My Other Half

Bertemu

Kaus hitam yang sudah berubah warna menjadi abu-abu, celana pendek hijau tua, dan sendal jepit kebesaran.

Sweater merah, celana panjang cokelat, dan sepatu convers baru hadiah ulang tahun.

Menggerak-gerakkan batang ilalang dari bibir kiri ke bibir kanan. Sementara jemari bergerak memutar-mutar dan melempar tiga butir batu sungai.

Memasukkan kedua tangan ke saku celana, berdiri tegak khas siswa teladan, memasang pandangan menusuk dan mengintimidasi.

Jung.

Kim.

Kami saling memperhatikan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Saling berdiri berhadapan di tengah jalanan aspal yang sepi.

Kami berbeda.
Tapi kami mirip. Mirip sekali.

Lalu dia maju selangkah, aku diam.
Dia maju tiga langkah, aku masih diam.
Dia maju sepuluh langkah, aku masih diam.
Tapi saat dia tepat berdiri lima langkah di depanku, dia diam sejenak...

Lalu dia berbelok.
Menapaki jalan turun, tangga dari tanah di sebelah kananku, di luar area tanah yang beraspal.

Aku masih diam.
Masih memandang lurus jalanan di depanku yang kini kosong.

"hey!"

Aku menoleh.

"ayo!" dia memiringkan kepalanya, mengajakku.

"kemana?!" tanyaku tegas. Pandangan mata kami beradu.

Dia memandangiku dari atas sampai bawah lagi lalu pandangannya terhenti di celana cokelat yang kupakai sebelum berakhir di mataku lagi.
Ia membaca keraguanku.

"aku punya celana seperti itu" katanya, mengunyah lagi batang ilalang di mulutnya "kau bisa pakai, kurasa ukurannya pas"

Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.

Aku tersenyum dan menular padanya.
Lalu kusadari, bahkan senyum kamipun mirip.

.
.
.
.
.
.
.
.
.

Tanpa basa-basi lagi, aku mantap mengikuti langkahnya menuruni tangga tanah dengan semangat menuju kubangan lumpur di pematang sawah yang masih basah di guyur hujan tadi malam.

Persetan sepatu boots.
Persetan celana baru.
Persetan convers merah kesayanganku.

Yang kutahu, mulai hari itu, tanpa ragu aku akan mengikutinya kemanapun.

Sampai hari ini.

Dan selamanya.

Sincerely, Kim Namjoon