Sebuah suara mengagetkan Celyn. "Keluarin aja, Cel." Kinar. Bersandar pada pintu rooftop dengan tangan terlipat di depan dada. Celyn membalikkan badan terkejut. Kinar berjalan menghampiri. Dengan cepat Celyn menghapus jejak air mata di pipinya. "Kinar. Kok kamu bisa ada di sini?" tanyanya saat Kinar justru berdiri di sampingnya dan memandang jauh kedepan. Mengabaikan pertanyaan Celyn.
Celyn mengikuti Kinar. Keduanya menikmati indahnya senja bersama. "Gue tau, lo mau ikut sama gue cuma karena lo mau kesini." Kinar membuka suara. Celyn menoleh. Menatap Kinar. Namun Kinar tetap memandang lurus kedepan. "Gue tau lo punya masalah. Makanya gue ikutin lo. sengaja gue pura-pura masuk ke apartemen gue. Setelah itu gue keluar lagi buat ikutin lo." lanjut Kinar tanpa mengalihkan pandangannya. Celyn kaget. "Jadi kamu udah lama berdiri di sana?" tanya Celyn. Kinar mengangguk menoleh kearah Celyn. Membalikkan badannya. Punggungnya menyender pada tembok pembatas. "Iya. Tepatnya bareng sama lo." jawab Kinar sambil terkekeh. Celyn menunduk.
Semudah itukah Kinar mengetahui bahwa Celyn menyimpan sebuah masalah? Bahkan kedua orang tua yang selalu bersamanya tak pernah tau jika Celyn memiliki masalah. Tapi Kinar? Begitu mudahkah dirinya menebak?
"Kenapa? Lo bingung kenapa gue bisa tau?" tebak Kinar yang tepat sasaran. Celyn mengangkat pandangannya. Menatap Kinar yang dibalas dengan senyuman.
"Gue tau. Karena gue juga kayak lo." Kinar memegang tali tasnya. Menatap kedua kakinya.
"Maksudnya?" Celyn tidak paham.
"Kalo gue lagi sedih. Atau gue punya masalah. Ini tempat favorit gue." Kinar menjelaskan. Celyn mengangguk.
"Apa ini artinya kamu juga lagi ada masalah?" kembali Celyn bertanya yang membuat Kinar diam. "Maaf. Kalo omongan aku menyinggung." Celyn buru-buru meminta maaf karena ia melihat perubahan dari wajah Kinar.
"Ngga kok. Lo ga menyinggung sama sekali. Lo bener. Gue juga lagi ada masalah." Jawab Kinar tenang. "Tapi sepertinya masalah lo lebih berat. terbukti karena lo bahkan sampe nangis." Lanjut Kinar sambil menatap Celyn.
Celyn tersenyum simpul. Mungkin memang berat untuknya. Namun tidak bagi orang lain. Bahkan sangat mudah untuk dia yang disana.
"Gue bukan ingin ikut campur. Tapi kalo lo butuh temen untuk curhat. Lo bisa curhat sama gue." Ucap Kinar sambil menepuk pundak Celyn. Celyn mengangguk. "Iya. Makasih Kinar."
"Udah gelap. Lo ga mau pulang?" tanya Kinar mengubah topik.
"Oh, iya. Yaudah kalo gitu aku pulang dulu." Celyn baru tersadar jika hari sudah gelap. Senja yang sedari tadi menemani telah hilang.
Celyn berjalan santai menuju rumahnya. Ia tak berniat memberhentikan taxi atau angkutan lainnya. Ia lebih suka berjalan kaki. ia sudah terbiasa. Karena saat di Daegu dulu kemana-mana ia akan berjalan kaki. Jika memang lumayan jauh, ia akan memilih naik bus. Lagipula jarak apartemen Kinar dan rumahnya tidak terlalu jauh.
Rosaline sering sekali mengatakan bahwa di rumah ada mobil yang bisa ia pakai. Jadi ia tidak perlu berjalan kaki. Namun Celyn tak berniat sedikit pun untuk mengendarai mobil itu. ia malah lebih tertarik menggunakan sepeda atau angkutan umum.
Tepat pukul tujuh malam. Celyn memasuki gerbang rumahnya. dengan langkahnya ia sudah sampai di depan pintu. Tak lupa ia melepas sepatunya dan memakai sandal rumahan. Membuka pintu tersebut. "Celyn pulang." Sapanya saat memasuki rumah.
"Iya, Sayang." Sahut Rosaline yang baru saja keluar dari kamarnya.
"Celyn bersih-bersih dulu ya, Ma." Ucapnya sambil berjalan menaiki tangga.
"Iya." Jawab Rosaline sambil berlalu ke arah dapur.
Sesampainya di kamar. Celyn menanggalkan tasnya di kursi meja belajarnya. Meletakkan sepatunya bersama dengan koleksi sepatunya yang lain. setelah itu ia berjalan kearah tempat tidur. Menghempaskan tubuhnya. Dibukanya layar ponsel yang ada di sakunya. Tidak ada chat yang memenuhi layar ponselnya. Padahal dulu saat di Daegu, ponselnya tak pernah sesepi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Astrophilia
Teen Fiction"Mengagumimu seperti malam. Dingin. Namun tenang. Binar-binar bintang seperti matamu. Indah dan menyejukkan." ~Abriana Adeeva Jocelyn~