Life of Us

74 5 8
                                    


 Manusia hidup melalu beberapa fase. Lahir menjadi bayi yang tidak berdaya, lalu perlahan tumbuh jadi balita yang sedang lucu-lucunya, kemudian tumbuh lagi jadi anak-anak – saat di mana katanya karakter manusia dibentuk, baik lewat keluarga, sekolah, dan lingkungan. Beberapa tahun kemudian, anak-anak yang mulai terbentuk karakternya itu akan menjadi remaja yang mencari jati diri.

Aku ingat saat aku pertama kali mencoba rokok. Usiaku masih 16 tahun saat itu dan aku merasa merokok itu keren, begitu bergaya. Sampai kemudian ada tetanggaku yang meninggal karena kanker tenggorokan. He has a hole in his throat, Noona...(Noona dalam bahasa Korea artinya kakak perempuan) It scares me to death, begitu kata Nix waktu dia dan mama pulang dari melayat. Ngeri, aku langsung membuang kotak rokok yang isinya baru kuhisap dua. Nggak lagi aku merokok setelah hari itu. Selain aku nggak mau tenggorokanku berlubang, merokok bikin bau mulut jadi nggak banget.

Itu baru salah satu contoh, masih banyak lagi yang kualami. Masa menjadi alay yang hobi bikin video curhat di Myspaceand thanks God, gue nggak berakhir bikin video curhat ala-ala artis sinetron yang dulu main di sinetron peri-perian itu. Sama seperti remaja alay di kala itu, aku juga hobi membalas bulletin di Friendster, marah-marah di wall Facebook, sampai hobi laporan nggak penting di Twitterlike, you know, yang mau mandi aja laporan 'aku mau mandi nih' lalu ngetweet lagi, 'I lost my towel. Who stole it?'. Ada juga ketika suatu saat aku yang takut gendut, ikut-ikutan temanku yang beli obat diet lewat iklan koran. Bukan langsing yang didapat, aku malah kena radang usus dan harus opname di Rumah Sakit hampir tiga minggu.

Masih banyak hal terjadi, bahkan setelah aku melewati masa remajaku. Semua yang membuat hidupku jungkir balik. Lulus tepat waktu dengan GPA tinggi tetapi tidak langsung mendapat pekerjaan karena sifat keras kepalaku. Aku bersikeras tidak mau menggunakan koneksi Appa (Appa dalam bahasa Korea artinya ayah), tetapi banyak maunya. "Gwenchana,appa... jinjja!" kataku pada Appa, kelewat pede meyakinkan beliau kalau semuanya benar-benar akan baik-baik saja.

Ujung-ujungnya? Aku bolak balik pindah kerja, bolak balik merasa tertekan karena gaji yang di bawah UMR sementara Appa dan Mama berkeras tak akan membiayai kebutuhan hidupku. Butuh galau dramatis berhari-hari, sampai akhirnya aku menyerah menerima bantuan Mama untuk mendapatkan pekerjaan yang sampai saat ini masih kugeluti dengan baik.

Lagi-lagi, itu belum seberapa.

Sampai setahun yang lalu, saat Alex, ahhh! Jangan sebut nama dia lagi. Mari kita sebut saja dia dengan Katak.

Setahun lalu, aku hampir saja menikah dengan si katak jahanam ini. I was really happy at that time. Sampai pada hari di saat harusnya aku dan dia mengucapkan janji pernikahan di depan altar, janji untuk sehidup semati, selalu bersama di kala suka dan duka. Entah ada petir dari mana, seperti telenovela tahun 90an, Katak lari begitu saja dan meraih seorang perempuan yang menangis tersedu-sedu di kursi tamu.

What the fuck??!

Dan aku?

Hanya bisa terdiam bodoh di tempat sambil menyaksikan calon suamiku berlari keluar gereja bersama seorang perempuan yang perutnya sudah membesar. Iya, perempuan itu hamil, bukan kembung ataupun busung lapar. Siapa bapak dari anak itu? Si Katak! Siapa lagi? Fakta yang kuketahui dari pesan Whatsapp yang kuterima keesokan harinya. Sungguh pecundang yang pandai memanfaatkan tekhnologi, minta maaf dan memberi penjelasan lewat Whatsapp. Di saat orang tuanya sibuk memohonkan maaf pada keluargaku, sampai pakai sujud-sujud segala, sementara Appa sudah kehabisan kata-kata dan sudah tidak sudi melihat wajah orang tua Katak, mantan calon mertuaku itu.

Apakah aku menangis? Tidak. Jangankan menangis atau yang lebih drama lagi, pingsan dan berniat bunuh diri, misalnya. Aku terlalu kaget untuk sadar bahwa itu kenyataan dan bukan mimpi. Yang jelas, sejak itu aku selalu menghindar dari apapun yang berhubungan dengan pernikahan. Fase lain yang kualami. Di saat yang lain mungkin masih mengkhawatirkan pekerjaan yang mapan, finansial yang selalu kurang, kesejahteraan keluarga kecil yang baru dibina, dan aku... khawatir menikah.

Love ActuallyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang