Aryan meletakkan semangkok bakso di atas meja. Suasana kantin hari ini sangat ramai. Bahkan biasanya di jam istirahat pertama ini, tidak banyak yang datang ke kantin. Orang-orang akan memilih istirahat kedua karena di jam itulah tubuh menjadi lelah butuh asupan karbohidrat.
Bima sibuk memainkan ponsel sambil sesekali menyeruput teh dingin yang rasanya mulai agak hambar. Ia bahkan tidak menyadari Aryan baru saja duduk di depannya dengan semangkuk bakso yang masih panas. Rafi tidak henti-hentinya memandangi beberapa siswi yang masuk ke kantin. Sesekali ia melayangkan kedipan menggoda kepada gadis-gadis itu. Sementara Dafa menekuni bacaannya. Ia tidak peduli dengan suasana sekitar. Dan tentu saja bukan buku pelajaran yang ia baca. Ia sedang serius membaca komik yang baru saja ia beli beberapa hari yang lalu.
Bagas menyodorkan botol kecap kepada Aryan. Ia sudah hapal kebiasaan Aryan. Cowok itu tidak bisa makan apapun tanpa kecap. Lagipula, ia tidak seperti Bagas yang menyukai makanan pedas.
"Thank's," ucap Aryan sembari memutar botol kecap 180° sehingga lubang dari botol itu menghadap ke bawah.
Bima langsung menyadari keberadaan Aryan. Ia melirik sekilas ke arah mangkuk bakso milik cowok itu.
"Itu kuah bakso apa kuah semur njir sampe item gitu," celetuk Bima dengan mata terarah ke layar ponsel.
Sembari meletakkan botol kecap ke tempat semula, Aryan memandang Bima dengan kebingungan. Tidak mengerti yang dimaksud oleh Bima. Mungkin karena perutnya terlalu kosong, otaknya sulit menafsirkan sesuatu bahkan hal-hal sederhana seperti itu.
"Maksud lo?"
Bima menghela napas kasar mendengar pertanyaan itu keluar dari bibir Aryan. Padahal ia tahu saat Aryan sedang lapar sangat dilarang untuk mengajaknya berbicara. Laki-laki itu tidak akan mengerti apapun jika Bima atau yang lainnya sedang berbicara.
Melihat Bima yang enggan menjawab, Aryan mengedikkan bahu tidak peduli. Ia memutuskan untuk memprioritaskan perutnya yang minta diisi. Suasana hening itu hanya berlangsung 10 menit. Setelahnya, suara berisik Aryan mulai terdengar.
"Rapat!" ucap Bagas menginterupsi kegiatan empat temannya.
"Gila lo! Baru juga gue kelar makan," protes Aryan tidak terima.
Bagas menatap Aryan. Seolah memberi isyarat untuk menaruh perhatian yang serius pada rapat hari ini. Aryan mengalah. Ia tidak mau jika Bagas enggan menemaninya lagi membeli es serut karena hal ini. Aryan memiringkan kepalanya sedikit ke kiri, ke arah Bagas yang akan membuka rapat singkat di jam istirahat yang mulai menipis. Semuanya memusatkan perhatian kepada Bagas.
"Ada 2 orang yang mau gabung ke Infiar. Sebelum lo lomba, mereka berdua kesini bilang ke kita berempat. Tapi, gue bilang ke mereka nunggu lo balik dulu biar diseleksi. Awalnya mereka nolak. Alasannya karena mereka bakal nunggu lama dan desak gue buat seleksi mereka. Tapi, gue dah yakinin ke mereka buat nungguin lo," tutur Bagas dengan jelas tanpa ketinggalan satu informasi apapun yang ia ketahui.
Kali ini mereka mengalihkan pandangan ke arah Aryan. Cowok itu terdiam sebentar lalu melahap sesendok es serut yang telah mencair. Walaupun begitu, rasa es serut itu tetap enak seperti biasanya.
"Kalo dengar dari cerita lo, mereka berdua bukan anak sekolah sini?" Aryan bertanya untuk memastikan. Ia takut salah menangkap informasi tersebut. "Lo ketuanya, Gas. Gue setuju aja."
Bima mengangguk lantas menyahut dengan suara agak pelan. "Lo curiga gak, Yan?"
"Curiga?" Aryan mengulang kata yang diucapkan oleh Bima sembari meminum es serut yang telah mencair dalam sekali tegukan. Kemudian, dengan lancang ia mengambil botol mineral milik Bagas untuk menghilangkan rasa manis pada pangkal lidahnya. Sang empunya hanya diam memperhatikan tanpa protes.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARYAN
Teen Fiction"Ini semua salah lo! Kecelakaan itu salah lo, Yan!" "Riko gak bisa main bulutangkis lagi gara-gara lo, sialan!" "Anak yang ngebunuh bokapnya gak pantas dihargai." "Lo kemana aja anjing! Dafa babak belur demi jagain sepeda lo!" "Yan, Zia berantem s...