🍁 4 🍁

458 16 0
                                    

Zura, mami besok pagi pulang! Jemput mami di bandara Halim pukul 7, jangan telat! Mami ada kejutan buat kamu

17:30

Pesan Belzara sampai tak terbaca saking sibuknya. Bahkan ponsel Meisya pun sudah berenang renang di danau sekolah.

9:17
Telepon rumah berbunyi
Malas, itulah yang ada dalam hati Meisya.
Ia memilih untuk tidur,

Ting-tung Ting-tung, mungkin 20 kali juga sudah ada, bell rumahnya berbunyi.

Siapakah sihh,,???? Ganggu aja!, Desah Meisya berulang kali. Meisya turun membukakan pintu. Elah, ternyata tetangga.

"Ya, ada apa Tante?",

Meisya berlari mengambil kunci mobil di atas sofa, pikirannya sudah tak karuan. Ia mengendarai mobil banananya tanpa akal. Sampai di persimpangan kompleks, sebuah sirine mulai terdengar, mobil putih bertuliskan Ambulance tampak berjalan berlawanan arah dengan mobil Meisya. Meisya menghentikan lajunya. Badannya lemas ketika Ambulance itu bersimpangan dengannya, bertuliskan mobil Jenazah. Matanya hanya sanggup menatap sepion, memperhatikan dimana mobil putih itu menghentikan lajunya. Dengan terus berdo'a semoga bukan rumahnya. Tepat di depan rumah putih 3 lantai, diujung jalan mobil putih itu berhenti. Mata Meisya memanas, cairan bening memenuhi kelopak matanya.

Belzara tergeletak lemas tanpa nyawa didalam sebuah peti, Meisya hanya bisa melihatnya tanpa bisa memeluknya, untuk yang terakhir kali. Hari paling hitam sepanjang sejarah bagi Meisya. Gadis itu meraung, memohon agar Tuhan berkenan mengembalikan nyawa ibunya. Manusia berpakaian serba putih mulai berdatangan, kerabat-kerabat dari Berlin pun 5 jam lagi pasti juga akan datang. Karangan bunga bertuliskan belasungkawa pun mulai menghiasi pelataran rumah Meisya. Gadis itu terisak tanpa henti, meratapi ketidakadilan ini.

Seorang pemuda tampan turun dari mobil memasuki kediaman Meisya. Pemuda itu berhenti tepat didepan jenazah Belzara. Menatap wajah Belzara yang pucat tak bernyawa. Cucuran air matanya berjatuhan membasahi pipi Belzara, kenangan-kenangan 12 tahun silam seakan terputar kembali, pemuda itu rindu pada masa-masa dulu. Masa dimana dia hidup bahagia dengan naungan ayah dan ibunya.

Diantara peti jenazah maminya mereka berada. Sepasang kakak dan adik yang telah berpisah 12 tahun lamanya menangis bersama. Mereka tak saling mengenal karena rentang waktu yang lama memisahkan.

Meisya tak sanggup menahan, hatinya perih menghadapi kenyataan ini.
"Why you leave me mommy? Aku tak memiliki siapa-siapa lagi disini, I'm alone, please, back with me!!", Katanya pelan dalam isakan tangisnya menatap wajah Belzara.

Pemuda itu mendongakkan wajah, menatap gadis 15 tahun yang menyebut Belzara sebagai maminya. Gadis itu??, Seru pemuda dalam hatinya.

Keluarga dari Berlin telah datang, pemakaman akan segera berlangsung. Tangis Meisya semakin menjadi, gadis itu masih berharap maminya akan hidup kembali.
"Please Meisya, get up!, Let your mother go!", Ucap Aunty sambil menepuk pundak gadis itu berkali-kali ketika peti hendak ditutup dan dibawa kepemakaman.

"No wait!! My mom gonna wake up soon!", Teriak Meisya menghentikan orang-orang yang akan menutup peti. Semua orang terdiam, berusaha mengerti apa yang dirasakan oleh gadis malang itu.

Pria paruh baya mendekati Meisya dan mengajaknya untuk berdiri.
"Stand up Meisya, relakan kepergian mami kamu. Kamu tidak sendirian Sya, Papi dan Kak Zein akan selalu ada disini untukmu!", Tangis Meisya seketika terhenti, ia mendongak, sorot matanya tajam seperti hendak menghunus lelaki dihadapannya.

"Kemana saja anda selama ini? Kenapa baru sekarang anda kembali?? Lihat, mami sudah pergi!, Saya tidak butuh anda lagi disini!", Teriaknya keras yang memantul di setiap dinding rumah megah milik Belzara. Semua tampak bertanya-tanya, penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.

Asma Meisya kumat, dadanya sesak, ia kesulitan bernapas disertai kejang yang membuatnya harus dilarikan ke rumah sakit segera.

Diatas bangsal Meisya berbaring, setelah melewati berbagai pemeriksaan medis di RS Medistra, Jakarta.  Gadis 15 tahun itu terbaring lemah disana, matanya sembab karena menangis terlalu lama.

Prosesi pemakaman Belzara telah diselesaikan tanpa menunggu kesadaran Meisya. Seluruh kerabat dan sanak saudara pun mulai meninggalkan TPU Menteng Pulo, yang terletak 8 km dari kediaman Meisya. Keluarga dari Berlin ada sebagian yang pulang ada pula yang tinggal, mereka bersama Kaiza saling cekcok memperebutkan hak atas Meisya.

Arsya Zein Kaiza, pemuda tampan berdarah campuran itu tengah duduk disamping bangsal adiknya. Ia terus menatap paras adiknya yang terbaring lemah disana. Dia tidak menyangka gadis berambut ikal ini adalah adiknya.

23:47
Ayahnya tak juga datang menjenguk, sebenernya dimana mereka? Zein keluar sebentar untuk mencari pengganjal perutnya yang lapar. Didalam ruangan putih Meisya berada, sendirian. Gadis itu membuka mata, lalu mengedarkannya mengamati sekitar. Gadis itu melepas infus dan nebulizer yang terpasang di hidungnya.  Ingatan akan kematian maminya mulai mencuat kembali. Dengan berpegang dinding, Meisya berjalan  menyusuri rumah sakit untuk mencari jalan keluar. Ia ingin segera pulang, barangkali maminya sudah hidup kembali, begitulah harapannya.

Arsya Zein Kaiza kembali, matanya terbelalak ketika melihat ranjang sang adik kosong tak berpenghuni. Ia mencari ke kamar mandi, namun  nihil. Kemana perginya gadis itu? Zein segera mencari, menyusuri rumah sakit yang cukup besar ini.

Di depan ruang Radiologi gadis itu berada. Beristirahat sejenak dibangku yang ada disana. Gadis itu menangis, merutuki harapan bodohnya yang tak mungkin terwujud. Mana bisa seseorang yang sudah meninggal itu akan hidup kembali. Ah pikiran konyol!, Hardiknya pada diri sendiri.

Zein melihatnya, gadis itu menutup mukanya dan menangis sesenggukan disana. Zein menghampiri, mengusap rambut gadis itu tanpa berkata apa-apa. Gadis itu membuka wajahnya, menatap sesosok lelaki yang kini berada tepat disampingnya.
"Tenang Meisya, everything will be okkay," Zein membuka suara. Kalimat itu persis seperti kalimat yang sering diucapkan Belzara padanya. Tapi siapa lelaki itu? Meisya seperti pernah bertemu sebelumnya. Tapi dimana?, Daripada menerka-nerka Meisya memilih untuk bertanya.

"Siapa Anda?", kalimat tanya yang singkat padat dan jelas itu dilontarkan Meisya untuknya.

Zein tersenyum, lucu sekali jika ia harus memperkenalkan dirinya pada adiknya sendiri.
"Ini kak Asa, Isya.", jawab Arsya singkat. Meisya menyusuri ingatan sepersekian detik. Kak Asa adalah panggilan Meisya pada kakaknya ketika kecil, ketika ia masih belum bisa mengucap huruf r dan y dengan jelas.

Meisya tidak tahu, harus bersikap senang, marah, atau harus bagaimana. Disatu sisi ia bahagia, Papi dan kakaknya kembali. Namun disisi lain ia juga murka, mengingat kenyataan yang membuat orang tua berpisah dahulu kala. Maminya telah pergi, dan kehadiran mereka mungkin tidak bisa menggantikan kepergian mami.

Keluarga dari Berlin dan Papinya datang menghampiri. Mereka menyuruh memilih, ikut Grandma dan Auntynya ke Berlin atau ikut Papinya ke Mesir.
"Zura akan tinggal di sini, sendirian!", Putusan Meisya yang tentu membuat khawatir kedua pihak keluarga. Tidak mudah bagi Meisya melepaskan kenangan yang melekat di istana rumahnya, terlebih lagi itu menyangkut memori bersama Belzara. Terserah jika ia harus tinggal sendirian disini, tak mengapa. Terserah juga, jika Ayah dan kakaknya akan pergi meninggalkannya lagi untuk kedua kalinya. Ia tak begitu peduli.

Meisya jatuh sakit setelah kepergian Belzara. Demam tinggi ditambah riwayat asmanya yang kumat. Ia banyak mengurung diri dikamar. Tak mau menemui siapapun yang datang, termasuk Ayahnya sendiri.

Lesha dan Sean bahkan sering datang menjenguk, tapi tak pernah dapat sambutan baik dari Meisya. Gadis itu masih belum bisa terima atas kepergian Belzara yang tiba-tiba.

Keluarga dari Berlin telah pulang ke negeri asalnya, sedangkan keluarga Ayahnya menetap disini bersama Meisya. Sebenarnya Meisya tak pernah setuju tentang ini. Mengingat mereka yang telah meninggalkan Mami dan dirinya bertahun-tahun lamanya.

Skenario Allah Yang TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang