Chapter 6

27 15 14
                                    

Ciluba!! Happy New Year!!

Nadila duduk lesu di ruang UKS.
Seharusnya Juna juga ada disini menemaninya, tapi lantaran ia dipanggil walinya, ia harus pergi meninggalkan perempuan yang baru saja ia selamatkan dari guyuran air hujan yang sedang memandikan bumi.

"Jelaskan, Iva" bukan Juna, tapi Iva yang ada disebelah Nadila.
Iva duduk dengan mata yang baru saja kering dari tangisannya.

"Saya hanya kesal saja, bu, Nggak lebih. Saya sudah ceritakan kan? Bagaimana Nadika tidak menjawab panggilan dari saya hingga insiden tadi. Semuanya ada alasan" ucap Iva membela diri.

Bu Septi, selaku guru BK SMA Armada, sudah sepatutnya memberi pelajaran bagi anak yang berbuat ulah di sekolah.
"Lalu kalau tidak berkelahi di halaman belakang, tidak ada cara lain mengungkapkan kekesalanmu? Apa kamu belum puas juga?"

"Bukan begitu, Bu" Iva kembali menunduk

"Lalu Nadila, apa kamu sudah merasa lebih baik?" Raut wajah Bu Septi langsung berubah cemas. Nadila menjawab dengan anggukan lemah

"Kenapa kamu bisa langsung pingsan, nak? Apa kamu sedang sakit? Atau kamu alergi? Alumni anak disini, dulu juga pernah sepertimu, setiap upacara selalu pingsan. Setelah ibu telusuri, ia mengaku kalau dia alergi panas matahari berlebihan" Bu Septi berbicara, prihatin.

Nadila sedikit kaku, di masa SMPnya ia sudah pernah mengaku pada guru BK, tapi entah bagaimana hal itu bisa tersebar dalam waktu yang sangat singkat

"Enggak, bu. Saya hanya kurang vit" Nadila menyengir

"Kenapa kamu tidak izin saja? Kamu punya paman kan? Kenapa bukan pamanmu saja yang tidak mengambil rapornya?" Tanya Bu Septi

"Aku tidak mau merepotkannya, lagipula paman juga punya pekerjaan"

"Baiklah, kalau gitu. Kalian berpelukan sekarang" ucap Bu Septi membuat keduanya kaget

"Cepat!, ini hukuman untuk kalian" ucap Bu Septi seenaknya

"Kenap--" tangan Iva langsung meraih pundak Nadila dan memeluknya sebelum Nadila menyelesaikan kata-katanya.

"Maafin gue" tanpa ada yang melihat, Juna langsung tertawa kecil dan pergi setelah puas menguping pembicaraan mereka.

-WOC-

Seluruh anak berhamburan, tak sabar untuk memasuki bis mereka masing-masing.

Benar, ini adalah tanggal dimana acara akhir tahun akan diadakan. Acara yang benar-benar dinanti semua orang, kecuali Nadila.
Meski begitu, Nadila hanya bisa tersenyum lesu di sebelah Aruna yang sedang mengoceh.

"HAPPY BIRTHDAY, NADILA! HAPPY BIRTHDAY NADILA!, HAPPY BIRTHDAY NADILAAAAA AAAA AAA A, HAPPY BIRTHDAY NADILAA!!!!!" Ucapnya tanpa malu.
Nadila cukup tersenyum walaupun keadaan hatinya masih kurang menyenangkan.

"Habede ya, Nad, achie yang nunggu kuenya!" Tiara sudah mencolek pipi Nadila yang sedang melipat tangan, gemas.

Sedangkan Iva, orang yang satu ini sedikit canggung dengan Nadila. Meski sudah pelukan, Iva tetap saja membuat kesalahan yang hampir mempertaruhkan nyawa Nadila

"Habede, Nad" ucap Iva tersenyum kecil.
Nadila tidak menjawab ketiga ucapan itu. Sontak teman duduknya berteriak

"LO BUDEK, ATAU BEGO?!" Aruna berniat bercanda

"Santai woi!, teriak-teriak di bis!" Entah karena apa, tekanan ucapan Nadila langsung membuat semuanya diam.

"Nad, kenapa?" Tiara menenangkan diri.

"Maaf, gue butuh sendiri dulu" lalu selama perjalanan, Nadila hanya diam menghadap jendela bis. Tak ada yang berani mengajaknya bicara.

Tring tring

Suara ponsel Nadila membuat keheningan mereka selama perjalanan, pecah
Dan tentu saja, tidak ada yang menghiraukan Nadila. Karena Nadila sendiri yang meminta mereka seperti itu

Bahkan yang lebih aneh, Nadila juga mengabaikan ponselnya.

-WOC-

Pukul 12 siang mungkin akan jadi puncak panasnya bumi.
Tapi, tak berlaku bagi pegunungan yang dinginnya tak dapat dikalahkan oleh es batu di kulkas bermerek.

Nadila turun berdesak-desakan dari busnya, beruntung ia berhasil keluar sebelum stok oksigen di alveolusnya menipis.

Tanpa sengaja, Nadila memperhatikan sebuah bus. Yogi turun dari dakam bus tersebut. Itu berarti, Juna ada didalam sana.

Lebih dari 5 menit memperhatikan, membuat Nadila hilang kesadaran. Jika saja tidak sebuah tangan meraih pundaknya, nyawanya pasti dalam keadaan bahaya.

"Hati-hati" ucapnya pelan dan tegas. Nadila mengenyit, bukan kaget. Orang yang ia ajak duduk di ruang BK beberapa hari lalu kini menyelamatkannya.

"Maafin gue, Va" Nadila canggung. Iva membalas dengan senyum dan menjawab 'iya' seadanya.
Lalu dalam perjalanan mereka bergandeng tangan, sahabat.

Sedangkan mata Nadila tak lepas dari pemandangan kumpulan anak kelas Arjuna. Entah kapan bayangan milik orang yang ia cari-cari akan tertangkap retinanya.

Iva yang memperhatikan Nadila sedari tadi bertanya.
"Nad, liat apa?"

"Nggak kok," ucap Nadila tak enak
Entah rasa menjanggal apa yang terus memenuhi ruang hatinya. Entah rasa karena Nadila belum berterimakasih pada Juna yang bersungguh-sungguh menolongnya atau rasa yang lain.

Pikirannya jadi melayang kesana-kemari, membuatnya gila.

Apa ini? Kenapa Nadila belum pernah merasakannya?

-WOC-

Juna bersenandung kecil seraya memainkan gitarnya di teras atas rumah.
Jangan tanya kenapa orang ini hanya berbaju singlet dengan celana diatas lutut, karena nyatanya Juna bukan orang yang malas seperti adiknya, Dena.

Ini jam 12:30. Tapi tak ada juga tanda perempuan malas itu bangun dari kemalasannya.
"DENAA!" Juna sudah duga ini akan terjadi. Pembantu handal itu pasti akan mengurus adiknya.

"Hey, Juna. Kamu nggak siap-siap?" tanyanya setelah mendengar Juna menggesek senar gitarnya.

Juna menoleh
"Sekarang, mbok" ujarnya menyengir kuda.

"Lah, dari tadi masih main,toh" lalu Juna mendapat tatapan kecewa. Juna berjalan menuju lemari kamarnya. Kalender terletak pada sebelah lemari membuat gerakan tangan Juna terhenti setelah otaknya mencerna maksud lingkaran merah di kalender.

Kepalanya mengkerut, mengingat seorang perempuan.
"Yang penting, Semoga Yogi ingat" ucapnya sendiri.

-WOC-

Tbc

With(out) ColdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang