3

20K 625 3
                                        

Aku mendekati Dewi yang sedang menangis. Aku berusaha menenangkannya tetapi dia menghindariku.

" Ngapain mas deketin aku?! Sana pergi!"

" Dewi, kenapa kamu seperti itu? Mas minta maaf jika membuatmu sedih"

" Aku ga suka mas berurusan dengan keluarga Laras! Mereka ga tau malu!"

" Dewi, jaga omonganmu! Selama ini aku banyak berhutang budi kepada kedua orang tua Laras. Selama ini mereka yang membiayai sekolahku hingga aku bisa lulus sarjana"

" Bela aja terus! Aku selalu salah di mata mas!"

" Mas minta maaf, mas terbawa emosi. Sebenarnya mas tidak mau menikahi Laras tetapi..."

" Tetapi apa mas?! Karena hutang budi?! Begitu kan maksudnya?!"

" Sudah! Sudah! Aku ga mau membahas soal ini! Aku ga mau kita bertengkar karena masalah ini"

" Mas yang mulai duluan! Aku ga rela di madu!"

" Sebaiknya kita bereskan barang - barang kita karena besok kita harus kembali ke Jakarta"

Sebagai seorang suami aku sangat bingung menghadapi Dewi yang emosinya tidak stabil. Aku berusaha menenangkannya sampai ia berpikir jernih.

" Mas, kamu jangan lagi berhubungan sama Laras. Aku ga suka sama dia"

" Iya sayang"

Tiba - tiba Dewi sakit kepala dan aaku mengambil minyak kayu untuk meredakan sakit yang di alami Dewi.

"Mas, kepalaku pusing banget"

" Sini mas usapkan minyak kayu putih supaya ga pusing"

" Aku mau istirahat"

" Ya sudah, mas mau siram tanaman di luar"

Saat aku ingin menyiram tanaman, tiba - tiba Laras datang dan menghampiriku.

" Laras, ngapain kamu kesini?"

" Laras mau bahas soal yang kemarin"

" Jangan sekarang, aku banyak kerjaan"

" Ayolah mas, sebentar aja. Kita ngobrol di rumahku aja"

Akhirnya aku mengikuti Laras ke rumahnya. Banyak warga yang melihat kami sambil berbisik.

" Lihat deh, si Laras ga tau malu! Masa gandeng tangan si Dimas yang suaminya orang!"

" Iya ya, kasian mbak Dewi kalau liat suaminya sama si Laras"

Aku langsung melepas tangan Laras dan ia terlihat kesal.

" Kenapa tangannya di lepas?"

" Kamu ga denger banyak warga yang mengejek kamu karena kita jalan berdua"

" Ga usah di dengerin mas. Biasa orang - orang disini pada iri sama Laras"

Tidak beberapa lama aku sampai di rumah Laras. Bapak dan ibunya menyambut kedatanganku dengan baik.

" Nak Dimas, silakan masuk. Tunggu sebentar ya, ibu buatkan wedang jahe"

" Terima kasih bu"

" Apa istrimu tau kamu kesini?"

" Istri saya sedang beristirahat"

" Sebenarnya bapak ingin melanjutkan pembicaraan yang kemarin. Laras bercerita jika ibumu ingin sekali kamu menikahi Laras. Tetapi jika itu terjadi, bagaimana dengan istrimu?"

" Mohon maaf, saya tidak bisa menikahi Laras meskipun ibu saya berwasiat kepada saya agar menikahi Laras"

" Mas ga bisa kayak gitu! Pernikahan harus tetap berjalan! Pokoknya aku mau mas menikahiku!"

" Laras, aku ga bisa menikahimu karena aku sangat mencintai istriku!"

" Apakah mas pernah berpikir jika istri mas mandul dan tidak bisa memberikan keturunan karena selama mas menikah dengannya, mas belum memiliki anak"

" Jaga ucapanmu! Aku tidak suka ada yang menghina istriku!"

" Maafkan perkataan Laras, nak Dimas. Bapak yang salah tidak mendidiknya dengan baik. Laras! Cepat minta maaf sama Dimas"

" Aku ga mau minta maaf!"

Laras berlari ke dalam kamar. Sedangkan ayahnya hanya bisa menunduk tanpa berani menatapku.

" Tidak apa - apa, pak. Saya memaafkan Laras"

" Terima kasih nak Dimas"

Aku berharap bisa segera kembali ke Jakarta dan menjauh dari Laras

Kurelakan Suamiku Bersamamu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang