05. asing

29 3 0
                                    


Siang ini hampir seluruh murid kelas 11 IPA 3 tengah memijit dahinya, mengucek matanya agar terus melototi kumpulan angka di papan tulis, mengecek berulang kali jam menunggu bel berdering, mencorat-coret halaman buku paling belakang, dan sebagainya.

Pelajaran apa lagi kalau bukan matematika? Baiklah, bukannya kami sangat-sangat benci dengan matematika. Tapi lihatlah, Pak Usup hanya menulis soal dan ia kerjakan sendiri. Entah rumus itu datang darimana. Entah nilai itu dapat darimana.

Memang, kita harus pintar-pintar belajar sendiri.

Ketika suasana kelas sedang sepi-sepinya karena Pak Usup baru saja memberikan latihan soal, suara ketukan pintu mengambil alih perhatian seisi kelas dari buku tulis.

"Masuk." Ucap Pak Usup.

Pintu terbuka. Memperlihatkan dua siswa yang tersenyum ke arah meja guru. Namun seperkian detik kemudian senyumnya berubah menjadi wajah yang sedikit ketakutan.
Atau lebih tepatnya, seperti terkena zonk.

Dan seperkian detik juga, ketika keduanya masuk ke dalam kelas-jantungku berdetak lebih kencang. Seluruh sistem dalam tubuhku seakan-akan terhenti sejenak. Aduh, mau sampai kapan aku akan seperti ini.

Bukannya lebay, tapi begini kenyataannya. Melihatnya membuatku senang tak karuan dan sakit begitu dalam.

Nandira menyikut lenganku. Akupun menengok ke arahnya. Kemudian ia hanya melirik orang yang tengah berada didepan kelas. Memberi kode bahwa, itu ada Langit disana.

Seseorang yang berada disamping Langit tengah berbincang dengan Pak Usup.

"Disini ada Rafi?" Tanya Pak Usup dengan kacamatanya yang telah menurun dari tempatnya.

Dengan semangat dan senyum sumeringah, Rafi si ketua murid yang aktif ekskul pramuka ini mengacungkan tangannya. Bisa dipastikan, ini detik-detik ia dispensasi.

"Silahkan untuk meninggalkan kelas untuk keperluan perlombaan."

Dengan semangat yang membara, Rafi bangkit dari tempat duduknya. Rafi, Langit, dan orang yang tak kukenali itupun pamit pada Pak Usup lalu pergi meninggalkan kelas.

Melihat itu, beberapa murid terdengar mengeluh. Berharap bahwa ada malaikat yang memanggil mereka untuk keluar dari kelas ini seperti Rafi. Malaikat baik, bukan malaikat maut pastinya.

"Pak! Saya sama Lusi izin ke toilet sebentar." Mendengar suara yang keluar dari mulut Nandira, membuatku menatapnya bingung.

"Kerjakan dulu latihan soalnya."

"Sebentar aja pak. Perempuan." ucapnya Nandira memelas.

"Semua orang juga tau kalau kalian perempuan." Pak Usup ini memang ketus, aku gemas sekali melihatnya:)

"Maksud saya. Urusan perempuan pak!"

Tiba-tiba saja Abby si biang kerok kelasku buka suara. "Mau ganti roti jepang kali pak!"

Lantas murid-murid seisi kelas menertawakan omongan Abby. Begitu juga denganku. Sedangkan Nandira menatapku sinis membuatku berhenti untuk tertawa.

"Ya sudah, cepat!"

Tanpa basa-basi, Nandira menarik lengankuku untuk pergi keluar kelas dan mengucap terima kasih pada Pak Usup.

Sebenarnya, sejak tadi Nandira tidak memberi kode sama sekali jika ingin pergi ke toilet. Tapi selagi hal ini membuatku keluar dari kelas, aku ikut saja.

Sampai diluar kelas, aku belum bertanya apa-apa pada Nandira. Hanya saja, saat di pertigaan-kenapa ia berbelok ke kiri? Toilet kan disebelah kanan?

Lusi & LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang