Chapter 7

20 12 8
                                    

Disaat semua bermain asap-asapan dengan kabut atas gunung, hanya Nadila saja yang bisa tertunduk lemas memandang jaket bulunya.

Kemana Aruna dan temannya yang lain, jika bukan sibuk selfie dan bergaya di hadapan hamparan luas yang begitu memanjakan mata.

Tadinya memang Tiara sudah menyadari keberadaan Nadila yang tak terurus, akan tetapi Tiara seperti tak rela mengajak Nadila bicara. Keputusan Tiara hanya bisa memihak pada Aruna yang juga setuju untuk meninggalkan Nadila, lantaran Nadila sendiri yang berkata demikian.

Beberapa suara kamera sudah menghiasi arena gunung bromo yang amat indah. Gunung ini begitu menawan dengan pesona alam yang diistilahkan 'indonesia banget'. Belum lagi para penghuni wilayah yang makin membuat tour mereka menyenangkan.

"Ru, seriusan? Kamu rela lihatin Nadila murung gitu? Kaya habis kena malaria" ucap Tiara serius.

Perhatian Aruna teralihkan ke arah Nadila
"Kamu itu, loh Ti! Ini kan acara tour akhir tahun! Bahagia dong, jangan urus orang yang nggak niat ikut"

"Iya tapi, Ru. Lo sebenarnya udah lupa atau gimana? Kan elo yang bawa kuenya? Terus orang ulang tahun, lo buang dia gitu? Lo itu rada bego ya?" Tiara sangat terkejut dengan balasan Aruna. Itu lewat dari batasan, seharusnya Aruna yang paling mengerti,lantaran ialah teman duduk Nadila, tapi apa?

" Kenapa sih, Tiara cantik? Gue kali yang maksa dia agar bisa ikut kesini, Lah harusnya berterimakasih dongg!" Ucap Aruna kini berlagak seperti orang yang sedang menggelut kekasih.

"Lo? Bohong dosa, Ru! Nggak ada orang tua yang bakal buang anaknya. Ini sama! Lo seperti ngajak Nadila kesini tapi lo buang dia! Bullshit is that?" Suara Tiara hampir sekali membuat Nadila sadar, tapi Aruna buru-buru membekap mulut sahabatnya itu dengan tangannya. Tangan yang lain menarik ke suatu tempat yang lebih sunyi.

"Gue ceritain deh! Biar anak mama yang satu ini bisa belajar berterimakasih" Lalu dengan nada agak disengaja, Aruna menghentakkan tangan di telapak tangan lainnya.

"Fast dong" Tiara tak ingin membuang waktu.

Dentingan telepon berbunyi sesaat setelah pelajaran Bu Hani berakhir. Nama yang Nadila rindukan, kini terpapar jelas di layar persegi panjang miliknya.

"Halo, ma? Apakabar" walaupun bukan Nadila, mamanya lah yang lebih harus mendengar banyak ocehan dari putri tunggalnya.

"Haii! Mama baik, Kamu gimana disana?" Suara mama Nadila tak terlalu jelas, karena itulah Nadila bertanya balik.

"Mama? Mama lagi ngapain disana? Rame banget? Lagi demo tolak reinkarnasi? Eh, reklamasi?" Ucap Nadila tanpa dasar bicara, alias ngaco.

"Apasih kamu! Masa gini aja nggak tahu?! Kalo di korea mana ada yang rame-rame selain lagi natap kembaran papa kamu di atas panggung?"

Wajah Nadila yang semula tersenyum, kini dibuat datar.
"Oppa aja terus, ma"Nadila sudah tahu tujuan mamanya ikut. Jika bukan mencari parfum, apalagi selain menonton para idol korea yang sedang pamer wajah di depan banyak fansnya?

"Mama udah,deh. Pensiun dulu koreanya! Anaknya disini dibiarin. Emangnya udah rencana adopsi yang mana?" Ucapan Nadila semakin mengacau setelah sudah mendapat posisi sendiri di taman bagian belakang sekolah.

"Eeeh!, yang itu siapa namanya ya? Ju- juun- jungg- apasiih, bukan pa!" Sepertinya mamanya mulai berdebat dengan sang ayah.

" Jung siapa ya? Yah pokoknya mama cuma mau bilang-- AWWW! MEREKA MUNCUL!!!"
Telepon putus begitu saja.
Pertama kali dalam dua minggu.

With(out) ColdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang