Keluhan Saya Terhadap Teman yang Nyuruh Cepat-Cepat Kawin

78 12 13
                                    

Serius nih, saya enggak ngebet pengin kawin. Apaan, cuma bikin susah sendiri. Awalnya mungkin Anda merasa bahagia bisa bersanding dengan orang yang dicinta, cengengesan di pelaminan sambil menyalami satu per satu tamu undangan. Kawinan belum beres, pikiran sudah kemana-mana membayangkan malam pertama, enggak sadar kalau sesudah itu ada hutang biaya katering yang harus dibayar.

Mungkin pembaca budiman sekalian di sini bakal ada yang protes, "Ah, jangan sok tahu! Kamu, kan, masih jomblo, mana ngerti perasaan orang yang udah kawin!"

Enggak perlu mengalami dahulu buat mengerti. Meski teman-teman jahanam saya bilang kawin itu enak dan katanya menyesal enggak menikah lebih awal, saya sangat meragukan omongan mereka.

Bukti di lapangan berkata lain. Kelakuan mereka tiap hari cuma ngeluh bahwa gajinya enggak cukup, dan tiap tanggal tua ada saja orang yang datang kepada saya buat pinjam duit. Saya jadi bertanya-tanya bagaimana kehidupan mereka tanpa hadirnya seorang teman yang berbudi pekerti luhur seperti saya ini. Ternyata sangat mudah untuk saya bayangkan. Enggak salah lagi, hidup mereka bakal susah setengah mampus.

Terkadang saya terpaksa enggak kasih pinjam. Bukannya enggak mau bantu teman, tetapi pinjam duit bagi mereka sudah jadi semacam ketergantungan. Mereka kayak orang sakau kalau tiap bulan enggak ngutang. Masih mending habis gajian langsung bayar, ini hutang belum lunas malah mau pinjam lagi. Entah dosa apa yang saya lakukan di masa lalu, hingga pantas menerima cobaan memiliki teman-teman biadab seperti mereka.

Waktu saya ngasih pinjam duit sama Sugeng, dia lagi-lagi memberi wejangan, "Cepetan kawin, Bray! Kasihan entar anak kamu masih kecil, tapi bapaknya sudah tua."

Dalam hati saya bilang, "Sebagai seorang anak, saya lebih memilih punya bapak yang sudah tua daripada bapak yang tiap bulan ngutang."

Mungkin dia merasa bertanggung jawab atas nasib saya yang masih sendiri. Dia bermaksud baik memberikan petuah-petuahnya sebagai bentuk balas budi, seolah dengan tindakannya itu hutangnya bisa dipertimbangkan untuk saya kurangi. Ha! Jangan mimpi, Geng!

Saya balas jawab saja, "Kalau saya kawin, kamu enggak bisa pinjam duit lagi sama saya, Geng."

Dia tersenyum lembut, dan dengan bijaknya berkata, "Enggak apa-apa, yang penting kamu sudah ada yang ngurus. Sebagai sahabat yang baik, saya enggak tega lihat kamu terus-terusan kesepian kayak gini. Rezeki sudah ada yang ngatur. Biarpun kamu enggak bisa ngasih pinjam duit lagi, saya rela asal kamu bahagia."

Omong kosong. Ucapannya itu sudah kayak janji kampanye. Dipikirnya saya kenal dia baru satu atau dua hari doang, gitu?

Selain ketampanan yang pastinya saya jauh lebih unggul bila dibandingkan dengan dirinya, sifat Sugeng enggak jauh beda sama saya. Kami termasuk ke dalam kelompok manusia yang senang melihat orang lain susah daripada gembira. Setiap kali lihat orang lewat di jalan, kami selalu mendoakan mereka supaya jatuh terpeleset kulit pisang. Ya, memang sebusuk itu hati kami berdua.

Makanya, saya jadi curiga setiap Sugeng menyuruh saya untuk cepat-cepat kawin. Kayaknya ada maksud tersembunyi. Sugeng ingin menjerumuskan saya supaya ikut merasakan kesusahan berumah tangga seperti yang sedang dia alami sekarang, supaya dia memiliki lebih banyak teman sependeritaan. Kalau hal itu benar, Sugeng pantas menerima penghargaan piala Panasonic Gobel Awards sebagai teman terbiadab di muka bumi ini.

Kotak KeluhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang