11. Rencana

39 8 2
                                    

Gadis beriris mawar memasuki ruangan kakaknya, gadis beriris semangka. "Kak Siva."

"Qui (Apa)?" Siva tidak menoleh ke arahnya, dia masih sibuk dengan barang persiapannya. Ia saat bersemangat karena sebentar lagi rencananya akan mulai.

"Kak Siva yakin akan tetap melakukan ini, walau mempertaruhkan nyawa Kakak?"

"Tentu saja, aku akan membuat apa pun untuk membalas kematian orang tua kita. Jadi, kamu diam saja dan menonton pertunjukkanku."

Gadis beriris mawar itu menatap kakaknya dengan lelah. "Orang tua kita yang duluan membunuh, Kak. Jadi, itu adil karena nyawa dibalas nyawa."

Lagi-lagi, Siva menatapnya tajam. "Apa kamu lupa? Orang tua kita hanya membunuh satu, jadi seharusnya mereka hanya perlu membunuh Ibu atau Ayah, bukan keduanya. Kalau kamu terus melarang aku seperti tadi, lebih baik kamu pulang bersama Kak Sazkia."

"Terserah, Kakak saja. Kalau kerajaan Sorsam hancur hanya karena rasa dendam Kakak, lebih baik Kakak mati saja. Hanya tersisa kerajaan Sorsam yang menjadi peninggalan orang tua kita. Sekarang aku terserah kamu mau bunuh peri kah, ambil matanya kah, terserah."

Siva hanya menatap kepergian adiknya, diam-diam dia memasang senyumannya. Bukan senyuman senang, tetapi senyuman meremehkan. "Bagus lah, Seri membiarkanku. Aku akan mengambil mata teman, Seri."

***

Cessia memasuki kelas XI IIS 3 dengan seragam putih abu, mengingat hari ini hari Selasa. Ia duduk di tempat duduknya, Sanly menyambut kedatangannya dengan mata berbinar dan juga duduk di samping--tempat duduk Sanny.

"Kenapa, Sanly?"

"Aku gak sabar aja, besok aku akan keluar bersama teman-temanku. Udah lama banget aku gak keluar bareng teman."

Cessia mengerutkan dahinya. "Besok?" Sanly mengangguk antusias. "Memangnya besok ada apa?"

Sanly menatap Cessia tidak suka. "Duh, kamu gimana sih. Besok kan kita akan keluar bareng sama sekelas dan juga sama Bu Risna. Kamu lupa?"

Cessia menepuk jidatnya. "Ah iya. Aku lupa dong," kata Cessia sambil cengar-cengir.

"Jadi kamu belum ajak Aldorf dong?" Cessia menggeleng. "Ya, gimana sih. Kan kamu bilang mau bujuk Aldorf supaya ikut, kalau dia gak mau gimana, kan besok sudah mau keluar."

Cessia menepuk bahu Sanly. "Tenang saja, aku akan membujuknya hingga dia mau."

***

"Enggak!"

"Ya, kok gitu sih, Dorf." Cessia menggoyang-goyangkan tangan Aldorf layaknya anak kecil.

"Enggak, Sia. Besok aku sibuk. Lagi pula, keluar-keluar gitu juga buang-buang duit, udah gitu gak jelas," kata Aldorf setelah meminum air.

"Ih, mau dong. Aku baru pertama kali tau keluar bareng sama banyak orang."

Aldorf kukuh pada pendiriannya. "Enggak, Cessia. Besok aku mau belajar aja, Kamis ada ulangan lo."

"Aldorf jahat!" teriak Cessia lalu menuju kamarnya dengan membanting pintu kamarnya.

Fery baru saja keluar dari kamarnya menggeleng melihat Cessia yang teriak. "Kenapa lagi tu anak?" tanya Fery sembari mendekati Aldorf.

Aldorf menghela napas. "Ngambek karena aku tidak mau ikut acara jalan besok."

Fery menepuk bahu Aldorf. "Ikut saja, kamu juga sudah lama tidak keluar kan? Kalau kamu keluar juga palingan anter barang. Lagi pula ya, senengin pasangan gak papa kok."

Fery terkekeh melihat mata Aldorf yang melotot. Ia melangkah menjauh dari Aldorf, menuju dapur untuk mengambil air minum. Setelah minum, dia kembali berkata, "Sepertinya rencana Cessia itu tidak buruk-buruk banget deh, Dorf. Ikut aja, aku juga kayak mau ikut deh, udah lama gak keluar jalan-jalan. Sekalian refreshing, pusing nih ngurusin urusan sekolah dan juga urusan kantor."

"Gak usah banyak bacot. Lho sendiri yang bilang mau urusin kantor itu sendiri ya. Sana pergi, urusan kantor masih banyak kan." Aldorf menyeret Fery mendekati kamarnya.

Sesampai di depan pintu kamar Fery, Fery berbalik menatap Aldorf. "Tapi serius deh, Dorf. Jalan-jalan aja bentar, itu juga gak seharian penuh, paling beberapa jam doang. Emang lo gak stres mikirin sekolah dan Lebis? Makanya ini alasan aku tidak ingin urusan kantor juga melibatkanmu."

Aldorf membisu. Ia tidak tahu Fery memang sedang menyuruhnya untuk mengikuti kemauan Cessia atau memang ingin dirinya liburan. Fery terlalu susah ditebak pikirannya, persis seperti ayahnya. "Kadang aku merasa, aku yang menjadi pelayanmu, bukan sebaliknya," jeda Aldorf. "Mungkin aku akan mengikuti saranmu. Sudah sana masuk kamarmu, masih banyak pekerjaan kan?"

"Iya-iya, Pangeran."

Aldorf kembali melangkah menuju dapur--tempat dirinya dan Cessia bertengkar, setelah Fery memasuki kamar. Setelah meminum air, lagi-lagi dia menghela napas. Sepertinya harus membujuk Cessia lagi, dari pada mereka harus diam-diaman lagi. Aldorf berdiri di depan pintu kamar Cessia, lalu menempelkan telinganya di pintu. Tidak ada suara apa pun dari dalam. Sepertinya Cessia sedang marah.

"Cessia," panggil Aldorf sembari mengetuk pintu kamar Cessia. "Cessia, oh Cessia."

Tetap tidak ada jawaban dari dalam. Aldorf kembali menempelkan telinganya di pintu. Pintu yang bergerak membuat Aldorf hampir saja terjatuh.

"Kenapa?" tanya Cessia dengan ketus, bahkan sampai memalingkan wajahnya.

"Ya sudah, besok kita ikut mereka jalan-jalan."

Wajah Cessia yang awalnya murung menjadi berseri-seri. "Serius kan? Gak bohong kan?"

Pandangan Cessia tertuju pada Aldorf yang menggeleng, membuatnya memeluk Aldorf. Aldorf terkejut, perasaan yang pernah dia rasakan bersama Cessia mini.

Cessia melepaskan pelukannya masih dengan senyuman di wajahnya. "Makasih lo, Dorf. Ah, aku akan mencari pakaian yang cocok buat aku pakai di acara besok. Jadi panggil aku saat makan malam sudah siap saja ya. Dadah."

Pintu kembali tertutup, tepat di hadapan Aldorf. Aldorf masih bergeming, dia masih terkejut dengan perasaannya. "Aku kira itu hanya perasaan sesaat, tetapi kenapa perasaan ini masih terasa? Apa jangan-jangan kata Fery benar?"

***

Siva menatap benda yang baru saja dibuatnya. Guci emas yang dilengkapi dengan sihir level semangka dan juga kilauan berwarna semangka. Walau dia tahu guci ini tidak terlalu kuat karena kekuatannya yang terbatas, tetapi guci ini berguna. "Sebentar lagi aku akan memiliki sihir yang lebih kuat, dan aku akan memusnahkan kerajaan Feecris," ucap Siva dengan senyum miringnya.

***

Tbc.

Mau kasihan sama Siva tapi gak bisa karena dia jahat :( Dan mulai part selanjutnya akan lebih terlihat konfliknya, hihi. So, ditunggu ya.

15 Des 2018

Lebis : DivorcioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang