Keesokan harinya...
Pelajaran pertama di kelas 8 sudah dimulai. Bel masuk sudah berbunyi sejak 30 menit yang lalu. Hal itu berarti pelajaran pun telah berlangsung selama 25 menit setelah doa masuk sekolah selesai dipanjatkan. Namun, Hilda belum juga datang.
Tadinya Maudy berpikir bahwa Hilda mungkin saja terlambat karena bangun kesiangan, mengingat hari ini adalah hari pertama mereka masuk sekolah setelah liburan yang menurutnya lumayan panjang. Tetapi, sekarang Maudy mulai berpikir-pikir.
“Apakah orang tuanya mengajaknya liburan ke luar kota atau luar negeri?”
“Apakah orang tuanya memindahkan dia ke sekolah yang lebih bagus dan lebih berbobot?”
“Atau mungkin orang tuanya menyekolahkan dia ke luar negeri?”
“Ah.. mungkin saja ia tidak sekolah karena masih ingin bermanja-manja dengan orang tuanya.”
Berbagai pertanyaan muncul di benak Maudy. Kebanyakan adalah pikiran-pikiran negatif. Saat pelajaran bahasa Inggris berakhir, Bu Rosi, si guru biologi datang untuk mengajar di kelas Maudy sesuai dengan jadwal yang tertera.
Maudy melihat jam dinding yang terdapat di atas papan mading (yang berada di bagian belakang kelasnya, tepat berseberangan dengan papan tulis putih yang berada di depan kelas).
Jam menunjukkan pukul 08:10. Maudy semakin yakin jika Hilda memang tidak akan datang ke sekolah. Pasalnya, sekolah Maudy, yaitu sekolah Bina Bangsa, hanya memperbolehkan murid yang terlambat untuk masuk kelas jika ia terlambat 1 jam setelah bel sekolah berbunyi dan lewat dari itu, maka murid akan disuruh pulang dan tidak akan diizinkan untuk masuk sekolah.
Jadi, Hilda sudah pasti tidak akan datang karena sekarang sudah lewat 10 menit dari batas ketentuan waktu terlambat.
Belum lama pelajaran biologi berlangsung, tiba-tiba wali kelas Maudy, Bu Wanda, masuk ke dalam kelas.
TOK.. TOK.. TOK..
“Permisi Bu Rosi. Maaf mengganggu sebentar,” salam Bu Wanda.
“Iya, Bu. Tidak apa-apa,” balas Bu Rosi.
Bu Wanda mengumumkan, “Anak-anak, kita mendapat sebuah kabar duka dari orang tua Hilda. Hilda menghembuskan nafas terakhirnya jam 3 pagi tadi di Rumah Sakit Pinata karena penyakit leukimianya yang sudah masuk ke tahap akut yaitu stadium C. Bagi yang ingin melayat Hilda, bisa datang ke Rumah Duka Pinata.”
Mata Maudy terbelalak. Ia tidak menyangka bahwa selama ini Hilda mengidap penyakit berat. Apalagi sudah ke tahap yang sangat parah sampai-sampai membuatnya meninggal dunia. Ia merasa bersalah karena telah berpikiran buruk tentang Hilda tadi.
Maudy pun tersadar. Ia akhirnya menyadari bahwa apa yang dilakukan oleh orang tua Hilda kepadanya adalah untuk membuatnya senang di sisa -sisa waktu hidupnya.
Selain itu, orang tuanya juga mau menghabiskan waktu bersama Hilda sebelum ia meninggal dunia.
Lagi-lagi Maudy berdoa dan mengucap syukur kepada Tuhan. Ia bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk hidup.
Tidak lupa, ia juga meminta maaf kepada Tuhan karena ia pernah berpikir bahwa ia ingin mati. Banyak orang ingin sehat, namun ia malah ingin mati.
Ia menyadari bahwa manusia meninggal tidak semudah kelihatannya. Mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan mereka semasa di bumi kepada Tuhan.
Selain itu, mereka juga harus melewati proses yang menderita yaitu penyakit yang dideritanya.
Memang ada yang meninggal saat tidur, atau ada pula yang penyakitnya sembuh sebelum mereka meninggal, namun kebanyakan orang meninggal karena penyakitnya.
Hal itu membuatnya bersyukur karena tubuhnya masih sehat. Mulai sekarang, Maudy berjanji bahwa ia akan lebih menjaga kesehatan tubuhnya dan menghargai hidupnya.
¤¤¤
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelajaran Berharga ✔️ (Cerpen [COMPLETED])
Short Story"Saat kamu menyadari kalau kamu diberkati tanpa batas. kamu akan sadar bahwa hidup adalah harta yang sangat berharga." - GIFT GUGU MONA "Lebih baik mensyukuri apa yang kita miliki daripada menyesali apa yang tidak kita miliki." -RIDWAN METS ¤¤¤¤¤¤¤...