Bab 3

2 1 0
                                    

"Kilan. Alna. Apa yang kalian lakukan.?" Tanya bu Selia memergoki mereka saling mengimpor kertas.

Yang bisa Kilan lakukan saat ini hanya menutup mata. Baru Kilan ingin membuat pembelaan bahwa dia hanya meminta kertas cakaran pada Alna. Namun alna sudah mengambil kesempatan itu lebih dulu.

"Kilan tuh bu. Dari tadi manggil-manggil minta jawaban. Aku bilang belum nggak percaya ya udah kertasnya aku kasih biar dia percaya."

Ibu Selia berjalan mendekat. Menatap Kilan tidak percaya. Pria itu menunduk. Ingin sekali dia membantah jika saja gadis itu bukanlah gadis yang dia cintai.

Bu Selia mengambil kertas jawaban Kilan lalu membawanya kemeja guru. "Kertas kamu saya kumpul lebih dulu."

Ibu Selia tahu kalau Alna berbohong. Karena tiga tahun Kilan di ajar olehnya tidak pernah skalipun meminta jawaban dari orang lain. Dan seperti yang Selia lihat tadi bahwa kertas jawaban Kilan sudah terisi semuanya.

Bel istirahat telah berbunyi. Kilan sama sekali tidak berniat untuk beranjak dari bangkunya. Dia lebih memilih mengeluarkan satu susu kotak coklat didalam tasnya dan sebungkus roti yang sengaja iya ambil dari rumah.

"Lan kantin yuk." Ajak Tomi teman yang duduk di belakang Kilan. Sekaligus satu-satunya orang yang dekat dengan Kilan dikelas ini selain Alna adiknya.

"Lo aja. Gue nitip cilok deh." Jawab Kilan lalu kembali memakan roti coklatnya yang sudah tinggal setengah.

Kilan memang sengaja menjadi orang yang sederhana walau ayahnya seorang pemilik sekolah. Sesederhana apapun Kilan. Barang-barang miliknya seperti tas bahkan bolpoin saja senilai jutaan.

"Sorry ya Lan gue tadi gugup dan nggak tahu mau bilang apa." Alna tiba-tiba sudah berdiri disamping bangku milik Kilan dengan memasang wajah bersalah.

"Iya." Balas Kilan dingin.

"Lo marah ya?"

Iya Kilan marah. Bahkan sangat marah. Apalagi ini menyangkut nilainya yang sejak dulu dia sangat berusaha agar tak pernah mempermalukan papanya. "Enggak." Hanya itu jawaban yang bisa Kilan berikan. Dia tidak mungkin marah pada Alna.

"Kok lo jawabnya singkat gitu?" Tanya Alna lagi masih tidak senang dengan jawaban Kilan.

"Gue nggak marah." Kilan mendongak menatap Alna dengan senyum yang sangat dipaksakan namun tetap manis dan terlihat seperti senyuman yang tulus. Kilan sudah terbiasa dengan ini.

"Al kamu kok lama." Seorang pria muncul dari balik pintu memanggil nama Alna.

"Ayo." Tak menunggu lama Alna langsung melengos menyusul pria itu didepan pintu lalu keduanya berjalan bersama menuju tempat yang entah kemana. Mungkin kantin.

Dan itu semua terjadi disaksikan dengan mata kepala Kilan. Sesak. Tapi itu sudah biasa bagi Kilan. Batinnya sudah terlatih untuk itu.

****

"Lan Alna kena bola. Dan dia pingsan." Tomi datang dengan nafas ngos-ngosan.

"Dimana dia skarang?" Tanya Kilan tak kala paniknya dengan ekspresi Tomi.

"UKS."

Kilan berlari menuju UKS. Secepat kilat. Hingga tak beberapa lama ia tiba di ruangan yang berlogo palang merah di pintunya itu.

Kilan melangkah masuk kedalam UKS dengan langkah teratur. Matanya menatap sosok Alna yang terbaring di atas ranjang yang sempit.

Kilan mendekati gadisnya lalu menatap teduh wajah gadis yang tengah pingsan itu.

Mata Alna perlahan terbuka. Tangannya refleks memegang kepalanya yang sakit terkena bola tadi. "Julio." Panggil gadis itu dengan suara yang serak.

Setelah matanya terbuka lebar barulah dia menyadari bahwa Kilan lah yang duduk Disampingnya dan bukan Julio. "Eh. Elo Lan." Katanya lalu mencoba untuk duduk.

"Kalau masih pusing mending lo baring dulu aja." Kata Kilan lembut. Memang Alna hanya pingsan biasa. Tapi rasa sayangnya yang teramat besar membuat rasa khawatir dalam dirinya juga menjadi besar. Oke. Kilan memang orang yang berlebihan jika persoalan cinta.

Alna menuruti perintah Kilan untuk membaringkan badannya saja di ranjang UKS. Karena dia memang juga masi merasa pusing.

"Gue keluar ya. Lo istirahat. Kalau ada apa-apa telpon gue aja." Ujar Kilan mengelus rambut Alna sebelum beranjak pergi.

"Lan." Panggil Alna sebelum Kilan Belanda-benar meninggalkan ruang UKS. Kilan berhenti lalu berbalik. Berharap jika Alna ingin ditemani oleh dirinya. "Tolong panggilan Julio kelas dua belas IPS tiga."

Kilan mengangguk. "Iya." Lalu benar-benar pergi meninggalkan ruangan itu.

*****

Sepulang sekolah Kilan tidak langsung kerumah. Dia pergi kerumah Tomi.

"Ada kemajuan?" Tanya Tomi. Satu-satunya orang yang mengetahui perasaan yang dia miliki hanyalah Tomi.

"Gue nggak berharap sama sekali dia jadi milik gue Tom." Suara kilan benar-benar sangat frustrasi.

"Lo bodoh kalau gitu. Lo mau hati lo sakit terus menerus gitu?" Tomi sudah mulai jengah dengan sikap sahabatnya yang selalu pandai berpura-pura jika dia tidak apa-apa.

Kilan berjalan mengambil rubik yang tergeletak di meja lalu kembali ke tempat tidur dengan memutar Rubik ditanganinya. "Seenggaknya gua bisa lindungi dia setiap saat. Itu udah cukup." Mata Kilan masih fokus pada Rubik itu tapi tidak benar-benar memperhatikan Rubik di tangannya. "Cintakan emang nggak harus memiliki. Dia bahagia aja itu udah cukup."

Kilan menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur Tomi lalu memejamkan matanya. Menikmati rasa sesak di dadanya.

Tak lama kemudian pria itu berdiri dan mengambil tas miliknya yang dia letakkan dikursi sofa. "Gue cabut. Salam sama bonyok lo." Kata Kilan lalu melesat keluar kamar Tomi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 12, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hope (seperti lari di tempat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang