal kesehatan nenek, nenek ... kena struk."

Nenek menangis, tak menyangka dirinya akan berada di titik di mana tak bisa melakukan apa-apa, bergerak dan bicara saja sulit. Alesalah yang menemani neneknya sampai matahari lingsir ke barat, tak ada tanda-tanda sepupu-sepupunya datang menggantikannya.

"Nek, aku harus pergi sebentar, mau riset buat skripsi paling dua jam aku kembali lagi nanti. Aku udah titip suster karena paman udah balik ke Bali," kata Alesa pamit.

Tangan nenek bergerak pelan, mirip tremor seolah tak mau ditinggal pergi oleh Alesa. Alesa paham jika neneknya tak mau ditinggal, tapi sungguh ia harus pergi sekarang kalau mau skripsinya cepat selesai. Alesa mengambil ponselnya, menelepon Tara,si Gembul yang doyan makan.

"Tar, kamu-"

"Les, aku sibuk! Telepon nanti deh lagi, aku sibuk oke!"

"Tara, aku mau minta tolong kamu jagain nenek sebentar saja, hanya dua jam," pinta Alesa.

"Aduuhh, enggak bisa Alesa! Aku sibuk, restoran lagi rame-ramenya, gila aja aku tinggal jaga nenek, pelangganku kabur donk, ah! Udah kamu aja yang jaga, mo ke mana sih kamu, udah aku sibuk!" Tara menutup sambungan teleponnya sepihak.

Alesa termenung sesaat kemudian menggeser nama kontak sepupunya yang lain. "Halo, Teri kamu bisa enggak ke rumah sakit jaga nenek, aku mau pergi urus bahan skripsi."

"Kamu kira aku enggak sibuk, Sa? Skripsi kan bisa ditunda, ini kerjaan aku enggak bisa ditunda."

"Hanya dua jam aja, Teri. Nenek sendirian di rumah sakit," kata Alesa meminta.

"Kan di rumah sakit ada suster, kok kamu yang bingung sih, udah ya!"

Alesa tersenyum kecut, sepupu-sepupunya memang ada banyak, tapi tak satu pun bisa dimintai gantian berjaga di rumah sakit. Nenek Alesa terisak dalam ketidakberdayaannya, cucu-cucu yang dibanggakannya, yang selalu dilimpahi hartanya, kini tak ada di sampingnya ketika ia butuh seperti sekarang. Ia hanya mampu menggeleng pelan ketika Alesa memutuskan untuk tak jadi pergi, mendiang anak dan menantunya yang paling kecil akan sedih jika anak semata wayangnya itu tak lulus karenanya. Alesa dengan berat hati meninggalkan neneknya bersama suster dan berjanji akan kembali segera.

Alesa kembali tepat setelah dua jam pergi, tapi melihat kamar neneknya rame sepupunya terduduk terisak di kursi tunggu depan ruang perawatan.

"Kalian kok di luar?"

"Nenek ... sudah meninggal, aku baru aja datang mau nemenin, Sa."

"Salon rame banget hari ini, aku baru sempat datang eh nenek udah ninggal."

"Apa??" Alesa masuk ke dalam ruang perawatan dan benar neneknya sudah ditutupi oleh kain putih sampai ujung kepala. Alesa terduduk di lantai menyaksikan sepupunya menangis dalam penyesalan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 08, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kumpulan Cerpen ArlenLangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang