11) Menyakitkan

329 15 0
                                    

Ardhan:
Kerumah gue ntar malem kalau emang masih mau liat gue di dunia ini.

Ayna membaca pesan dari Ardhan sambil mengerutkan keningnya. Bukan hanya mengiriminya pesan, Ardhan juga mengirimkan lokasi rumahnya.

"Maksudnya apa?"

Ayna baru saja selesai mengajar. Tadi Yusuf memberitahunya bahwa dia akan menjemput Ayna. Sebentar lagi Yusuf sampai.

Ayna menghela nafas panjang.

Ayna:
Oke.

Yusuf sampai di depan rumah Rasyid. Ayna tersenyum dan menghampirinya. Lalu mencium punggung tangannya.

"Ka, anterin Ayna ke rumah Ardhan ya?"

Yusuf mengernyit. "Ardhan? Ardhan yang temen sekolah kamu itu kan? Yang kemaren dateng ke rumah waktu kamu lamaran? Keponakannya Azwan?"

Ayna mengangguk. "Iya, plis ka."

Yusuf mengangguk. Keduanya pergi ke rumah Ardhan sesuai dengan alamat yang Ardhan kirim.

Sesampainya mereka di rumah Ardhan.

"Bang, tunggu disini dulu ya."

Yusuf mengangguk. Dia cukup tahu, adiknya pasti punya urusan yang penting dengan Ardhan dan tidak ingin dicampuri oleh orang lain. Kalau tidak penting, mana mungkin Ayna ke rumahnya.

Ayna tersenyum. Memang, Yusuf adalah kakak yang paling pengertian!

Ayna memencet bel rumah Ardhan. Tak lama, seorang wanita tua, membukakan pintu.

"Maaf, ada Ardhannya?"

Bi Jum mengangguk sambil tersenyum. "Neng Ayna ya?" Ayna mengangguk. "Udah ditunggu den Ardhan dari tadi. Silahkan masuk, Neng. Panggil aja Bi Jum."

Ayna mengangguk. "Makasih, Bi."

Bi Jum, mengantar Ayna sampai ke taman belakang rumah Ardhan. Lalu pamit pergi ke dapur.

Ayna mengernyitkan dahi. Pandangannya menyapu sekitar. Ramai sekali. Ada beberapa orang disini yang Ayna kenal. Namun, ada beberapa yang Ayna tidak kenal.

Mereka semua bercampur baur tidak mengenal jenis kelamin. Ayna menggelengkan kepalanya pelan. Astagfirullah.. Akhir zaman.

Ayna mencari keberadaan Ardhan. Pandangannya terhenti pada seorang laki-laki yang tengah duduk menyendiri di sofa.

Ayna berjalan pelan menghampirinya.

"Dhan.."

Ardhan mendongak. "Oh? Lo udah dateng?" Ardhan tersenyum miring. Dia mengangkat sebelah tangannya. Tak lama, datang dua orang wanita cantik dan langsung memeluk Ardhan dari samping.

"Hello, babe," panggil Ardhan kepada wanita disebelah kanannya.

"Love you," bisiknya pada wanita di sebelah kirinya. Ayna tersenyum miris. Sedih melihat Ardhan tersesat begitu jauh ke dalam kenikmatan dunia.

"Apa yang mau kamu omongin, Dhan? Abang aku udah nunggu di depan. Aku harus cepet pulang."

Ardhan tidak memperdulikan Ayna. Dia masih sibuk dengan kedua wanita disebelahnya.

"Kalau niat kamu undang aku kesini cuma buat liat kamu kayak gini..."

Ayna mundur beberapa langkah. "Nggak penting sama sekali," ucap Ayna sambil berbalik.
Ardhan melepas pelukan kedua wanita disebelahnya. Refleks, dia menahan lengan Ayna. Ayna menepisnya dengan cepat.

Ayna membalikkan badannya. Dia menunduk. "Kalau kamu mau seneng-seneng sama mereka, nggak usah undang aku kesini, Dhan. Ini cuma bikin aku bingung sama perasaan aku sendiri."

"Lo tau nggak? Gue ngelakuin semua ini karena lo, Ayna!"

Ayna mengernyitkan dahi. "Kenapa karena aku, Dhan?"

Ardhan berjalan mendekati Ayna. Ayna mundur beberapa langkah. "Karena gue ngerasa udah ditipu sama lo. Setelah semua perhatian yang lo kasih ke gue, lo malah nikah sama om gue sendiri tepat ketika ortu gue baru aja meninggal."

Ardhan menatap Ayna lekat-lekat. "Na, liat muka gue dan bilang ke gue kalau selama ini kita temenan, lo nggak pernah mendem perasaan apapun buat gue!"

Ayna mengangkat wajahnya. Dia menatap Ardhan. Allah, maaf, kali ini saja. Izinkan aku menatap mata Ardhan untuk menegaskan padanya bahwa aku tidak akan pernah menjadi miliknya.

"Aku nggak pernah memendam rasa apapun ke kamu. Buat aku, kamu hanya teman. Teman yang sangat baik."

Ayna memalingkan wajahnya. Dia berbalik, pulang.

Ardhan menghela nafas berat.

Dia menoleh, menatap Zaki dibelakangnya yang tengah menatapnya prihatin. "Atur party-nya, gue ke kamar dulu."

Zaki mengangguk.

Ardhan berjalan pelan ke kamarnya. Dia langsung membuka kamar mandinya dan menyalakan shower.

Kenapa gue harus bersikap sedramatis ini? Bukannya selama ini gue emang udah begini? Kenapa dihadapkan dengan Ayna, gue bener-bener nggak berdaya.

Ardhan jatuh terduduk. Dia memejamkan matanya, merasakan air yang begitu dingin  sampai menusuk kulitnya.

Tubuh Ardhan bergetar. Dia menangis.

Kali ini aja, izinin gue buat nangis.

Tuhan, apa aku sehina ini?

Apa aku terlalu banyak dosa?

Apa aku tidak pantas bahagia?

Ardhan menenggelamkan kepalanya diantara lututnya.

Apa aku masih bisa menganggap-Mu adil? Setelah semua ini... Aku tidak sanggup.

Ardhan teriak. Dia membuka matanya lalu berdiri. Ardhan memukul tembok berkali-kali.

"KENAPA GUE HARUS HIDUP BEGINI?!" teriaknya.

Ardhan jatuh terduduk. Dia memegangi kepalanya yang terasa sangat sakit.

"MATI AJA GUE! MATI!"

Ardhan mencengkeram rambutnya kuat-kuat. Dia mengatupkan rahangnya, menahan sakit.

Satu detik...

Tiga detik..

Lima detik... Nafasnya memburu dan tidak terkontrol.

Delapan detik..

Sepuluh detik...

Ardhan pingsan.

◾▫◾▫◾▫

Ardhan membuka matanya pelan. Matanya menyipit, menahan silau dari cahaya yang datang tiba-tiba.

Setelah matanya mulai terbiasa dengan cahaya, dia melihat sekelilingnya.

"Gue, di rumah sakit?"

Cklek..

Seseorang membuka pintu.

Azwan.

Dia berjalan mendekati Ardhan. "Udah sadar ya? Baguslah..."

Ardhan menghela nafas berat. "Gimana caranya ikhlas, Om?"

"Ikhlas? Ikhlas mah jangan dipikirin, tapi dijalanin, direlain. Lepas semua ego dan dendam dan jalanin semuanya lebih sabar. Relain semua yang udah terjadi, melangkah menuju masa depan. Percaya kalau Allah selalu kasih yang terbaik, lalu lupain semua hal yang membawa penyakit hati."

Air mata Ardhan terjatuh. Kenapa susah banget buat ikhlas?

Azwan menepuk bahu Ardhan. "Jangan lupa, ingat kalau Allah-lah yang menciptakan masalah. Maka pasti, Allah-lah yang akan memberikan kamu jalan keluar."

Ardhan menahan nafas sebentar. Dia menatap Azwan lekat-lekat.

Nurul ayna muslimah (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang