Keluhan Saya Terhadap Bioskop

164 31 40
                                    

Saya masuk STM bukan karena minat ataupun bakat, apalagi dalam rangka menuruti panggilan jiwa. Sudah dijelaskan sebelumnya bila saya harus dapat kerja setelah lulus sekolah karena ekonomi keluarga berada di ujung tanduk. Bahkan, saya yang dulu masih anak SMP saja mengerti bahwa garis kemiskinan sudah tampak jelas di depan mata. Bila diibaratkan jarak antara garis kemiskinan dengan kondisi keuangan keluarga, tidak lebih dari seujung kuku bocah SD yang sudah dipotong karena hari Senin akan diperiksa oleh gurunya.

Pikiran saya waktu itu kalau masuk STM saya punya satu keahlian yang dapat digunakan untuk cari kerja, atau seenggaknya bisa bantu keluarga buat mengakali meteran listrik kontrakan agar jalannya lebih lambat, sehingga bayar tagihan listrik bisa lebih murah. Saya memilih jurusan listrik atas pertimbangan hal itu, dan harus kecewa karena ternyata di STM tidak ada kurikulum yang mengajarkan muridnya untuk mensiasati meteran PLN.

Coba bayangkan betapa remuknya hati saya kala itu! Saya korbankan masa muda yang paling indah dengan memilih masuk STM daripada SMA. Saya kubur dalam-dalam harapan menjadi Rangga agar dapat dicintai oleh gadis yang secantik Dian Sastro demi untuk mendapatkan ilmu mencuri listrik! Tetapi apa yang saya dapat? Tidak ada, selain masa muda yang suram tanpa cinta.

Saya jadi teringat almarhum Crishye pernah bernyanyi, "Tiada masa paling indah, masa-masa di sekolah. Tiada kisah paling indah, kisah-kasih di sekolah". Sudah terbukti. Saya telah mengorbankan masa paling indah. Mana ada kisah-kasih di STM!

Bagi saya sebagai anak STM, menonton film romansa sekolah seperti AADC ataupun sekarang yang terbaru Dilan 1990 itu serasa nonton dongeng fantasi. Tidak seperti kebanyakan orang yang baper setelah menonton film tersebut, kesan saya malah emosi. Melihat adegan kemesraan anak-anak SMA berpegangan tangan, boncengan motor, berpelukan, sampai berciuman di akhir cerita, itu tidak masuk logika saya sebagai alumni anak STM. Enggak ada relevannya dengan kehidupan saya dulu waktu sekolah yang murid-muridnya masih saling lempar nama orang tua mereka buat bahan saling hina.

Biar begini juga saya penikmat film layar lebar. Setiap libur kerja saya suka pergi ke bioskop. Sendirian.Tanpa teman, tanpa pasangan. Anda sekalian boleh tertawa, tapi saya tidak perlu belas kasihan. Sejatinya bioskop memang untuk penggemar film. Entah sejak kapan kebiasaan menonton ke bioskop jadi ajang untuk berkencan. Menikmati film malah menjadi sampingan. Terkutuklah pasangan yang memanfaatkan suasana bioskop untuk kemaksiatan. Semoga cinta mereka berakhir di tengah jalan, dan tidak dipersatukan di pelaminan.

Selain dari itu, sistem di bioskop pun seakan diperuntukkan untuk orang yang berpasangan. Mereka mendiskriminasi orang yang datang sendirian. Saya tidak dibebaskan untuk memilih nomor urut kursi. Kasir bioskop kerap menyuruh saya agar memilih kursi lain karena pertimbangan dua kursi harus dikosongkan dengan dalih buat jaga-jaga bila nanti ada pasangan yang akan menonton. Men, itu sangat mencederai harga diri saya. Martabat saya serasa direndahkan. Saya jelas-jelas sudah membeli tiket, dan mereka malah menyediakan dua kursi kosong untuk pasangan yang statusnya masih siluman. Belum tentu mereka akan datang, dan sudah pasti tidak akan seloyal saya yang setiap minggu menonton di bioskop.

Lalu, tentang makanan dan minuman di bioskop. Kita dilarang membawa makanan dan minuman dari luar, tapi mereka memasang harga yang hampir tidak masuk akal. Harga satu botol mineral bisa tiga kali lipat dari harga aslinya. Ini tidak bisa dikatakan lagi sebagai usaha mencari kesempatan dalam kesempitan, melainkan sudah bisa disebut praktik kapitalis secara terang-terangan. Saya mengerti keuntungan dari tiket tidak dapat menutupi biaya operasional, namun alih-alih memperoleh keuntungan dari menjual makanan dan minuman, pihak bioskop akan mendapatkan sumpah serapah dari para pembeli. Mereka akan kapok tidak akan membeli lagi minuman di sana dan lebih memilih kehausan saat menonton bioskop.

Mungkin kalian akan berkata, "Ah, banyak omong. Apa-apa protes, sedikit-sedikit ngeluh. Enggak punya duit tapi mau gaya. Pantas miskin! Ya udah sih, enggak usah beli, enggak usah nonton ke bioskop. Ribet amat!"

Pembaca budiman, orang miskin juga manusia. Punya keinginan dan butuh hiburan. Kami hidup bersama kesusahan setiap harinya. Mengeluh adalah satu-satunya cara agar kami bisa betah dalam kemiskinan. Bukan orang kaya saja yang berhak menyeruakan pendapatnya. Kalau orang miskin juga dilarang mengeluh, lalu apa lagi yang dapat kami lakukan untuk menghibur diri dan menumpahkan segala kekesalan terhadap ketidakadilan di bumi ini? Bila sudah begitu, kami tidak ada pilihan selain menjadi kaya.

Bayangkan semua orang miskin menjadi kaya. Struktur piramida kehidupan bakal runtuh. Peradaban manusia akan hancur berantakan. Sampah berserakan di mana-mana, karena semua orang di muka bumi sudah kaya, tidak ada yang sudi menjadi tukang pungut sampah.

Mereka juga tidak bisa disebut lagi sebagai orang kaya. Sebab keberadaan orang kaya bergantung kepada orang miskin untuk dijadikan perbandingan. Karena sudah tidak ada kemiskinan, semua orang menjadi setara. Tidak ada yang melayani, tidak ada yang bisa dijadikan bawahan. Mereka hidup dalam kesusahan, dan itu berarti bila semua orang menjadi kaya, kondisi sebenarnya adalah semua orang menjadi miskin. Ini adalah suatu bentuk paradoks murni. Hilangnya kemiskinan malah membuat semua orang menjadi miskin!

Ya, benar. Akibat tanggal tua tapi masih belum gajian memang terkadang bisa membuat pikiran menjadi linglung. Saya akan jujur pada Anda semua. Saya sendiri enggak tahu apa yang tadi saya omongin.

Kotak KeluhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang