07. night changes

39 3 0
                                    

"Assalamualaikum. Silahkan masuk para tamu yang tak diundang." Aku membuka pintu rumah yang tak ada satupun orang didalamnya. Nandira, Rafi, An, beserta Niko mengikuti langkahku untuk pergi ke lantai atas.

Sewaktu pulang sekolah

"Lusi, Nandira, diantara kalian nggak bawa motor kan?" Tanya Rafi tiba-tiba. Aku dan Nandira menggeleng.

"Bagus!" Rafi mengacungkan jempol. Lantas berjalan menuju parkiran.

Dari kejauhan, terlihat An dan Niko yang sedang berbincang-bincang seraya memakai jaketnya. Merasa ada yang menghampiri, mereka berduapun menengok ke arah kami. Pandangan Niko langsung tertuju pada Nandira. Akupun melirik pada sahabat bawelku yang tengah berdiri disampingku. Rupanya ia tengah tersenyum manis dan matanya memberi kode. Entah, kode apa.

"Assalamualaikum bro, bro." Rafi, Niko dan An bersalaman.

"Waalaikumsalam."

"Langsung pada pulang nih? Nggak mau main dulu gitu?" Tanya Rafi. An langsung menggeleng, menjawab tidak.

"Mau main kemana? Gue mau-mau aja." Sahut Niko.

"Ke rumah Lusi. Mau traktir kita, dia." Rafi mengucapkannya dengan tampang mutados.

Aku yang berada dibelakangnya hanya melotot. Jelas-jelas kita bertiga ke rumahku hanya untuk kerja kelompok?

"Weh gak bilang-bilang nih, Lusi." Nandira menaiki alisnya seraya menyikutku. Apa-apaan ia terkena omongan Rafi?

"Ya udah, berhubung mereka berdua nggak bowa motor. Nandira nebeng sama Niko. Lusi sama Farhan aja. Kalo lo naik motor gue, lo harus nonggeng karena jok motor gue yang tinggi." Kata Rafi sambil memeragakan bagaimana posisi nungging jika aku menaiki motor ninjanya. Dan itu berhasil membuatku tertawa.

"Udah, sekarang cabut!"

Bagaikan seorang leader genk, Rafi memerintahkan kita untuk segera menaiki motor masing-masing. Dengan senang hati Nandira sudah nempel di jok motor Niko. Sedangkan An dengan tampang super duper selownya, ia langsung menaiki motornya dan memakai helm. Lantas menaikkan dagunya, menyuruhku untuk cepat menaiki motornya dan menancapkan gas menuju rumahku.

Aku hanya terdiam bingung. Rafi yang tiba-tiba datang ke duniaku dan Nandira seakan-akan telah menjadi sahabat dekatku. Mengajak teman kelas lain ke rumahku pula. Kalau An, akupun sudah kenal dekat dengannya. Sedangkan Niko? Baru tahu mukanya saja beberapa hari yang lalu. Apa jangan-jangan, rumahku menjadi modus Nandira agar bisa bersama Niko? Haduh-haduh, benar-benar tidak modal. Pikiran jahatku membuatku geleng-geleng.

"Ngapain geleng-geleng?" tegur An. Lihat-lihatya saja ia.

"Gabut."

Iapun terkekeh. Ikut menggelengkan kepala.

"Lah itu ngapain geleng-geleng?"

"Gabut." Jawabnya. Akupun mendorong bahunya sebal membuat motornya sedikit oleng.

Setelah itu, tak adalagi perbincangan. Aku hanya menatap toko-toko dipinggir jalan yang kulewati. Hari demi hari, pedagang asongan yang biasa berada dipinggir jalan berkurang. Trotoar diperbesar. Lingkungan dipercantik. Namun, bukannya aku tak suka. Aku hanya rindu suasana kota yang seperti dahulu. Memang terlihat sedikit ramai, berantakan, pedagang tak sesuai tempat, tapi itu yang membuat orang-orang merasakan berada di kota ini.

Dulu, sering sekali aku dan ka Leo menemani Almarhum ibu untuk pergi ke pasar tradisional kota yang besar. Namun, baru sampai dipertengahan jalan menuju pasar, ka Leo sudah merengek agar dibelikan jajanan. Ibupun menurutinya, akhirnya kita duduk dipinggir jalan yang ramai terlebih dahulu. Ramai dengan orang-orang tak saling kenal yang akhirnya bertukar cerita, becak berlalu lalang, dan delman yang selalu berhasil menyita perhatian anak-anak. Sedikit sekali polusi udara yang ditimbulkan.

Lusi & LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang