Sebagai seorang jomblo matang, tiap hari saya tersinggung. Setiap melihat anak-anak sekolahan boncengan di jalan atau saat mereka gandengan tangan di mal, darah saya langsung naik ke kepala dan seketika migrain. Saya bertanya-tanya apa hidup saya bagaikan lelucon bagi mereka? Anak-anak muda biadab itu seperti mengejek kesendirian yang saya alami dengan menampilkan kemesraan di depan publik, seolah memberi pesan, "Mampus kau! Bujangan sampai akhir khayat!"
Entah sejak kapan kemesraan di depan publik menjadi hal biasa untuk dipertontonkan. Padahal waktu kecil saya masih ingat pacaran bisa dikategorikan sebagai tindak kriminal. Bahkan, hansip yang berpatroli kelihatan lebih bersemangat mencari orang yang pacaran daripada maling ayam. Saya pernah melihat sepasang kekasih sampai nyungsep di got karena saking ketakutannya dikejar-kejar hansip.
"Pacaran sama dengan berbuat zina. Kita juga bakal kedapatan dosanya bila tahu dan dibiarkan begitu saja," kata Kepala Desa memberikan komando pada para hansip di Poskamling. "Jadi kalau kita semua menemukan orang yang pacaran di wilayah ini, tangkap dan langsung kawinkan. Jika orangtuanya tidak setuju, pisahkan mereka. Karena perkawinan tidak akan berkah tanpa restu orangtua."
Hansip-hansip di sana mengangguk setuju, lalu memukul-mukul kentongan dengan berapi-api padahal waktu itu sudah malam. Jangan tanyakan saya mengapa mereka begitu menjadi bersemangat cuma gara-gara perintah Kepala Desa tentang menangkap orang yang pacaran. Sampai sekarang saya juga enggak paham jalan pikiran mereka. Mungkin dulu memburu orang yang pacaran adalah suatu hiburan bagi para hansip karena kita tahu sendiri di zaman itu ponsel Android belum tercipta, dan hiburan paling "wah" yang bisa mereka dapatkan hanyalah panggung dangdutan yang diselenggarakan setahun sekali pada malam penutupan 17 Agustusan. Atau mungkin, mereka jomblo lantas iri dan dengki melihat sepasang kekasih yang merasa dunia ini milik berdua dan menganggap orang lain hanya sebagai gembel-gembel asmara.
Pembaca budiman sekalian mungkin ada yang tidak setuju dengan keputusan Kepala Desa tersebut karena berpikir itu melanggar hak asasi manusia. Tetapi meskipun dengan memberlakukan peraturan ketat seperti itu, wilayah kami masih saja bisa kecolongan dan mendapati anak gadis hamil di luar nikah. Bandingkan dengan pergaulan anak muda zaman sekarang yang semakin bebas. Coba bayangkan berapa banyak anak gadis yang hilang keperawanan sebelum menikah.
Atau bisa saja keperawanan sudah tidak dianggap penting di zaman sekarang, jadi bodo amat, yang penting sama-sama enak. Asal saling cinta, restu orangtua dan ritual pernikahan hanya sekadar tradisi kuno yang sudah usang. Kumpul kebo pun dijadikan pilihan, tinggal pisah bila sudah bosan. Kalau telat angkat ada jalan aborsi, atau meski mereka punya nurani dan melahirkan seorang anak, petugas kelurahan bakal kebingungan untuk memasukkan data sang anak di kartu keluarga yang mana.
Saya tidak bermaksud berprasangka buruk terhadap pergaulan anak muda zaman sekarang. Anda bisa menilai sendiri dengan memperhatikan keadaan di sekitar saat ini, dan bedakan dengan zaman ketika Anda masih kecil, waktu disuruh emak tersayang membeli minyak tanah ke warung. Saya tidak akan memaksa Anda sekalian untuk sepaham. Sebab, di sini saya hanya ingin mengeluh, bukan mau kampanye yang harus dan kudu membuat orang-orang mendukung pendapat saya. Enggak ada urusan sama sekali Anda mendukung atau tidak, yang penting kekecewaan saya terhadap dunia ini bisa ditumpahkan. Tapi satu permintaan saya selagi masih hidup, tolong sisakan gadis perawan buat pendamping saya di pelaminan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kotak Keluhan
No FicciónTulisan ini berisi keluhan-keluhan saya terhadap segala macam hal. Jangan harap menemukan kisah inspirasi apalagi kalimat motivasi. Di sini saya hanya ingin memuntahkan isi kepala saya sebagai manusia pengeluh. Oke. Love you. Cute cover by @Chrystal...