🍁 5 🍁

423 15 1
                                    

"Meisya!?, Mau sampai kapan kamu seperti ini terus? Nggak sekolah, nggak apa. Papi tau kamu sedih, tapi jangan larut-larut seperti ini!, Mulai besok kamu harus sudah sekolah!", Gadis berkaos maroon itu mengabaikan. Entah apa yang ada dipikiran gadis itu, tak ada yang mengerti.

Selesai makan malam, Meisya kembali ke kamarnya. Tinggallah Arsya dan Papinya disana.
"Zein, gimana sekolah barumu tadi?", Kaiza menanyakan perihal sekolah baru Zein + sekolah baru Meisya nanti. Loh, Meisya pindah? Ya, seperti itulah yang diinginkan Papinya.

Zein disuruh mengantarkan seragam baru ke kamar Meisya. Lelaki 17 tahun itu mengetuk pintu, tak ada jawaban. Pintunya terkunci,
"Diemm!! Gue mau tidur!!", Suara itu datang dari dalam kamar gadis itu.

"Kakak cuma mau nganterin seragam baru kamu Sya, besok kamu harus sekolah!", Meisya bangun, membukakan pintu.

"Apa tadi Lo bilang? Seragam baru?", Mata Meisya menatap tajam seragam yang dibawa oleh kakaknya. Merampas, dan menyobeknya dengan keras. Dengan gesa Meisya menemui Papinya dilantai dasar.

"Pi, Apa hak Papi memindahkan Zura ke sekolah Islam seperti ini?!, Apa Papi ingin keluarga kita bercerai berai untuk yang kedua kali,", Yang ditakutkan Meisya benar-benar terjadi. Itulah alasan Meisya lebih memilih untuk tinggal sendiri, dari pada harus tinggal dengan Papinya yang fanatik terhadap Islam hingga menghancurkan keluarganya sendiri dimasa silam. Meisya tidak habis pikir, bagaimana ada orang yang semena-mena seperti ini. Yang tak menghargai keyakinan yang dianut oleh orang lain.

"Papi hanya ingin kamu kembali ke jalan yang benar Sya!",

"Lalu menurut Papi, keyakinan Zura dan mami melenceng? Keyakinan kami salah di mata papi? Pantesan saja Mami dan Papi bercerai! Papi itu ga punya toleransi sama sekali! Papi itu fanatik! Egois!"

Tppaaarrrkkkkk, tamparan keras itu mendarat telap di pipi Meisya.
"Dan satu lagi, Papi itu kasar!, Keras! dan Nggak punya perasaan! 15 tahun Meisya hidup sama Mami, gak pernah sekalipun mami nyakitin Meisya.", Meisya menangis, mungkin tamparan itu tak seberapa, namun sakit hatinya jauh luar biasa.

Lelaki paruh baya itu terdiam, menyesali perbuatannya. Arsya yang menyaksikan, ikut membuntuti adiknya ke kamar. Gadis itu menangis hebat tidak percaya dengan apa yang telah dilakukan Papi padanya. Selama ini tak seorang pun berani memarahinya, apalagi main tangan padanya.

"Ngapain Lo kesini? Kalau kehadiran Lo cuma mau nyakitin gue, mending Lo pergi!", Ungkap Meisya setelah menyadari kedatangan kakaknya.

Laki-laki berkulit sawo matang itu mengusap rambut ikal sang adik,
"Mana ada sih, seorang kakak yang ingin menyakiti adiknya.", Meisya tak menggubris. Ia terus saja menangis dibawah selimut.

"Kakak denger, kamu disekolah pinter ya? Akselerasi 2 tahun, aktif organisasi, dan katanya kamu juga anak hitz ya? Pasti banyak deh temennya? Secara kamu juga sekarang udah cantik banget. Beda sama dulu, dulu waktu kecil kamu masih ingusan.", Lelaki itu berbicara sendiri, berharap Meisya segera melupakan amarahnya.

"Meisya masih inget ga?, Dulu waktu kecil Meisya pernah jatuh di halaman rumah, pas lagi main sama kakak, waktu itu papi sama mami juga marahin kakak abis-abisan loh? Kakak juga nangis, sama kayak kamu. Tapi beruntung, Meisya kecil datang menghibur kakak, jadi kakak ga sedih lagi deh.", Lelaki itu beranjak membuka pintu teras kamar Meisya, menatap bintang sambil terus berkata-kata.

"Masih inget quotes yang sering diucapkan mami ga Sya, ....", Lelaki itu menjeda perkataanya sambil mengedarkan pandangan mengamati tiap sudut kompleks rumah lamanya.

"Everything will be okkay.", Meisya menjawab pelan, namun terdengar samar. Arsya tersenyum,

"Bintangnya banyak banget loh Sya, yakin nih ga mau liat? Kamu masih suka bintang kan?"

Lelaki yang mengaku sebagai kakak Meisya memutuskan untuk konser dibawah ribuan bintang, tepatnya didepan teras kamar Meisya.

Twinkle twinkle little star, 
How I wonder what you are, 
Up above the world so high,
Like a diamond in the sky,
Star light, 
Star bright,
The first star I see tonight, 
I wish I may, I wish I might, 
Have the wish I wish tonight, 

"Suara Lo jelek banget!", Gadis itu mengikuti jejak kakaknya ke teras depan. Menatap bintang-bintang kecil yang berhamburan di langit malam. Lagu masa kecil mereka lantunkan bersama-sama, dengan tangisan haru mengenang mamanya.

Twinkle twinkle little star,
How I wonder what you are, 
I have so many wishes to make, 
But most of all is what I state, 
So just wonder, 
That I've been dreaming of,
I wish that I can have owe her enough, 
I wish I may, I wish I might,
Have the dream I dream tonight

A

rsya mengusap air mata gadis yang duduk bersamanya dibawah jendela. Mereka berpelukan layaknya Teletubbies, menghempaskan segala rasa rindu yang telah lama terpendam. Gadis itu merasa nyaman kembali bersama kakaknya. Ia pun mulai berbicara banyak mengenai kehidupannya bersama Belzara.

"What??? 3 juta seminggu?", Arsya tak percaya dengan kehidupan adiknya yang ternyata super hedon.

"Iya, itu paling minim, hehe. Ah Lo aja yang ga ngerti kebutuhan cewek! So muchlah pokoknya.",

"Panggil Ka-Kak!, Dari tadi dibilangin masih La Lo La Lo terus!", Arsya ngedumel.

"Iya, ka-kaak!!!, Biasa aja dong, ga usah ngedumel gitu!! Lagian kan nanti Lo juga bakal seangkatan sama gue, ckck."

"Lo lagiiii!!!! Hiiiiih!, Lagian kamu kenapa tuh sekolah pake loncat-loncat segala?", Arsya sebel, permintaan nya tak segera diindahkan.

"Kan gue smaarrrtt! Hehe.", Meisya menyombongkan diri.

"Hmmm, sampai membodoh-bodohkan kakak lebih dari 3 kali?", Arsya mengingatkan pada acara Student Methamorphosa.

"Heiyaaa sorry, lagian siii.......",

"Lagian-lagian! Lagian kamu yang emosional! Btw, itu acaranya keren banget loh,"

"Iyalah keren, siapa dulu ketuanya?? GUA!!!", Gadis itu kembali menyombongkan diri.

"Ngomong-ngomong, masalah study, kamu maunya gimana?, Masih pengen nerusin di Immanuel?", Tanya Arsya serius. Meski Arsya tau sedikit mustahil adiknya akan diperbolehkan untuk sekolah disana. Gadis itu terlihat murung.

"Pengennya, tapi gimana sama Papi? Papi pasti menolak keras karena Immanuel sekolah Nasrani." Gadis itu menjeda kalimatnya, "Kalau kakak agamanya apa? Pasti sama ya kayak papi?", Gadis itu terlihat tak bersemangat ketika Arsya tersenyum membenarkan pernyataannya.

"Terserah Lo aja deh kak, yang pasti jangan disekolah yang basicnya Islam.", Meisya memutuskan.

"Besok bangun pagi, kita daftar sekolah baru sama-sama!", Ucap Arsya mengakhiri perbincangan malam itu.

00:05
Mereka kembali ke kamar masing-masing.

.
.
.

06:30
Meisya belom juga memperlihatkan batang hidungnya, mungkin masih molor. Arsya naik ke kamar Meisya dilantai 2,

"Astaga, ini anak! Udah pagi masih ileran!", Omelnya persis seperti emak-emak.

"Woi-woi Sya!!!, Bangun!!! Jadi sekolah ga??" Cowok bermata bulat itu menarik selimut yang menggulung badan adiknya.

"Apa siiihh!!, Berisik amat! Ganggu deh!!", Desah Meisya diantara halu dan mimpinya. Arsya membuka tabir agar sinar mentari menyilaukan mata gadis itu.

"Tutup gak tabir nya! Iya-iya gue bakal bangun!!!!", Meisya mengalah.

"Segera mandi, pakai seragam yang rapi, pukul 7 pokoknya udah dibawah!!", Tuntut Arsya.

"Yaelah, kayak di Akmil aje bang!"

Skenario Allah Yang TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang