Jangan terlalu keras menepis rasa, sebab ia hanya akan bersembunyi di titik terdalam. Menipu seolah tidak pernah ada. Namun akan muncul lagi saat pemiliknya telah pergi.
🌙🌙🌙
Selama jam pelajaran berlangsung, Zilfa sama sekali tidak menggubris Alvino yang beberapa kali berusaha berbicara padanya. Kini posisinya seolah terbalik. Biasanya Zilfa yang akan terus-terusan berbicara pada Alvino yang sedang fokus memperhatikan pelajaran.
Bedanya Alvino selalu merespon ucapan Zilfa, walaupun hanya sebatas kata iya, nggak, oh, mungkin.
Saat suara Alvino telah hilang, Zilfa melirik ke arah laki-laki itu. Pandangan Alvino yang masih terarah padanya membuat tatapan mereka bertemu. Zilfa dapat melihat pergerakan mata Alvino, yang tidak akan orang sadari bila tidak berada di jarak sedekat ini.
Namun, mata tidak pernah berbohong. Disana terdapat gurat sedih. Melihat itu membuat hati Zilfa seolah-olah dicubit.
Pemandangan yang cukup langka. Sebab biasanya mata berwarna putih gading dengan semburat kuning itu tampak datar. Tidak memancarkan ekspresi apapun.
Ada apa dengan Alvino?
Baru saja Zilfa ingin membuka suaranya, tapi sudah didahului oleh Bu Ita. Sebagai kode untuk memperhatikan penjelasannya.
"Pacarannya nanti aja, pas istirahat."
Alvino memalingkan wajahnya, sedangkan Zilfa menunduk seraya memperbaiki letak kacamata yang merosot. Ia kembali menatap ke depan dengan wajah datar. Mengabaikan tatapan curiga teman sekelasnya.
Zilfa merasa seperti orang yang ketahuan mencuri ditatap seperti itu.
Seandainya hari ini ia tidak dalam mode marah pada Alvino. Zilfa tidak akan terus memperhatikan penjelasan Bu Ita tentang angka-angka yang terlihat melayang-layang di udara.
"Gue seneng lo mau merhatiin pelajaran."
Itu kalimat terkahir Alvino sebelum ia ikut memfokuskan pandangan ke depan. Menyalin angka-angka dan rumus yang sama sekali tak dimengerti Zilfa.
Jujur. Ia sangat iri melihat tulisan Alvino yang sangat rapi itu. Bahkan mengalahkan tulisannya. Sebagai perempuan Zilfa cukup malu.
"Nanti gue pinjemin catatan kalo lo mau yang lebih ringkas," ucap Alvino ketika Zilfa terus menatap buku tulisnya.
Mendengar itu Zilfa segera memalingkan wajahnya ke papan tulis lagi. Ia merasa sangat bosan sekarang, apalagi badannya mulai terasa menghangat.
Apa flu malam tadi yang dirasakannya belum hilang? Tak mau menambah pusing, Zilfa mengabaikan pikiran-pikiran itu. Dan mencoba terus fokus pada penjelasan guru.
Posisinya itu masih bertahan sampai jam pelajaran Pak Broto berlangsung. Guru yang sangat Zilfa hindari karena benci pelajaran Kimia. Hingga kepalanya terasa semakin pusing.
Jadwal hari ini benar-benar ingin membuat Zilfa berteriak frustrasi. Pasalnya Matematika, Kimia dan Fisika berlangsung berturut-turut. Mungkin terkesan berlebihan, namun berat untuk orang yang salah masuk jurusan seperti Zilfa.
"Lo pacaran kan sama Alvino?"
Baru saja Zilfa menikmati waktu istirahanya, tapi langsung diserang dengan pertanyaan semacam itu. Dengan berat hati, Zilfa mengangkat kepalanya. Bersiap memberi pelajaran pada orang yang mengusik ketenangnnya.
Ternyata itu Dean, sang ketua kelas resek.
"Iya kan?"
"Nggak!"
"Ngaku aja deh," desak Dean.
"Serah lo deh!"
"Lo pacaran kan sama Alvino? Mana ada orang sahabatan lama tapi gak saling suka."
Zilfa menyipitkan matanya, menatap Dean tidak suka. "Gimana menurut lo aja deh."
"Menurut gue kalian pacaran."
"Yaudah."
"Yaudah apanya?"
Merasa lelah, Zilfa tidak lagi membalas pertanyaan Dean. Ia kembali menelengkupkan wajahnya di meja. Rasa pusingnya makin menjadi-jadi.
"Eh, Zil. Jawab dulu pertanyaan gue."
"Nanya ke gue aja," sahut Alvino dingin.
Tapi ucapan Alvino tidak digubris oleh Dean yang semakin mendesak Zilfa.
"Jangan ganggu dia!"
Suara Alvino kini terdengar lantang. Membuat beberapa teman mereka yang masih berada di kelas mengernyit bingung.
"Cuma jawab iya atau nggak aja susah amat," sungut Dean kesal, namun belum beranjak dari tempatnya.
"Kayaknya lo harus periksa tuh telinga."
Dean terdiam mendengar ucapan Brian yang duduk tak jauh dari mereka. Ia merasa sedikit terhina.
"Bro. Kantin Kuy!" ajak Feri saat suasana mulai terasa tidak enak.
Sebagai teman dekat Dean, Feri tau betul bahwa sahabatnya itu tidak akan menahan emosinya bila berurusan dengan Brian.
"Oke. Tapi lo juga harus periksa mata," tandas Dean. "Biar nggak sembarangan ni--"
"Please, jangan berantem disini!" potong Zilfa. Suaranya terdengar serak. Akibat demam yang ia rasakan sejak tadi.
Ekspresi Zilfa menunjukan bahwa ia benar-benar lelah dan butuh banyak istirahat.
Randy yang sejak tadi hanya memperhatikan, mulai mendekati Zilfa. "Kita ke UKS aja ya," membawa perempuan itu pergi dari suasana tegang ini.
Alvino hanya bisa melihat perlakuan lembut Randy pada sahabatnya. Tiba-tiba muncul rasa tidak terima dalam dirinya. Apalagi saat Randy mengatakan bahwa Zilfa tidak perlu sekolah hari ini seperti sarannya tadi malam.
Jelas-jelas tadi malam Zilfa mengabaikan pesan yang dikirim Alvino. Dan baru membalasnya tadi pagi. Itu juga untuk mengatakan kalau hari ini ia berangat dengan Mamanya. Sehingga Alvino tidak perlu menjemput seperti biasanya.
"Kayaknya posisi lo bakalan digantiin deh. Jadi siap-siap aja," kata Dean sebelum ia ditarik paksa oleh Feri keluar kelas.
Rahang Alvino mengetat. Mendengar ucapan Dean barusan membuat darah Alvino mendidih. Ia tidak menyukai Zilfa.
Ia hanya tidak ingin posisinya diambil orang lain. Tidak lebih. Zilfa sudah seperti adiknya, yang harus selalu ia lindungi. Dan ia tidak ingin adiknya dekat dengan cowok lain yang belum tentu baik.
"Lo keliru, Bro!"
Brian menepuk bahu Alvino. Ia sama sekali tidak mengerti dengan ucapan Brian. Dan apa maksud dari tatapan miris sahabatnya itu?
"Coba pastiin lagi," tatapan laki-laki itu tampak serius.
"Jangan kayak gue."
Muncul gelenyar aneh dalam diri Alvino. Lalu hatinya terasa dicengkram oleh tangan tak terlihat.
🌙🌙🌙
Ini warna putih gading dengan semburat kuning atau Eburnean. Kebayang gak gimana matanya Alvino?
Sabtu, 08 Desember 2018.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alvino
Teen FictionSelalu berada dalam tiga besar, tidak pernah mendapatkan hukuman, tidak pernah masuk ke ruangan Bk, dan tidak pernah terlibat asmara. Semua hal tersebut membuat Alvino merasa hidupnya, hampa. Berjalan begitu saja tanpa adanya guncangan. Intinya kehi...