[5] : Dibalik Topeng

1.9K 231 66
                                    

Beberapa hari setelah kunjungan mendadak Jisoo ke apartemennya, Seungcheol tidak muncul sekalipun. Jeonghan tidak berani mengambil napas lega terlebih dahulu karena dia tahu bagaimana Seungcheol. Lelaki itu tidak akan melepaskan tujuannya begitu saja, dia akan mencengeram erat targetnya bahkan jika hal-hal menjadi tidak mungkin. Jeonghan telah melalui fase ini berkali-kali namun masih belum terbiasa.

Pada suatu malam, Seungcheol nyatanya benar menepati janji. Hukuman yang Jeonghan terima adalah sepuluh cambukan dan beberapa kali putaran sex menyakitkan. Sebenarnya jumlah ini bisa dibilang agak murah hati, namun jiwa Jeonghan telanjur tenggelam dalam keterpurukan. Seperti inti dirinya telah menyusut sedikit demi sedikit.

Dia tertelungkup di atas ranjang sambil terengah-engah. Air matanya tidak berhenti mengalir membasahi bantal dan selimutnya yang menebar bau menjijikkan. Jeonghan sangat kesakitan, entah dari tubuhnya atau hatinya, semuanya terasa mengerikan. Jika memungkinkan, Jeonghan berharap agar kesadarannya bisa terenggut, tapi dia dipaksa terus terjaga untuk merasakan setiap luka.

Seungcheol melihat keadaan Jeonghan, tidak sedikitpun nampak simpati. Matanya yang dingin masih beku oleh keagungan. "Kau selalu saja tidak belajar. Mengapa aku harus selalu mengingatkanmu lagi dan lagi? Sangat merepotkan."

Jeonghan segera merasa hatinya lebih berat. Dia tidak punya kekuatan untuk menjawab namun air matanya mengalir semakin deras.

Seungcheol berdecak, pergi ke balkon untuk merokok. Melihat langit malam yang kelabu, suasana hatinya semakin jelek. Seungcheol membuang putung rokok yang baru terbakar setengah, lalu memakai pakaiannya. Pada akhirnya pergi tanpa kata.

Jeonghan dibiarkan sendirian dalam keheningan. Ketika air matanya telah berhenti mengalir, matanya memandang kosong pada foto dirinya dan Seungcheol saat sekolah menengah pertama. Pada hari kelulusan, Seungcheol merangkul bahunya erat, menyemangati dirinya, samar terngiang suasana hangat dan suara tawanya saat itu. Mereka dulunya sangat bahagia sampai Jeonghan berpikir bahwa masa-masa itu sebenarnya tidak nyata.

Berpikir bahwa dia telah menjalani hidup yang memuakkan selama 26 tahun. Mulutnya menyunggingkan senyum pahit. Dia sangat lelah, sangat-sangat lelah. Untuk siapa dia memberikan hidupnya?

Kini, dia meragukan jawabannya.

    ⊱⋅ ──────────── ⋅⊰   

Jeonghan memutuskan untuk mengambil 2 hari cuti. Dia kesulitan bangun dari tempat tidur, bahkan harus meremas beberapa air mata saat membersihkan diri, tidak mungkin baginya pergi ke perusahaan hanya untuk jadi bahan perbincangan. Dia menghabiskan pagi sampai siang untuk berbaring, memijat pinggangnya sendiri lalu tidur. Rasanya sangat melelahkan meskipun tidak ada yang harus dikerjakan, Jeonghan hanya bisa diam-diam menenangkan hatinya.

Pada sore hari, Jeonghan benar-benar tidak bisa menahan lapar lagi. Meskipun bagian bawahnya sakit, dia tidak punya pilihan lain selain menggertakan gigi dan menahan semuanya. Jeonghan menyeduh 2 cup ramyeon, menunggu sambil memandang keluar jendela. Langit dibiaskan oleh jingga, sebentar lagi akan gelap sepenuhnya.

Apa yang kira-kira dilakukan orang tuanya sekarang? Apakah langit memberi mereka penghidupan yang layak? Apakah mereka bahagia? Apakah mereka merindukan dirinya?

Ketika dia berada dipelukan mereka tanpa bisa berbuat apapun selain menangis dan merengek, dia ingat betapa kuat pelukan Ayah dan Ibunya. Banyak darah, banyak sekali darah seperti dunianya dicat merah. Sekuat apapun dia berusaha memanggil mereka, mencoba menghangatkan mereka, tapi tubuh mereka masih menjadi dingin. Tebing itu sunyi dan hanya diisi tangisannya sendiri, orang tuanya tidak mampu menjawabnya lagi. Akhirnya meninggalkannya sendirian selamanya.

Jumoke [CheolJeongGyu]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang