Aryan Fernando

123 20 5
                                    

Laki-laki itu menginjakkan kakinya melewati lapangan sekolah. Kedua ujung bibirnya tertarik ke atas tatkala disambut ramah oleh teman-teman seangkatan karena merindukan sosok humorisnya. Ia melangkah santai sambil sesekali membalas sapaan dari orang-orang yang menegur dirinya.

Ah! Rasanya begitu lama sekali ia pergi.

Jangan pernah mengira bahwa cowok beralis tebal dan memiliki wajah yang menjadi idaman para gadis di sekolahnya itu telah melakukan suatu pelanggaran hingga ia mendapat skorsing dari pihak sekolah. Faktanya, ia merupakan kebanggaan sekolah untuk mewakili suatu cabang olahraga di tingkat kota hingga mengharuskannya izin selama beberapa hari untuk mempersiapkan diri dengan berlatih hingga hari perlombaan tiba. Lagipula, untuk apa perlombaan itu bahas? Toh, nyatanya dia sudah meraih medali emas dan tidak ada yang perlu dipermasalahkan akan hal itu.

"Yan, diam-diam bae! udah ngeteh lo?" Sebuah tepukan halus mendarat di bahu laki-laki itu. Ia sedikit tersentak lalu menatap sang pelaku dengan bosan.

Ia berdecak kesal. "Harusnya gue pindah sekolah biar gak ketemu ama lo!"

Laki-laki di sebelahnya terkekeh. "Harusnya lo kangen ama gue, Yan. Masa seorang Aryan Fernando abis lomba malah anjlok otaknya," guraunya.

Aryan tersenyum yang bisa dikatakan cukup sinis. "Masa seorang Bima Anggara disekolahin malah makin bego otaknya."

Skakmat!

Laki-laki yang bernama Bima itu meninju bahu Aryan hingga membuat cowok itu sedikit terhuyung ke depan. Aryan sedikit terkejut lantas kemudian terbahak ketika melihat ekspresi Bima yang tampak kesal. Jujur, ia memang sangat merindukan sahabat konyol seperjuangannya ini.

"Kayak banci di alun-alun muka lo," ucap Aryan sambil menahan tawanya. Tiba-tiba saja Aryan memeluk Bima dengan sangat erat. "Dedek Iyan kangen tau sama babang Bima."

Seketika Bima merasakan sekujur tubuhnya merinding saat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Aryan. Ia menatap sekeliling. Orang-orang memperhatikan dengan pandangan yang berbeda. Mungkin antara lucu-jijik-geli bercampur menjadi satu. Kumat lagi nih bocah! Makinya dalam hati.

"Mau gue bacok, Yan?" bisiknya tepat di daun telinga Aryan. Ia melontarkan pertanyaan itu seraya tersenyum lebar, tidak ingin orang lain tahu bahwa ia sedang mengancam Aryan.

Aryan melepaskan pelukannya dan menatap Bima dengan mengiba. Ditatap seperti itu, Bima memalingkan wajahnya ke arah parkiran sambil berucap sinis. "Cih, jijik gue liat muka lo anjir!"

Tak ingin berlama-lama, kaki mereka melangkah menuju kelas XII IPA 2 yang sudah menjadi kediaman seorang Aryan dan teman-teman untuk satu tahun ke depan. Sesampainya di depan kelas, tubuh Aryan langsung disambut pelukan mematikan dari sahabat-sahabat gilanya selain Bima. Aryan merasa sesak, namun sekaligus bahagia.

"Babang Iyan kita kambek! Gue bahagia tujuh turunan!" pekik Rafi tepat di gendang telinga Aryan hingga membuat cowok itu meringis ingin menutup telinga, namun tangannya tertahan akibat pelukan dari dua cowok itu. Sedangkan Bima, ia hanya berdiam diri menjauhi teman-temannya sembari tertawa jahat menikmati penderitaan yang dialami Aryan. Sedangkan seseorang lagi hanya diam melihat pemandangan yang menurutnya sudah wajar.

"Lepasin gue! Tolong! Gue dilecehin ini! Emak!!!! Help me!!" teriak Aryan histeris. Disebabkan teriakan Aryan yang tidak senonoh, otomatis kedua sahabatnya itu menguraikan pelukan mereka.

"Ih, babang Iyan ja'at banget sih. Tega banget bilang gitu ama tunangannya," sahut Dafa berlagak seperti seorang perempuan yang di hamilin lima bulan.

"Tauk tuh! Songong amat tuh bocah cuman dipeluk aja bilangnya ono. Gak bisa bilang gue apa yang diucapin Aryan. Mulut gue terlalu suci buat nyebutinnya." Rafi ikut bersuara.

ARYANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang