Jeonghan terbangun dengan rasa sakit tajam di pinggangnya. Ingatan tentang malam sebelumnya tidak terlalu jelas. Dia mungkin tertidur atau pingsan di tengah-tengah sesi percintaan mereka, Jeonghan tak ingat bagaimana tepatnya. Tapi merasakan tulang-tulangnya yang seperti akan rontok dari tubuhnya, itu sudah jelas bukan perlakuan lembut yang Seungcheol berikan. Bagaimanapun lelaki itu sedang marah, tidak mungkin memperlakukan Jeonghan lebih baik lagi. Lagipula, bukankah Seungcheol memang tak pernah lembut memperlakukannya?
Jeonghan menghabiskan lima belas menit hanya untuk duduk di tepi ranjang. Memijat pinggangnya sendiri dan mencoba untuk tidak mengeluh. Ini adalah jalan yang dia pilih, entah akan sampai dimana ujungnya, dia tidak akan berhenti sekarang.
Setelah merasakan sakit itu berangsur pudar, Jeonghan membuka laci nakas di samping ranjang. Mengeluarkan satu botol bening tanpa label. Jeonghan memandangi pil-pil putih didalamnya dengan hampa. Dia mengambil satu lalu menelannya begitu saja. Merasakan sisa pahit yang getir bersarang di lidahnya sebelum tersapu dengan air.
Ini masih hari libur, Jeonghan menatap pintu kamar mandi dan segera membayangkan dinginnya air mengguyur kulitnya yang panas. Mungkin tak apa bila Jeonghan mengambil sedikit lagi waktu istirahat di ranjangnya, selain karena rasa sakit yang masih tersisa, dia juga tak punya terlalu banyak tenaga untuk menyeret dirinya membersihkan diri.
Setelah puas dengan pemikirannya sendiri, Jeonghan menyeret tubuhnya bersandar pada kepala ranjang. Tiba-tiba merasakan sesuatu mengalir keluar dari bagian bawahnya. Jeonghan menutup pusat tubuhnya dengan sebelah tangan, namun benda itu masih berusaha lolos lewat celah jarinya. Cairan putih kental itu berangsur-angsur meleleh tak peduli bagaimana Jeonghan berusaha menghentikan mereka.
Serentetan rasa malu menampar Jeonghan keras.
Dia telah digunakan berkali-kali, sendirian menangani puncak kesenangan orang lain yang seakan tak ada habisnya. Membiarkan dirinya kelelahan, kesakitan dan dicemari oleh napsu yang tak sehat. Jeonghan sangat jelas terhadap hal-hal ini tapi dia masih bersikukuh untuk tinggal, kalau bukan dungu lalu akan di sebut apa isi kepalanya? Otak udang? Ha.
Disaat Jeonghan terpengkur oleh tubuhnya yang menjadi semakin menjijikkan, ponselnya berdering nyaring. Jeonghan dengan linglung mencari, menemukan benda itu berada di lantai, entah bagaimana bisa ada disana.
Menekan kondisinya yang tak pantas, Jeonghan agak merangkak untuk mengambil ponselnya. Kemudian jatuh terduduk karena kehilangan kekuatan. Jeonghan tidak menyerah, menyambar ponselnya lalu menatap id si penelepon.
Rasa syukur yang tak ada habisnya terlontar dari bibirnya. Untungnya dia tidak meninggalkan panggilan yang satu ini. Jeonghan yang gemetar oleh perasaan senang, segera menjawab, tak peduli untuk bangun dan membenahi dirinya sendiri.
“Pagi yang cerah hari ini, Jeonghan.”
Suara berat itu menyambutnya, hangat dan bersahaja seperti yang selalu melekat dalam ingatannya. Jeonghan menahan haru di hatinya, memanggil dengan pelan, “Ayah, aku rindu.”
“Oh sayang, maafkan Ayah karena tidak bisa sering menghubungimu.”
Jeonghan menggeleng, segera sadar bahwa sang Ayah disana tidak dapat melihatnya. “Anak nakal ini hanya berharap agar Ayah selalu sehat dimanapun Ayah berada.”
Kemudian terdengar suara desah berat, sarat akan lelah. “Mengapa Ayah memilikimu yang sangat perhatian, sedangkan anak yang lain sangat dingin tak berperasaan. Beritahu orang tua ini, kesalahan apa yang telah ku buat di masa lalu?”
Jeonghan gemetar oleh tawa. Tidak bisa membuat komentar apapun. Sekelebat suara-suara bising di seberang telepon, membuat Jeonghan mengernyitkan kening.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jumoke [CheolJeongGyu]
FanfictieJeonghan harap, dia bisa memiliki Seungcheol seperti keinginan yang telah dia pendam sejak pertama kali bertemu. Namun bahkan setelah 21 tahun berlalu, Seungcheol tidak pernah sekalipun melihat ke arahnya. Tidak akan pernah. "Aku sangat mencintaim...