Bersama

534 73 1
                                    

Apa kenangan paling menarik tentang malam natalmu?
Berkumpul dengan keluarga?
Bercengkrama dengan sahabat-sahabat?
Atau liburan dan menikmati white christmas dengan pasanganmu?

Kalau aku, membantu para ahjumma menyiapkan hidangan natal untuk seratus orang di panti rehabilitasi.

Menyiapkan bahan mentah dari pagi hari, berkutat dengan peralatan dapur dari siang hari, sampai menghidangkannya di meja panjang saat malam menjelang.
Lalu saat orang-orang memakan masakan yang kami buat, wajahnya berseri dan bibirnya berseru "massiseoyoooo... " aku merasa gembira sekali. Benar-benar bahagia. Kebahagiaan yang sederhana tapi tak akan pernah tergantikan seumur hidup.

Dan satu hal lagi yang membuat momen itu istimewa adalah sesungguhnya aku tak bisa memasak.
Sama sekali.

Tapi Hoseok bisa.
Ia mahir memasak.

Dan ia mengajariku.

Semua kemampuanku adalah hasil memutar balik setiap memori saat ia mengajariku memasak di dapur ibu kos dulu. Saat kami mau tak mau harus menghemat uang bulanan demi seperangkat modul Kalkulus dan Statistika versi terbaru. Saat kami harus memulai kehidupan kami sebagai anak rantau. Saat kami harus mulai berdiri di kaki kami sendiri-sendiri.

Ralat.

Bukan sendiri-sendiri.
Kami berdiri dengan kaki kami lalu melangkah bersama.

Bersama sejak dulu, bertahun-tahun lalu.
Sampai kini dan sampai langkah kami harus terhenti di akhir nanti.

.
.
.
.
.

"hey!" panggil Hoseok, melemparkan sebungkus dark chocolate padaku. Aku menangkapnya dengan sempurna, segera menyobek bungkusnya lalu menggigit besar-besar. Sambil menatap tak percaya padanya yang ternyata bisa juga sampai ke hutan belantara begini.

"ayo pulang!" ajaknya, menggigit batangan cokelat miliknya.
"dua hari lagi" jawabku santai "penggantiku baru bisa terbang besok" lanjutku sambil memandanginya dengan kening berkerut.
Ia tertawa, bisa membaca kalau aku bertanya kenapa bisa sampai kesini "satu dari sekian hal kenapa aku jadi anak psikologi" katanya, memandangiku dengan sorot mata licik yang selalu kulihat saat ia mempengaruhiku untuk melanggar aturan sekolah dulu "menghipnotis orang supaya dapat tiket secepat kilat" jelasnya, membuatku ikut tertawa.

"kembalilah ke kota" kata Hoseok.
"kenapa?" tanyaku.

Kami terdiam. Mata kami sama-sama memandangi matahari senja yang mulai menghilang ke balik bukit.

"karena tanpamu... " kata Hoseok perlahan "wanita-wanita seksi itu tak mau duduk di tempat kami" candanya.
"jasshik!" umpatku sambil tertawa.
"yah! Juragan tambang sepertimulah daya tarik meja kita!" tambahnya lagi membuat kami tertawa-tawa makin keras.

Sungguh, aku sudah sembuh dari kecanduanku akan kokain.
Tapi untuk kecanduanku akan persahabatan kami, aku tak mau sembuh.

Tak akan.

My Other Half Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang