Kamu adalah alasan kenapa aku berani bermimpi. Tapi di saat yang bersamaan, aku takut terbangun dan menghadapi kenyataan bahwa kamu hanyalah mimpiku.
-;-
Kriteria cewek dari seorang cowok bernama Azraqi Sarfaraz tidaklah muluk-muluk. Atau bisa dibilang, Azra menyesuaikan kriterianya dengan tampang yang ia punya. Cowok itu sadar kalau dirinya bukan termasuk jajaran cowok bertampang pangeran berdompet setebal buku ensiklopedia. Jadi, kriteria cewek yang berpotensi untuk ia jadikan pacar pun tidak terlalu tinggi, apalagi sampai menyentuh langit.
Cukup tiga: yaitu bisa membuatnya nyaman, cantik, dan yang pasti sikapnya kalem.
Lalu, apakah Lea mampu menjadi salah satu dari penyabet gelar "masuk kriteria Azra"? Mari kita kaji dari awal.
Bisa membuat Azra nyaman? Kalau ditanya seperti itu, Azra memilih tersenyum mengatupkan mulutnya daripada membuka mulut untuk menyuarakan kenyataan. Cantik? Oh, jelas. Azra menganggap semua cewek itu cantik, tidak peduli seperti apa cewek itu. Sebut saja Azra tukang bokis, Azra akan mengabaikannya. Karena menurut Azra, setiap cewek punya sisi cantik tersendiri yang bukan hanya dari fisiknya. Fisik itu anugerah Tuhan yang patut disyukuri, bukan dinilai seenaknya, apalagi sampai dicacati.
Dan untuk yang terakhir: sikapnya kalem? Semut di pojokan kelas Azra pun sangsi mau mengatakan Lea itu kalem. Apalagi ditambah sikap Lea pagi ini.
"Lea, gue mau ke kelas." Azra mempercepat langkah kakinya setelah selesai melepas helm dan menaruhnya di atas motor dengan rapi.
"Iya, tahu, kok. Gue juga mau ke kelas," kata Lea jujur. Wajahnya yang sedang di-default kalem membuat Azra bergidik melihat Lea. Bukan apa-apa, tapi Azra risi dengan posisi Lea yang terus menempelinya.
"Jangan deket-deket, nanti dikira gue macem-macem sama lo, lagi." Azra mempercepat langkahnya, berusaha menghindari Lea yang kini menyusulnya.
"Azra, ini buat kamu. Aku yang bikin, loh. Bitterballen-nya masih anget, lagi. Kalo buat ganjel laper cocok banget, tau. Diterima, ya?" Azra menggaruk alisnya menggunakan jari telunjuknya, menatap sebuah tempat makan berwarna hitam dengan tutup biru yang Lea sodorkan.
"Lo ... bisa bikin itu?" tanya Azra merasa terheran cewek seperti Lea bisa memasak.
"Bisa. Mama yang ajarin. Eh, jadi ... mau, kan?" tanya Lea sekali lagi, ditambah dengan tatapan manis yang tak kunjung lepas dari wajahnya.
"Oke, gue terima. Makasih, Le." Azra menerima kotak makan itu lalu pergi meninggalkan Lea yang terpaku di tempatnya bediri.
Yes, diterima! batin Lea kegirangan sembari melangkah cepat menuku kelasnya. Hari ini ulangan matematika, tapi sepertinya cewek itu sedang menggenggam lucky card di sakunya.
¦R i g h t M i s t a k e¦
Pura-pura tidak mencintai ternyata memang sesakit itu daripada pura-pura mencintai. Dan Regen adalah satu dari sekian banyak penderita pura-pura tidak mencintai.
Dilatarbelakangi suasana kantin yang sedang ramai dengan siswa-siswi berperut melompong dengan suara yang seakan hendak menandingi suporter sepakbola, Regen menyantap gado-gado yang ia pesan dalam diam--menunjukkan kalau sebenarnya ia sedang tidak nafsu. Sebenarnya bukan tidak nafsu, lebih tepatnya Lea yang secara kebetulan mampu menjejalkan batu ke dalam perutnya, hingga Regen benar-benar kehilangan nafsu makannya.
"Iya, beneran. Gue udah pake aku-kamu-an gitu sama Azra. Yah, walaupun dia masih pake gue-elo, sih." Lea terus bercerita dengan semangat berapi-api, tampak tidak menyadari bahwa lawan bicaranya sama sekali tak menanggapi ocehan Lea.

KAMU SEDANG MEMBACA
Right Mistake
Dla nastolatkówAzra itu nggak ganteng. Dari skala 1 sampai 10, Lea memberikan nilai 7,2 untuk Azra. Kalau di rapor sekolahnya, nilai itu masih berada dalam rentang C. Tapi, suka pada seseorang tidak hanya berkutat pada tampang, kan? Lea itu nggak terlalu pinter...