Pelajaran Berharga (Part 1)

1K 21 0
                                    

Sekarang adalah liburan kenaikan kelas. Waktunya 1 hari lagi sebelum pelajaran di kelas 8 dimulai.

Peralatan untuk masuk sekolah telah Maudy persiapkan sejak lama. Jadi, ia bisa menikmati liburan terakhirnya hari ini.

Pagi ini, Maudy bangun jam setengah 5. Lebih pagi dari biasanya. Ia akan berlibur ke pantai bersama om dan tantenya sehingga ia harus bersiap-siap terlebih dahulu.

Orang tuanya tidak bisa menemani karena sibuk bekerja. Mereka pergi ke luar kota setelah pengambilan rapor (sebulan yang lalu) untuk mengurus cabang perusahaannya di sana.

TOK..TOK..TOK..

“Maudy. Sudah selesai siap-siap belum? Sudah jam setengah 6. Nanti sarapannya keburu dingin.”

“iya, aunty. Sebentar lagi.”

Maudy segera keluar dari kamar. Ia berjalan untuk menuju meja makan dan memakan sarapannya. Setelah selesai, mereka segera pergi ke pantai.

Mereka sampai di pantai jam 6 pagi. Maudy dan tantenya menggelar tikar sementara omnya sedang membeli camilan.

Selesai menggelar tikar, Maudy memutuskan untuk berenang. Keadaan pantai masih belum begitu ramai sehingga Maudy masih dapat berenang di laut dengan bebas.

¤¤¤

Sudah lumayan lama Maudy berenang. Kulit di jari-jari tangannya mulai mengeriput. Ia pun naik ke pasir untuk bermain pasir.

Sebelum bermain pasir, ia mengunjungi tikarnya untuk mengambil peralatan pantai (yang biasa digunakan untuk bermain pasir).

Saat bermain pasir, ia melihat seseorang yang ia kenal di tikar lain.

Ia ingin mengunjungi orang tersebut untuk memastikan penglihatannya tersebut, apakah ia salah lihat atau memang mengenali orang tersebut.

Namun, rasa malas menghantuinya. Lagi pula, ia tidak mau istana pasir buatannya yang sudah hampir jadi dihancurkan oleh ulah jahil orang lain. Jadi, ia tidak beranjak dari tempatnya dan tetap membuat istana pasirnya tersebut.

“Maudy.”

Mendengar namanya dipanggil, Maudy segera menoleh ke sumber suara. Ia mendapati orang yang tadi dilihatnya di tikar.

Ternyata dugaannya benar. Ia mengenal orang tersebut. Orang tersebut adalah Hilda, teman sekolah Maudy, lebih tepatnya teman sekelas Maudy di kelas 7.

“Oh.. Hai, Hilda,” sapa Maudy.

“Wah, kamu hebat sekali. Istana pasirmu indah,” puji Hilda sambil tersenyum manis.

“Terima kasih. Ngomong-ngomong, kita sekelas lagi loh di kelas 8. Mau sebangku denganku?” ucap sekaligus tanya Maudy.

“Boleh,” jawab Hilda.

“Kamu pergi ke sini dengan siapa?”

“Dengan orang tuaku. Kamu?”

“Aku pergi dengan om dan tanteku. Orang tuaku kerja ke luar kota sampai 2 bulan ke depan.”

Maudy dan Hilda bermain pasir sampai siang.

Pakaian Maudy yang tadinya basah karena berenang sudah mulai kering walaupun masih sedikit lembap karena ditambah dengan keringatnya yang membasahi tubuh dan meresap ke pakaian.

Jam tangan yang dikenakan oleh Hilda sudah menunjukkan pukul 11.

“Hilda. Sudah yuk mainnya. Kita makan dulu, ya, sayang. Sudah siang. Nanti kamu sakit,” panggil mama Hilda.

“Ayo, Hilda. Papa sudah pesan nasi goreng spesial kesukaan kamu di restoran ‘Panchky’. Sebelum pulang, kita makan dulu ya di sana,” ajak papa Hilda.

“Iya, Ma, Pa,” jawab Hilda.

“Maudy aku pulang dulu ya. Bye,” pamit Hilda pada Maudy.

“Iya. Hati-hati ya. Bye.”

Hilda sudah pulang bersama kedua orang tuanya. Maudy pun memutuskan untuk pulang juga.

Sebelum pulang, om dan tantenya menyuruhnya agar ia mandi terlebih dahulu di WC umum yang telah tersedia di pantai.

Setelah membersihkan diri selama sekitar 1 jam, mereka pun pulang ke rumah.

Saat di dalam mobil, Maudy hanya diam saja. Omnya pun menggubris sikapnya tersebut.

“Maudy. Kamu kenapa? Kok diam saja?”

“Tidak kenapa-kenapa, uncle. Hanya sedikit lelah.”

“Ya sudah. Tidur dulu saja. Nanti kalau sudah sampai di rumah, uncle bangunkan.”

“Iya, uncle.”

Tidak. Maudy tidak diam karena lelah. Ia diam karena sedih. Sebenarnya, ia iri pada Hilda. Orang tuanya selalu memanjakannya. Orang tuanya selalu menemani ke mana pun  ia pergi.

Sedangkan orang tua Maudy tidak. Mereka selalu pergi bekerja ke luar kota ataupun luar negeri. Tidak ada waktu untuk menemani Maudy.

Bahkan dalam setahun saja, pertemuan antara Maudy dan orang tuanya dapat dihitung dengan jari.

Bukan. Bukannya Maudy tidak bersyukur dengan keadaan ekonominya yang berada di atas rata-rata. Hanya saja, ia juga butuh perhatian dari orang tuanya.

Maudy menganggap orang tuanya tidak peduli padanya. Ia menganggap orang tuanya hanya memedulikan materi saja.

Dalam hatinya, ia berharap ia segera mati. Ia berharap Tuhan mengambil nyawanya saat ia tidur. Ia ingin melihat reaksi orang tuanya setelah tahu bahwa anak semata wayang mereka telah meninggal.

Apakah mereka akan peduli? Apakah mereka akan menangis? Atau sebaliknya? Apakah mereka akan merasa senang? Maudy pun tertidur dengan berbagai pertanyaan yang hanyut dalam pikirannya.

¤¤¤

Pelajaran Berharga ✔️  (Cerpen [COMPLETED])Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang