Reason #3 : Persistence

1K 115 3
                                    

Bangkok, 2013

Selama dua tahun Ten melakukan hubungan jarak jauh dengan Lisa. Well, sebenarnya tidak bisa dikatakan hubungan jarak jauh atau yang biasa disebut LDR, mengingat status mereka hanya tunangan karena perjodohan.

Namun bukan berarti perasaan cinta itu tak ada. Jika dulu dirinya selalu menganggap Lisa sebagai adiknya, tapi perasaan itu berubah ketika Lisa pergi menggapai mimpinya, mimpi mereka, di Korea Selatan dua tahun silam.

Rasa rindu itu terus membuncah dalam dadanya. Pesan singkat melalui email setiap bulan atau terkadang video call melalui Skype yang hanya mereka lakukan tiga bulan sekali belum cukup untuk menghadang rasa rindu Ten pada Lalisa-nya.

Rasa rindu itu membuatnya ingin segera menemui Lisa, memeluk gadis itu dan tak akan pernah melepasnya.

Dengan tekad kuat, ia memilih mengejar Lisa, mengejar kembali mimpi yang ia buang dahulu.

Di tangannya kini terdapat amplop berwarna merah muda, berisi hasil bahwa dirinya lolos menjadi trainee di SM Entertainment. Ia mengikuti audisi dengan harapan bisa menemui Lisa. Tidak peduli mereka berada di perusahaan yang berbeda. Selama mereka masih berpijak di negara yang sama, Ten akan lakukan apapun untuk membawa gadis itu kembali ke pelukannya.

Ia berdiri di balik pintu ruang kerja papa-nya. Menarik dan menghembuskan napas berungkali sebelum menghadapi beliau.

Perlahan, Ten membuka pintu ruang kerja tersebut dan menemukan papa dan mama-nya bercengkrama di sofa depan meja kerja.

"Pa, ma....,"

Sontak kedua orang tuanya menoleh ke arah putranya. Mata papa-nya menyorot ke arah amplop yang Ten bawa. Entah mengapa perasaan tidak enak.

"Kenapa sa....,"

"Apa yang kamu bawa itu? Amplop apa? Audisi mana lagi yang kau ikuti? Sudah ayah katakan berkali-kali berhenti, jangan mengejar sesuatu yang tidak berguna," potong papa Ten.

"Papa selalu berkata ini tidak berguna itu tidak berguna. Papa tahu apa soal mimpi aku?" Teriak Ten masih berusia 17 tahun.

"Yang kamu perlu lakukan setelah lulus sekolah itu ada kuliah, bisnis, management, whatever it is, terus lanjutin perusahaan papa. Apa susahnya?"

"But thats my dream dad! Lisa bisa menggapai mimpinya, kenapa aku enggak?"

"Jangan bawa tunangan kamu dalam pembahasan kita. Lagipula lihat, ini sudah dua tahun, apakah dia sudah jadi penyanyi seperti katamu itu? Hah? Jawab papa!"

"Papa hanya sibuk memikirkan perusahaan perusahaan dan perusahaan. Kapan papa mikirin aku yang ga suka sama semua ini tapi tetap aku jalanin? Papa seenaknya naruh aku jadi kepala divisi, memaksaku untuk bisa bekerja dengan baik nantinya untuk perusahaan. Apa susahnya sekali ini saja kasih aku kesempatan meraih mimpiku?" Ucap Ten yang mulai terisak.

Lelaki itu jarang sekali menangis. Tapi saat itu semuanya ingin ia keluarkan, rasa kesal, sedih, marah, rindu dan semuanya.

"Papa tahu? Selain itu aku juga kangen Lisa. Aku kangen ngobrol sama dia, aku kangen bercanda sama dia, aku rindu berdansa sama dia, aku rindu semua tentang dia pa. Kalau papa ga ngasih aku berangkat, buat apa dulu papa jodohin aku sama Lisa. Setelah aku secinta ini, papa ga ngasih aku mengejar mimpi ku sekaligus bertemu dengannya? Kurang apalagi pa? Apa? Kasih tahu! Biar aku selesain, setelah itu kasih aku kejar mimpiku!" Ucap Ten parau.

Mama Ten berjalan mendekati putranya dan memeluk tubuhnya. "Udah jangan nangis ya. Katanya kamu harus kuat buat Lisa, masa Lisa ga ada kamu jadi cengeng gini. Nanti mama bicarakan sama papa ya. Kalian ini lagi sama-sama emosi. Jadi mendingan Ten istirahat ya, besok kita omongin lagi. You did great today boy!" Ucap mama Ten lembut, kemudian menggiring putranya pelan menuju kamarnya.

[4] us | tenlisa ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang