Nazka sedang berdiri di balkon kamarnya. Menikmati bintang dan bulan yang meghiasi langit. Melihat bintang-bintang, membuatnya teringat pada Azka, yang sangat menyukai bintang. Tak hanya teringat pada Azka, tetapi juga pada mendiang istrinya, Derly yang dibunuh setelah melahirkan Deo.
"Yang Mulia," kata pria beriris
Suara Fedward membuat Nazka membalikkan badannya. "Que esvapal (Ada apa), Ward?"
"Maaf, kalau hamba lancang. Yang Mulia kalau kangen pada Azka, kenapa tidak langsung membawanya pulang?"
Nazka terkekeh mendengar perkataan tangan kanannya. "Kalau saja memang semudah itu, mungkin aku tidak perlu menunggu selama sepuluh tahun."
"Walau begitu, seharusnya Yang Mulia tidak boleh mengorbankan Cessia seperti itu."
"Saya tidak mengorbankan Cessia, saya hanya mau Cessia membawa Azka pulang ke tempat asalnya. Apa lagi, sejak sihir mereka bisa disatukan dalam sebuah kunci pintu, mereka adalah pasangan yang ditakdirkan."
"Cessia taunya bahwa Azka sudah meninggal."
"Memangnya menurutmu Cessia akan percaya, tanpa adanya jasad dari Azka?"
***
Cessia baru saja naik ke lantai dua, baru kali ini dia sadar bahwa ada sebuah kamar di depan tangga. Cessia yakin sebelum-sebelumnya tidak ada kamar ini. Atau dia lupa? Cessia mendekati pintu biru itu, mencoba membukanya. Sayangnya pintu itu dikunci.
"Apakah ini kamar orang tuanya?" Cessia melipat tangannya sembari menatap gagang pintu itu dengan lekat. "Haruskah aku membukanya dengan paksa?"
Baru saja tangannya memegang gagang pintu tersebut, dengan cepat Cessia melepaskannya. "Tidak, tidak. Jika aku ketahuan, aku akan semakin canggung dengan Aldorf."
Cessia menoleh ke arah kanan, langsung membulatkan matanya. Walau agak gelap karena lampu sudah dimatikan, tetapi dia masih bisa melihat sosok Aldorf sedang berdiri menyandarkan bahunya di dinding. Dia langsung menggigit bibir bawahnya. Dia merasa malu dan tegang. Dia yakin, kali ini dia akan semakin canggung dengan Aldorf.
"Kamu mau tau tentang orang tuaku?"
Pertanyaan tak terduga dari Aldorf membuat Cessia menatap tidak percaya. "Kamu tanya padaku?"
"Tentu saja kamu, memangnya di sini ada Fery? Lagi pula, Fery sudah tahu tentang orang tuaku," jeda Aldorf. "Jadi?"
"Aku mau."
"Kalau begitu, kita ngomongnya di taman belakang saja."
Cessia menyingkir agar Aldorf bisa menuruni tangga. Pada saat sampai di anak tangga kelima dari atas, Aldorf berhenti lalu berbalik menatapnya. "Kamu tidak mau turun?"
"Tentu saja mau."
Cessia langsung mengekori Aldorf mengekori tangga, untuk menuju taman belakang yang dekat dengan kamarnya. Aldorf membuka pintu yang terhubung pada taman belakang. Cahaya bulan menyinari taman rumah Aldorf, sehingga Cessia masih bisa melihat benda-benda yang ada di sana. Ada sebuah bangku dari kayu, dan berbagai macam bunga. Dia segera mendekati bunga yang tampak tidak asing di matanya.
"Pantas saja di sini tidak ada nyamuk padahal sekarang hampir tengah malam, ternyata ada bunga lavendel," gumam Cessia yang berjongkok di depan bunga lavendel.
Cessia membalik menatap Aldorf yang sedang duduk di bangku. "Dorf, ini siapa yang tanam?"
"Ibuku."
Cessia mengangguk sembari tersenyum senang. Namun, senyumnya luntur teringat Azka yang pernah juga mengatakan kalimat tersebut. Teringat kata Fery tadi tentang Azka, membuatnya menghela napas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lebis : Divorcio
FantasyTidak ada yang mau dijodohkan, termasuk Cessia. Hanya karena sebuah aturan turun-temurun, membuat para peri menurut. Melihat hancurnya keluarga Laudilla, Cessia memutuskan tidak mau dijodohkan, walau harus dicap pengkhianat. Tiba pada hari ia dijod...