4 ]Teman[

16 3 0
                                    

Menghindarimu adalah caraku untuk meredam laraku. Namun aku lupa, bahwa berada jauh darimu juga menambah luka baru.

-;-

"Gue keseeel banget! Orang gue ngomongnya nggak kenceng-kenceng banget, kok, tadi. Trus lo tahu apa, Nad--"

"Enggak," sahut Nadya dari seberang sana yang langsung mengundang decakan Lea.

"Sebagai sahabat yang baik, lo harusnya dengerin gue dulu, Nadya Sayang." Lea melayangkan protesnya. "Lo harus tahu ini. Azra, tadi megang tangan adkel itu! Bisa lo bayangin nggak? Megang tangan, Nadya! Gimana gue nggak kesel! Kan bisa ngomong aja, nggak usah sampe geret-geret tangan segala. Kalo gue dukun, udah gue santet tuh adkel!"

"Astagfirullah, nyebut, Lea. Nggak boleh gitu, ih," kalau Nadya ada di depannya, dahi Lea pasti sudah kena sasaran sentilan Nadya sekarang ini.

"Ya, dia duluan, sih, pake ngerebut Azra gue segala."

"Emang Azra siapa lo?"

Demi Justin Bieber yang lama banget nggak ngeluarin album baru, Lea ingin memakan Nadya hidup-hidup.

¦R  i  g  h  t  M  i  s  t  a  k  e¦

Ini untuk kekesalan gue sama Azra! ucap Lea dalam hatinya dengan tangan mengambil beberapa makanan ringan di rak minimarket dengan penuh semangat--ralat, emosi. Ini buat Nadya yang ngeselin pangkat lima! batinnya lagi, lalu mengambil lima bungkus coklat dalam sekali ambil.

Ya, Lea akan menumpahkan kekesalannya hari ini dengan makan sebanyak yang ia mau. Tapi berhubung Lea itu bukan cewek yang walaupun tiap hari makan 10x tetep kurus, ia harus menggantinya dengan lari keliling kompleks berkali-kali pada hari minggunya.

Namun Lea juga ingat, kalau hari ini hari kamis. Jadi, ia harus menahan diri agar tidak memakan makanan yang ia beli hari ini, supaya tidak mengacaukan kegiatannya hari jumat dan hari sabtu besok. Ya, memang salah Lea juga karena membeli makanannya hari ini. Dan sebagai pembelaan, Lea turut menyalahkan Nadya yang menambah tingkat kekesalannya dan membuatnya tidak sadar sudah melarikan pantatnya sampai ke minimarket terdekat.

Setelah mendapati keranjang belanjaannya penuh dengan berbagai makanan dan minuman kemasan, Lea berjalan ke meja kasir. Menunggu beberapa saat Mbak Kasir-nya menghitung total belanjaan, Lea merogoh tasnya dan mengambil beberapa lembar uang lima puluh ribuan.

"Semuanya 155.400 ribu rupiah, Mbak," ucap Mbak Kasir, menunggu Lea untuk membayar.

Mampus, Lea melayangkan senyum memelas kepada Si Mbak Kasir, namun tentunya tidak dipahami maksudnya oleh Mbak Kasir tersebut.

"Kalo dikurangin satu boleh nggak, Mbak?" tanya Lea lirih, berharap tidak ada yang mendengarnya kecuali mbak di depannya.

"Aduh, maaf, Mbak. Kalau sudah masuk hitungan nggak bisa diambil kembali."

Lea mendesah putus asa, menatap tiga lembar uang 50 ribuan di tangannya. Salahnya juga membawa uang pas dan kekesalan ke minimarket. Lea jadi tidak memperkirakan bahwa belanjaannya terlalu banyak.

"Kenapa, Le?"

Merasakan pundaknya ditepuk ringan, Lea pun membalik badannya. Pupil cokelat kehitaman milik Lea sontak berbinar memandang Regen. Tanpa aba-aba, Lea memeluk Regen sekencang yang ia bisa, sampai Regen merasa sesak.

"Lea-gue-susah na-pas," ucap Regen kepayahan.

Melepaskan pelukannya, Lea mengangkat tangannya, memberikannya pada Regen. "Punya 1400 rupiah nggak?"

"Ugh, ini," kata Regen lalu memberikan uang 10 ribu kepada Lea.

"Ini, Mbak. Nanti kembaliannya sama dia, ya?" kata Lea sembari menunjuk wajah Regen. Si Mbak Kasir hanya tersenyum lalu mengangguk, mengiyakan permintaan Lea.

"Regen Ganteng, you're my life savior tonight. Dan sebagai ucapan terima kasih gue," ucapan Lea tertahan oleh aktivitas cewek itu merogoh kantung belanjanya, "ini buat lo," sambungnya seraya menyerahkan sebungkus permen karet kepada Regen.

"Tapi--"

"Udah, ambil aja. Gue ikhlas lahir batin, kok. Bye, Regen!" pamit Lea lantas menghilang di balik pintu minimarket.

"Mas?"

Ucapan Mbak Kasir membuat Regen tersadar dari lamunannya, lantas ia menyerahkan dua buah parfum ke meja kasir.

Dipeluk, anjir. Angetnya masih kerasa lagi.

¦R  i  g  h  t  M  i  s  t  a  k  e¦

"Yakin lo, masih mau nongkrong di sini? Udah hampir jam 1, man."

Azra menggeleng, lantas meneguk minuman bersoda--yang baru berkurang setengah gelas sampai habis--yang memang disediakan oleh Raka, selaku pemilik acara malam ini.

"Kira cerita kalo kalian belajar bareng tadi, sebelum ke acara aniv gue sama Sheila." Raka menunduk, menatap Azra yang tengah memandang lurus ke depan. "Alus banget, lo," kata Raka lantas terkekeh pelan.

"Lo tau gue, Ka." Azra mulai membuka kaleng soda di dekatnya, berniat meminumnya. Namun tiba-tiba, tangan Raka menghentikannya.

"Kalo cuma pake ginian, kaga mempan. Mending ikut gue." Raka menunjuk ke dalam rumahnya, memberikan pilihan yang lebih baik kepada Azra ketimbang duduk sendirian ditemani kaleng-kaleng minuman bersoda di pinggiran kolam renang.

"I'm good. Lo masuk duluan," itu jelas sebuah tolakan dan Raka tahu itu. Menghela napas, Raka pun memutuskan masuk daripada lelah berdebat dengan Azra. Raka memang bisa menyuruh Azra untuk melakukan apapun, tapi tidak untuk hal yang satu ini; minum alkohol. Seburuk apapun lingkungan Azra, entah mengapa cowok itu tidak pernah terpengaruh sama sekali. Bahkan walaupun teman-temannya membakar rokok di depannya, Azra pasti hanya akan diam di tempatnya, tidak menunjukkan ekspresi tertarik atau apapun sejenisnya. Raka sampai salut pada pertahanan Azra.

"Bang Araz," panggil seorang cewek yang tiba-tiba duduk di samping Azra. Cowok itu bahkan tak sadar kalau Kira sudah menggeser kursi untuk duduk lebih dekat dengan Azra. "Kok nggak masuk, Bang?"

Satu-satunya orang yang memanggil Azra dengan nama 'Araz' diambil dari kata 'Sarfaraz' itu menatap Azra sedikit sayu, mungkin karena mengantuk. Tidak heran, karena acara anniversary Raka dan Sheila sudah selesai sejak dua jam yang lalu.

"Kamu juga di sini. Nggak ngantuk emang?" Azra menyingkirkan kaleng-kaleng minuman bersoda untuk sedikit menjauh dari sisinya.

Mengangguk sekali, Kira lantas berucap, "ngantuk, tapi nggak bisa tidur. Tadi turun ketemu Bang Raka, trus katanya Bang Araz masih di sini. Ya udah, aku ke sini aja."

Tersenyum, Azra lantas mengusap puncak kepala Kira beberapa kali. Dengan jarak sedekat itu, Azra bisa melihat dengan jelas bahwa bulu kuduk di lengan Kira yang tidak tertutupi baju tidur sudah berdiri. Tanpa menunggu lebih lama, Azra melepas jaketnya.

"Sini, aku pakein," ucap Azra yang disambut baik oleh Kira. Cewek itu menurut saat Azra memakaikannya jaket berwarna hitam yang ukurannya jauh lebih besar dibanding tubuh Kira. "Lucu, kamu," ucap Azra sedikit menahan tawa melihat tubuh Kira yang tenggelam di balik jaketnya.

"Ih, Bang Araz," rengek Kira memanyunkan bibirnya.

"Udah, jangan marah. Sini aku temenin tidur."

"Hah?!" Kira sampai menegakkan punggungnya, terkejut dengan ucapan Azra.

"Di sini. Aku temenin kamu tidur di sini, Kira. Kamu mikir apa, hayo?"

Seketika, semburat kemerahan langsung menyebar ke seluruh wajah Kira. Dengan malu-malu, cewek itu menyandarkan kepalanya di bahu Azra. "Nggak mikir apa-apa," elaknya.

Azra terkekeh geli, lantas melarikan tangannya ke bahu Kira lalu memberikan elusan-elusan lembut di sana.

Dari kejauhan, sudut mata Azra menangkap bayangan seseorang. Azra lantas menoleh, mendapati Raka tersenyum padanya.

¦R  i  g  h  t  M  i  s  t  a  k  e¦

Right MistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang