Metta
Satu hari berlalu sejak insiden 'mengaku pacaran' di Paul. Lian jelas masih marah padaku. Sejak semalam, Lian terang-terangan me-reject semua panggilanku. BBM cuma di-read. Line dan Whatsapp juga. Masak iya aku harus ke rumahnya?
Tidak cuma Lian. Cilla bahkan ikut-ikutan ngambek parah. Ngambeknya sudah macam anak SMP yang dikhianati sahabatnya. Tidak ada sarapan bergizi yang biasa dihidangkannya di meja makan setiap pagi. Jangankan sarapan bergizi, susu dan sereal pun tidak ada. Apa-apaan Cilla ini?
"Bisa-bisanya gitu lo main rahasia-rahasiaan sama gue,Ta? Sementara gue? I told you everything. Is this what you so called best friend?"
Sejak kenal dengan Bagas, jadi drama sekali orang itu!
Pukul 08.10
Kalau melihat dari kamarnya yang sudah gelap dan pump shoes favoritnya yang sudah menghilang dari rak sepatu di depan pintu, sepertinya Cilla sudah pergi ke kantornya. Mungkin dia mampir dulu ke sebelah, lalu berangkat bersama si Bagas itu. Tapi entahlah, aku tidak peduli dia mau ke sebelah dulu lalu berangkat, atau langsung berangkat. Urusan Cilla dan keluarganya. Aku lumayan masih bete dengan tingkah dramanya semalam.
Aku berjalan ke arah pantry dapur, mengambil sebungkus energy bar milik Cilla yang selalu tersedia di keranjang rotan di sebelah keranjang buah. Kucolong saja satu. Salah sendiri tidak menyiapkan sarapan! Aku lapar dan jadi tidak mood pergi ke kantor.
Tiba-tiba kudengar bunyi biip biip dari arah pintu. Bunyi tombol password pintu apartemen kami. Kalau bukan Cilla, harusnya Lian yang sedang membuka pintu. Dan voila, Lian muncul dengan ekspresi wajah dingin dan masih penuh kekesalan. Di tangannya nampak sebuah plastik kresek bening berisi sebuah stereofoam warna putih.
"Nih bubur ayam. Buat lo!"
...
Julian
Entah kelaparan atau apa, I never saw Metta eat chicken porridge with such an appetite like this. She eats the porridge like she never eats for three years.
"Lo laper apa doyan?"
"Laper,Yan..."
"Cilla called me and said that she forgot to prepare the breakfast, so I bought this for you."
"Gue pikir dia sengaja nggak nyiapin gue sarapan," kata Metta lalu memasukan sebuah kerupuk ke dalam mulutnya, "Semalem dia ngambek sama gue soalnya."
"Lo pikir semua orang di sekitar lo tuh childish kayak lo gitu? No!"
"Kok ngomong lo pahit sih? Gue tahu lo marah sama gue gara-gara keputusan sepihak gue, tapi nggak berarti lo jadi bisa ngatain gue childish dong?"
Aku mendengus, "Terus apa namanya? Egois?!"
"Well, gue minta maaf karena udah egois. But, we discussed about this plan before. Harusnya lo siap dong kalo tiba-tiba gue ngambil keputusan urgent kayak kemarin. Gue terpaksa,Yan..."
"Iya. Gue tahu lo terpaksa karena lo takut bokap lo ngambil alih semua hasil kerja lo itu. I know, Metta... But did you ever think about me? How am I supposed to tell my parents? To our friends? We're not living alone, Metta... Salah, gue bilang lo egois? Hah?"
Aku mengenal Metta sejak lama. Metta adalah perempuan paling independen yang pernah aku kenal. Terlalu independen sampai-sampai merasa bisa melakukan semuanya sendiri. I clearly remember how she always handles all the stuff in group project when we're in campus. How people called her bossy. How people always use her to do something they don't want to do. How she even be such a scheming queen to get all the things she wanted. Metta can do everything, dan itu membuatnya sangat egois. Aku tahu banyak laki-laki yang suka padanya waktu di kampus dulu. Tidak sedikit yang punya niat setinggi gedung pencakar langit untuk mendekatinya, tapi buru-buru terjun bebas karena jiper dengan sifatnya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Actually
General FictionHanya cerita sekumpulan manusia metropolitan dalam menghadapi apa yang namanya "kata orang". Para penikmat hidup dan para pejuang ibukota. Kalau sudah kaya raya, lantas tidak ada masalah? Salahkan saja cinta yang suka datang tiba-tiba dan tidak pan...