15) Marah?

213 11 1
                                    

Ayna mengetuk pintu rumahnya untuk ketiga kalinya. Dia menghela nafas panjang. Apakah Azwan sudah tidur?

Tadi, ketika dia dan Agung sedang mengobrol, hujan bertambah deras. Dengan terpaksa, dia dan Agung menunggu hujan reda. Selain karena takut demam, besok mereka juga sekolah.

Tiba-tiba pintu terbuka. Nampak sosok Azwan dengan rambut yang berantakan. Ayna mengulum senyumnya, “Kakak kayaknya capek banget,” ucapnya.

Azwan mengangguk. Dia berbalik, meninggalkan Ayna di depan pintu. Ayna masuk dan mengunci pintu.

Dia langsung naik ke lantai atas, ke kamarnya.

Ketika sampai di kamar, Ayna melihat Azwan yang sudah terlelap di kasur. Mungkin Kak Azwan kecapean.

Ayna masuk ke dalam kamar mandi, membersihkan tubuhnya. Setelah itu, dia duduk di meja belajarnya.

Ayna melirik jam di dinding. Pukul 09:00. Ternyata dia pulang sangat-sangat terlambat. Semoga saja besok Azwan tidak marah padanya.

Ayna membuka-buka buku pelajarannya. Ada tugas yang belum dia selesaikan. Walaupun tubuhnya lelah, tapi dia harus menyelesaikan tugas itu malam ini karena besok pagi dikumpulkan.

Ayna membalik-balikkan halaman bukunya. Sesekali dia menguap karena rasa kantuk mulai menyerangnya.

Lima soal lagi!

Ayna menghela nafas berat. Dia benar-benar sudah tidak sanggup. Dia menoleh ke kasur, menatap Azwan yang kelihatannya sudah hanyut ke alam mimpi.

Ayna tersenyum. Lucu melihat guru yang selama ini dia lihat dari bangku kelasnya, sekarang dapat dia lihat sesering dan sedekat ini.

Ayna kembali menatap soal-soalnya. Pokoknya harus selesai malam ini!

Tinggal dua soal lagi.

Seseorang mengusap rambutnya. Ayna menoleh. Azwan. Laki-laki itu tidak tersenyum. Dia menatap Ayna datar. Hal itu berbanding terbalik dengan tangannya yang masih membelai rambut Ayna lembut.

“Kenapa belum tidur?” tanyanya.

Ayna tersenyum. “Ada tugas yang belum dikerjain.”

Azwan mengangguk. “Lanjutin.”

Ayna balas mengangguk. Dia mengerjakan soalnya sampai selesai. Tangan Azwan masih setia membelai rambutnya. Azwan masih berdiri di tempatnya.

Ayna menutup buku pelajarannya. Menatap Azwan yang sedari tadi menatapnya intens. Azwan menarik bangku Ayna, menghadapnya.

Dia berjongkok. Matanya menatap Ayna lekat-lekat. “Kamu bilang, kamu pergi ke rumah neneknya temen kamu. Siapa temen kamunya? Kenapa pas saya tanya Zahra, dia bilang dia nggak sekolah dan nggak ngajak kamu pergi ke rumah neneknya.”

Ayna menggigit bibir bawahnya.

Azwan masih menatapnya lekat-lekat. Meminta kejujuran dari gadis yang kini telah menjadi istrinya.

Lima menit berlalu. Azwan masih setia menatap Ayna dan menunggu jawabannya.

Azwan menggenggam tangan Ayna. “Jujur sama saya.”

Ayna menghela nafas panjang. “Aku ke rumah neneknya Agung.”

Azwan mengangguk. “Terus?”

“Dia minta tolong aku buat nemenin dia kesana . Cuma nemanin dan sebagai temen. Nggak lebih. Aku juga nggak ngapa-ngapain. Cuma ketemu sama neneknya terus cerita-cerita.”

Azwan menggeleng. “Ayna, kamu harus sadar, kamu sudah bersuami. Walaupun cuma teman, harus ada batasannya. Kamu sudah tidak bisa melakukan hal-hal seperti itu.”

Ayna menunduk. “Maaf, aku cuma mau berguna buat temen sendiri. Agung keliatan putus asa banget waktu dia ngajak aku pergi. Aku ngerasa dia punya masalah berat. Makanya aku mau bantu dia.”

Azwan menghela nafas berat. “Kamu nggak harus pergi berdua. Kamu bisa ajak temen kamu, atau minta Ardhan nemenin kalian.”

Ayna mengangguk pasrah. Dia tahu dia salah. “Aku minta maaf dan janji nggak akan ngulangin lagi.”

Azwan memejamkan matanya sebentar.

“Oke.”

Azwan berdiri. Dia berbalik, hendak tidur lagi.
Ayna menahan lengannya. Azwan berbalik menghadapnya.

“Kakak masih marah ya?” tanya Ayna. Azwan tidak menjawab.

Ayna melepas tangannya dari lengan Azwan. Dia sangat takut. Kata bunda, dia tidak boleh membiarkan Azwan tidur dalam keadaan marah padanya. Nanti dia dosa.

Ayna terisak. “Aku bener-bener minta maaf. Aku nggak ada maksud sama sekali. Aku cuma mau bantuin Agung.”

Azwan menatapnya sendu. Dia mempertipis jaraknya dengan Ayna. Azwan memeluknya erar-erat.

Ayna makin terisak. Dia balas memeluk Azwan erat.

“Oke-oke. Saya ngerti. Saya maafin kamu. Jangan nangis lagi ya?”

Ayna mengangguk, namun tangisnya belum juga reda. Azwan mengusap-usap punggungnya.

“Saya cemburu. Mulai sekarang, kamu harus jaga perasaan saya seperti saya menjaga perasaan kamu. Saya harap, kamu bisa memberi jarak sedikit antara kamu dengan mereka.”

Ayna mengangguk. Azwan mengulum senyumnya. Gemas sekali melihat Ayna dalam kondisi seperti ini. Rasanya dia ingin memeluk Ayna sepanjang malam. Menenangkannya dan memberinya kehangatan.

“Kamu harus tidur. Besok sekolah.”

Tangis Ayna reda. Dia mengangguk. Azwan melepas pelukan mereka. Ayna berjalan mendekati kasur. Dia berbaring.

Azwan tersenyum. Dia ikut berbaring di kasur. Azwan menarik selimut agar menutupi tubuh istrinya. Ayna memejamkan matanya.

Tak lama, terdengar dengkuran halus dari mulut Ayna. Azwan terkekeh pelan.

Dia memeluk Ayna erat dan menyandarkan kepala istrinya di dada bidangnya. Azwan ikut memejamkan matanya.

Kamu terlalu berharga untuk saya marahi. Memelukmu saja, marah saya reda, Ayna.

Azwan menyandarkan dagunya di bahu Ayna. Hatinya menghangat. Dia bersyukur memiliki Ayna saat ini. Rasanya ada begitu banyak orang yang menginginkan Ayna. Tapi sekarang, Ayna telah memilihnya.

Mungkin lebih baik, setelah ini dia akan lebih memaklumi Ayna. Ayna masih terlalu muda untuk dia kekang.

Azwan membisikkan doa tidur ke telinga Ayna agar gadis itu mimpi indah.

Nurul ayna muslimah (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang