21) Depresi

253 15 0
                                    

Ayna sudah memutuskan. Dia akan kembali ke rumah Bunda dan Ayahnya. Seberapat kuatpun Mama dan Papa menahannya, Ayna tetap pulang.

Dia berjanji, sesekali akan main ke rumah Papa dan Mama.

Saat sampai dirumah, Ayna langsung disambut dengan senyuman hangat dari Hasan, Husna, dan Yusuf.

Memang, tak ada yang lebih mengerti kita daripada keluarga. Tak ada yang bisa memberikan kita kehangatan melebihi kehangatan sebuah keluarga.

Pengumuman kelulusan juga sudah keluar. Zahra yang mengambil hasil kelulusan Ayna. Dia juga yang mewakili Ayna untuk berpidato. Karena Ayna menjadi siswi dengan nilai UN paling tinggi diantara satu sekolah.

Ayna tidak terlalu peduli.

Dia juga merasa aneh dengan dirinya. Tiba-tiba dia merasa dadanya selalu sesak, pikirannya dipenuhi hal-hal buruk, dan hatinya selalu sakit. Ayna selalu mengingat Azwan disetiap perbuatannya.

Apalagi saat matanya terpejam. Kejadian saat Azwan tertusuk pisau di hadapannya, benar-benar membuatnya tidak bisa tidur nyenyak.

Dia jadi berpikir, sesakit inikah saat dia menikah dan meninggalkan mereka yang mengatakan mencintainya? Sesakit inikah yang dirasakan Ardhan?

Bukannya dia terlalu percaya diri. Tapi rasa sakit ini benar-benar mengingatkannya pada Ardhan yang kelihatan sangat terluka sewaktu dia menikah.

Apakah Ayna sangat egois? Inikah ganjaran yang harus dia terima setelah mengambil langkah tanpa berpikir panjang?

Bukannya memberikan kebahagiaan kepada keluarga dengan kelulusannya, dia malah memberikan aib untuk keluarganya. Keluarganya malah sering digunjing oleh para tetangga.

Sampai-sampai Ayna takut keluar dari rumah. Tahun ini, dia tidak bisa kuliah. Dia masih belum siap bertemu banyak orang.

Hal ini membuat para sahabat dan keluarga bertanya-tanya. Kemanakah Ayna yang dahulu selalu tersenyum? Dahulu kebahagiaan gadis itu sederhana sekali. Namun sekarang, jika melihatnya, tidak ada sedikitpun senyum yang dia tunjukkan. Seakan wajah itu memang tak pernah tersenyum.

Dingin, datar, dan tak terbaca.

Begitulah Ayna yang sekarang.

Tok... Tok.. Tok...

“Ayna, ada Rasyid di depan, Na. Coba temui dulu. Kasian sudah datang malam-malam begini,” ucap Husna dari luar kamar Ayna.

Ayna membuka pintu kamarnya. Wajahnya datar, bibirnya pucat, Ayna mengangguk kepada sang bunda.

Ayna keluar rumah dengan langkah lemas. Dia duduk di bangku depan rumahnya, berhadapan dengan Rasyid.

Udara dingin berhembus kencang. Ayna memasukkan tangan ke saku blazernya. Dia sangat tidak menyukai dingin.

“Ayna, tolong jangan begini. Jangan depresi seperti ini. Tolong menikahlah dengan saya. Saya akan membahagiakanmu.”

Wajah Ayna tidak berubah. Masih datar seperti sebelumnya. Ayna menggeleng. “Aku nggak bisa.”

Rasyid menghela nafas panjang. “Oke. Saya ngerti.”

Rasyid berdiri, mengulum senyumnya, lalu berbalik.

“Kenapa Bang Rasyid kayak gini?”

Rasyid menghentikan langkahnya. “Saya hanya ingin mengajakmu bahagia bersama saya. Kalau kamu menolak, saya bisa apa?”

“Apa mengajak bahagia bersama itu harus menikah?”

Rasyid berbalik.

Ayna menggeleng pelan. Dia kecewa dengan sikap Rasyid saat ini. Apa yang Rasyid pikirkan? Apakah dia tidak paham dengan perasaan Ayna? Kenapa dia bisa bersikap egois seperti ini?

Nurul ayna muslimah (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang