Upside Down

10 2 0
                                    

Cilla

Appa tidak pernah nampak sesemangat ini. Quorra benar, Bagas is really man with intelligence. I can see from how he treat my appa and mama. The way he talk, the gesture, jelas Bagas bisa jadi favorit para orang tua. I'm a lucky bitch.

"Priscilla bilang, Bapak suka kopi."

Appa mengangguk dengan sumringah. "Yes... Sewaktu muda, saya bahkan bepergian ke beberapa negara hanya untuk kopi. Indonesia salah satu yang terbaik."

"Saya sempat bekerja sebagai barista sewaktu kuliah dulu. Bapak tidak keberatan kalau suatu saat saya membuatkan kopi untuk anda?"

"Silahkan... silahkan... joneun johahaeyo."

Bagas menoleh ke arahku, mengharap terjemahan dari kata-kata Appa.

"Appa bilang, dia senang." Kataku.

Mama tiba-tiba datang dan duduk bergabung dengan kami.

"Nak Bagas serius sama Cilla?"

Pertanyaan macam apa itu? Sungguh merusak keadaan. Aku kembali merasa insecure dengan segala keterburu-buruan ini. Aku takut kalau semakin cepat proses mulainya, semakin cepat juga berakhirnya. Aku belum benar-benar pulih dari traumaku. Cukup sekali saja gagal, jangan sampai dua kali.

"Mama apaan sih?"

"Priscilla bukan lagi remaja yang bisa coba-coba."

Asem! Mama mengabaikanku dan semakin serius berbicara pada Bagas, "Jujur, saya khawatir kalau Cilla salah memilih pasangan lagi. Semua orang tua ingin yang terbaik buat anaknya. Nak Bagas pasti paham."

Aku menoleh ke arah Bagas. Bagaimana bisa laki-laki ini tetap tenang dan sesantai ini dalam menghadapi pertanyaan Mama? Alex saja dulu sampai diare waktu menghadapi Mama.

"Saya cari istri, Bu... Bukan cari pacar. Pacar bisa temporary, tetapi istri itu permanen."

Wait! Apa semua pengacara sekeren ini kalau bicara?

"Main-main bukan lagi hal yang ada dalam kamus saya, Bu... Pak... Saya fokus dengan masa depan saya."

Kemudian Bagas menjelaskan semuanya. Mulai dari amanat mendiang ayahnya, segala harapan dari ibunya, dan bagaimana Bagas memandang sebuah lembaga pernikahan. Semua ia jelaskan begitu runtut, begitu jelas, dan begitu rapi. Aku pun mulai mengenal hal baru lain dalam diri Bagas. Ia lurus dan terarah. Bagas tahu bagaimana menjadi nahkoda dalam kehidupannya. Aku mulai mengagumi cara orang tuanya mendidik Bagas sampai jadi seperti ini.

"Saya menyukai Priscilla. Saya melihat kualitas seorang istri yang saya butuhkan dalam diri Priscilla. Maka itu, dengan niat baik saya datang ke sini. Menyukai Priscilla, artinya saya harus menyukai semua tentang dia. Termasuk orang tuanya."

"Bagas sudah tahu tentang Alex?" giliran Appa yang bertanya. "It was our biggest failure. Tolong mengerti jika kami akan sangat cerewet dengan kamu. I don't want to see my daughter hurt again. Uri Priscilla, tolong jaga dia sebaik mungkin."

Bagas mengangguk. Seperti mimpi saja bisa mendapatkan laki-laki seperti ini. Apa mungkin aku penyelamat dunia di kehidupanku yang lalu, sampai aku boleh bertemu dengan Bagas. Semakin lama, laki-laki ini makin terlihat begitu seksi.

...

"Apa semua pengacara seperti kamu, Mas? Bisa kalem dan santai begitu menghadapi hal yang serius macam tadi. Kalau aku, Mas... Bawaannya sudah pingin kabur aja kalau ditanya-tanya begitu."

Love ActuallyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang