Keluhan Saya Terhadap STM

391 50 60
                                    

Saya ingin mengeluh. Tentang diri saya yang sudah hampir tiga puluh tahun tapi masih belum kawin. Padahal wajah saya enggak buruk-buruk amat. Malahan saya cukup percaya diri kalau ketampanan saya nggak jauh beda sama Jefri Nichol. Yah, perbandingannya 11-21 lah.

Sebenarnya saya enggak ngebet pengin kawin. Saya orangnya santai saja. Waktu masih sekolah saya tipe murid yang suka datang di menit-menit terakhir tapi pulang paling awal. Saya langsung mengerjakan PR setelah sampai di rumah. Benar apa enggaknya itu urusan belakangan, yang penting sebagai murid teladan saya sudah menunaikan kewajiban. Saya juga selalu makan sebelum lapar, berhenti sebelum kenyang, seperti yang dianjurkan agama, selain memang tidak ada lagi mie instan buat dimakan. Tampan dan bertanggung jawab, kalau dipikir-pikir saya ini sudah termasuk dalam kriteria suami idaman. Hanya kurang mapan, itu doang.

Terus salahnya di mana? Kok, saya masih belum kawin? Mungkin, pembaca budiman sekalian akan bertanya demikian. Jawabannya simpel saja; lingkungan tempat saya bekerja selalu kebanyakan lelaki. Jadi, enggak ada yang namanya cinta lokasi dalam skenario perjalanan asmara saya.

Cinta lama bersemi kembali di saat reuni SMA pun tidak bisa diharapkan, karena dulu saya masuk STM. Tahu sendiri di sana muridnya lelaki semua, kelakuannya pada bobrok. Kalau belajar di kelas jarang fokus, suka ribut. Mereka malas-malasan soal pelajaran. Giliran ada anak SMEA lewat depan gerbang sekolah, semua semangat pada nyiul-nyiulin, terus teriak-teriak, "Hei, cewek! Cewek! Godain kita dong!"
Mereka hidupnya jarang pakai nalar. Coba, mana ada cewek yang sudi godain cowok yang mulutnya pada bau jigong semua!
Kalau ingat itu pengin rasanya saya kembali ke masa lalu dan menempeleng mereka satu-satu. Mereka itu tiap kali lihat anak SMEA sudah kayak gerombolan serigala yang nemu domba-domba lagi tersesat di hutan. Entah siapa yang mulai tradisi siul-siulan sama teknik norak godain cewek itu, yang jelas secara turun-temurun mereka sudah mencemarkan nama STM, dan terlebih lagi berkontribusi penuh pada nasib asmara saya yang sampai sekarang masih sepi akan cinta.

Saya termasuk generasi terakhir sebelum STM diganti namanya menjadi SMK. Mungkin pemerintah juga menyadari sama seperti saya bila nama STM sudah terlanjur memberikan stigma buruk di mata masyarakat dan mengambil langkah bijak dengan mengubahnya menjadi SMK. Terbukti, sekarang jarang ada berita tawuran antar anak STM.

Sebelum pemerintah menganjurkan masuk SMK supaya dapat kerja, saya sudah tahu duluan. Saya milih masuk STM karena sadar harus dapat kerja setelah lulus sekolah, sebab saya terlahir dari keluarga yang nasibnya nanggung. Dibilang miskin enggak, dulu saya masih ingat bila setiap lebaran selalu dibelikan baju baru. Tetapi, dibilang kaya juga jauh ke mana-mana, soalnya saya pun masih ingat kalau orangtua saya sering nunggak bayar SPP. Makanya waktu itu saya suka emosi kalau ada teman saya yang pakai uang SPP buat main Dingdong. Bagi saya perbuatan itu termasuk dosa besar karena menyalahgunakan amanat dari orangtuanya untuk membayar SPP. Apalagi kalau teman saya itu enggak ngajak dan traktir saya buat main Dingdong.

Singkatnya, dengan latar belakang pendidikan STM yang saya miliki, saya tidak ada koneksi untuk kenal dengan seorang wanita yang akan menjadi jodoh saya, atau dibukakan jalan oleh seorang teman wanita yang punya teman wanita buat dikenalkan kepada saya sebagai calon istri. Tidak ada harapan. Skenario seperti itu tidak tersedia buat saya. Mengharapkan uluran tangan dari orang lain tidak bisa diandalkan. Tidak ada jalan lain, saya harus berusaha sendiri untuk mendapatkan jodoh.

Kotak KeluhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang