01. mengapa menyapa?

83 6 3
                                    

Di pagi hari yang cerah ini, Lusi sudah mendapat hal yang menjengkelkan. Dengan rasa ngantuknya, mau tidak mau ia harus berdiri di lapangan olahraga dan hormat pada ring basket sampai pelajaran Bu Hera selesai. Jika guru lain memberi hukuman untuk hormat pada tiang bendera, hanya hukuman Bu Hera-lah yang berbeda.

Dengan keringat yang sudah bercucuran, Lusi melihat jam tangannya yang menunjukkan bahwa masih ada waktu 27 menit lagi untuk lepas dari hukumannya. Mungkin orang-orang yang ada disekitar sana heran melihat seorang Lusi tengah dihukum. Mana mungkin ia siswi yang aktif, pintar dan sangat sopan pada guru bisa terkena hukuman?

1 jam sebelumnya

"Lusi!" Panggil Bu Hera yang sedang memeriksa tugas dari murid-murid kelas 11 IPA 3.

"Saya bu?" Jawab Lusi dengan sedikit ketakutan. Belum pernah Lusi mengalami seperti ini.

"Sini kedepan." Semua murid yang ada dikelas itu sontak melihat ke arah Lusi yang berjalan menghampiri meja guru.

"Kenapa kamu hanya menulis soal-soal tugas dari saya? Biasanya kamu selalu mengerjakannya dengan lengkap dan jawaban yang tepat." Ujar Bu Heru dengan nada kecewa.

"Maaf bu. Saya nggak sempat mengerjakannya sampai selesai. Tadi malam saya ketiduran."

"Nggak sempet? Terus kamu ngapain aja dirumah? Ibu aja bisa ngajar sambil ngurusin rumah. Masa kamu anak sekolah ngerjain tugas aja nggak selesai. Aktif di ekskul itu boleh, tapi jangan sampai menyampingnya akademik, Lusi. Percuma nilai ulangan kamu besar tapi nilai keseharian kamu kecil."

Lusi masih menunduk mendengar ocehan Bu Heru yang panjang kali lebar.

"Sudah duduk kembali. Ibu mau tugas ini selesai pulang sekolah nanti."

"Baik bu." Lusipun duduk kembali ke tempatnya dan murid-murid kembali fokus pada buku masing-masing setelah melihat kejadian langka tadi.

Menghafal dialog ekskul teater dan banyaknya kegiatan OSIS membuatnya akhir-akhir ini merasa badannya kurang fit. Waktu tidurpun hanya sebentar sehingga waktu belajar Lusi sangat berkurang. Ketika ia sedang mencari-cari jawaban dari tugas yang Bu Hera berikan, tak sadar dirinya tertidur pulas.

"Si, Lusi..." Panggil Dira, teman sebangkunya.

"Lo tidur ya? Woi, bangun!" Panggilnya lagi sambil menyikut lengan Lusi.

"Lusi... kebo banget dah punya temen. Lusi! ketauan Bu Hera mampus lu!"

"Nandira. Ada apa?" Ucap Bu Hera yang sangat jeli dengan sekelilingnya.

"Eh, nggak kok bu. Nggak ada apa-apa." Jawab Dira berusaha menunjukkan senyumannya seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Walau kakinya menginjak-injak kaki Lusi yang tak bangun-bangun.

Melihat itu Bu Hera pun menghampiri meja Dira, yang juga meja Lusi. Dan untuk kedua kalinya Lusi mendapat ceramahan dari Bu Hera juga perintah hukumannya.

-

Lusi yang tadinya berkeringat kepanasan merasa bahwa suhu tubuhnya malah menjadi dingin. Kepalanyapun mulai pening terkena sinar matahari. Ia rasa wajahnya sudah memucat sekarang.

Tiba-tiba saja ada seorang laki-laki berkaos olahraga yang berlari didepannya, mengejar bola basket yang terlempar.

Melihat orang itu, pandangan Lusi langsung terfokus pada ring basket. Mengalihkan.Walaupun sebenarnya ia sudah sangat tidak kuat dengan teriknya matahari diatas sana.

"Lusi, ngapain?" Tanya si laki-laki.

Mendengar suaranya saja, sanggup membuat jantung Lusi berdegub lebih kencang. Tapi ternyata, ia bukan saja tidak sanggup untuk menatap dan berbicara dengannya. Lusi sudah tidak sanggup berdiri, sehingga terjatuh, lalu semuanya terlihat gelap.

30 menit kemudian

"Lusi? Kamu udah sadar?" Nandira menepuk kecil salah satu punggung tangan Lusi.

Lusipun mengerjapkan kedua matanya. Mencoba mengingat kembali kejadian sebelumnya.

"Allhamdulilllah deh kalau udah sadar. Sini minum teh anget dulu." Diambilnya teh hangat oleh Nandira lalu diberikan untuk Lusi.

Setelah meminum teh hangat, Lusi terdiam. Ia baru ingat apa yang telah terjadi.

"Nan, tadi aku pingsan?" Tanya Lusi.

"Iya Si... kaget banget pas aku dikasih tau Bu Nia kalau Lusi itu pingsan. Aku takut kenapa-kenapa. Ya udah sebagai perwakilan kelas buat nemenin kamu aku langsung lari deh ke UKS. Untung aja sekarang kamu udah sadar." Jelas Nandira dengan wajah paniknya.

"Makasih ya Nad. Sumpah sampe sekarang kepala aku masih pusing, lemes juga."

"Abis minum obat mau ke kelas lagi atau izin pulang aja? Nandira anterin kok, tenang aja. Lagian Nandira bawa motor kok." Ajaknya dengan semangat.

"Ya elah. Itu sih mau lo, biar bolos sekolah!" Kata Lusi sambil tertawa.

"Udah yuk sekarang keluar aja, nggak enak sama guru dikelas. Udah lebih dari setengah jam loh aku disini." Ujarnya yang mulai bangkit dari ranjang.

"Ke kantin dulu aja gimana? Biar aja tuh guru guru tau Lusi abis pingsan karna dihukum Bu Hera. Tadi juga Bu Nia sempet bilang, kalau Lusi belum sarapan boleh ke kantin makan bubur dulu." Nandira menghampiri Lusi yang sudah berjalan ke arah pintu.

"Nggak gitu juga, Nan. Emang salah aku kok. Nggak jaga pola makan, terlalu sibuk sampai lupa sama pelajaran."

"Oke, oke. Terserah kamu deh, yang penting sekarang kita ke kantin. Oke gak?" Tanya Nadia dengan wajah yang sumeringah.

"Oke deh." Mereka berduapun jalan beriringan menuju kantin. Sesampainya dikantin, Lusi memesan semangkuk bubur ayam. Sedangkan Nandira memesan jus Alpukat kesukaannya. Walau sebenarnya tugas Nandira hanya menemani, bukan ikut-ikutan jajan.

Sambil menunggu pesanannya datang, Lusi dan Nandira memilih tempat duduk. Masih ada waktu 20 menit sampai jam istirahat, namun ada suara berisik orang-orang yang datang ke kantin.

Lusipun menengok kebelakang, dimana pintu masuk kantin berada.

Anak kelas 12 rupanya. Mereka semua masih memakai kaos olahraga yang sudah pasti baru saja selesai pelajaran olahraga.

Ketika Lusi hendak menyuapkan bubur ayam ke dalam mulutnya, tiba-tiba saja ada yang menghampiri mejanya.

"Lusi, udah sehat?" tanya orang itu.

Dengan ragu, pandangan Lusipun mengarah pada orang yang berada disampingnya.

Langit.

Tak usah melihat raga dan wajahnyapun, perempuan ini sangat hafal dengan suara dan gaya bicara Langit.

Nandira yang gemas melihatnya langsung mengode Lusi agar menjawab pertanyaan Langit.

"Ci," Mata Nandira melirik-lirik ke arah Langit.

"Eh? iya, udah ka." Lusi tersenyum tipis pada Langit, dan menatap matanya sekilas. Hanya sekilas, sebelum dia benar-benar mematung.

"Bohong ka, masih sakit. Tuh liat aja mukanya pucet, males makan lagi." ujar Nandira yang dari dulu selalu sok ikut nimbrung dengan mereka berdua.

"Apaan sih Nan?" Wajah Lusi mendadak terlihat sangat badmood.

Langit hanya tertawa kecil melihat ekspresi Lusi.

"Suapin tuh temennya." Ucap Langit pada Nandira.

"Haduh nggak deh ka, males." jawabnya sambil mengibas rambut, alay mode on.

"Eh,eh. Siapa juga ya yang mau disuapin sama lo? Entar bukannya masuk mulut malah ke hidung lagi." perkataan Lusi membuat Langit tertawa. Receh.

"Duluan ya Lusi." Pamitnya sambil tersenyum lalu melangkah meninggalkan Lusi dan Nandira. Lusi hanya mengangguk walau tahu Langit tidak melihatnya.

Ia kembali memakan buburnya. Masih termenung memikirkan orang yang baru saja pamit dihadapannya.
Kenapa orang itu hadir lagi dihadapannya? Bukannya sudah asing jika bertemu? Memang, Lusi siapanya Langit?

to be continue


next?





Lusi & LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang