Napas Kenan memburu begitu ia mendudukkan tubuhnya secara tiba-tiba. Memgamati sekeliling, kemudian merutuki dirinya sendiri.
"Kenapa aku bisa ketiduran di UKS?"
Segera ia menyambar kamera yang tergeletak di sampingnya kemudian berlari keluar.
Langit sudah hampir gelap dan sekolah sudah sepi. Ia mengamati sekeliling, berharap dirinya tak benar-benar sendirian di sekolah itu. Kakinya langsung melangkah cepat menuju kelas untuk mengambil tas begitu melihat masih ada satu dua orang di koridor yang juga bersiap untuk pulang. Begitu ia ke parkiran ia mendapati hanya sepeda ontelnya yang terparkir di sana. Gadis itu mengatur napas sejenak sebelum akhirnya mengayuh sepedanya dengan cepat.
Bayangan akan dirinya yang mendapat omelan dari kedua orang tuanya memenuhi kepalanya. Beruntung kalau hanya omelan, kalau kalimat sarkastik dari ayah yang menjadi sambutannya ketika ia sampai rumah pasti akan menyakitkan. Atau lebih parah lagi ia harus menuruti aturan baru yang ditentukan ayahnya. Berbagai pikiran negatif itu membuat Kenan memutuskan untuk memilih jalan pintas menuju rumahnya.
Jalanan itu cukup sepi sampai akhirnya samar-samar dia melihat dua orang pria berseragam yang berjalan memasuki gang gelap. Ia menekan rem sepedanya setelah beberapa meter melewati gang itu. Sesuatu yang dilihatnya sekilas menarik perhatian Kenan.
Gadis itu melangkahkan kakinya mendekati bibir gang seiring telinganya menangkap samar-sama suara pukulan dan makian dari tempat gelap itu. Entah kewarasannya sedang berkelana ke mana, Kenan malah mengangkat kameranya. Mengabadikan adegan seorang pria yang menghabisi lawannya dengan jepretan kameranya.
Pria yang ingin melancarkan pukulan terakhirnya itu menghentikan tangannya di udara ketika matanya menangkap cahaya sekilas dari belakang. Kenan yang menurunkan kameranya perlahan dapat menangkap ekspresi terkejut pria itu saat bersitatap dengannya, meskipun langsung tersamarkan oleh ekspresi dingin dari pria itu. Gadis itu mematung di tempat ketika pria itu berjalan mendekat, tatapannya terpaku pada bola mata sekelam malam di hadapannya.
Tatapan pria itu entah mengapa menggambarkan amarah, rasa sakit, rasa penasaran, dan kesepian dalam waktu bersamaan. Tanpa sadar tangan Kenan kembali terangkat, memposisikan kameranya di depan wajah sebelum akhirnya mengabadikan objek misterius di depannya.
Begitu lampu flash pada kameranya menyala sekilas, dirinya baru sadar akan apa yang ia lakukan. Dia langsung bergegas keluar dari gang itu dan mengayuh sepedanya dengan kencang.
***
Kenan segera memasukkan sepedanya ke garasi setibanya di rumah. Diliriknya jam yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 18.30 WIB. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya memasuki rumahnya.
Begitu melangkah masuk ia langsung dihadapkan pada ayahnya yang sedang sibuk dengan laptopnya.
"Assalamualaikum," ucap Kenan lirih yang dijawab sang ayah tanpa mengalihkan pandangan dari bacaannya.
Kenan melangkah pelan menuju kamarnya dengan kepala tertunduk, berharap tidak ada interogasi terhadapnya. Namun suara berat ayahnya meruntuhkan harapannya.
"Kenapa baru pulang?"
Gadis itu menghentikan langkah, memutar tubuhnya menghadap sang ayah.
"Mm... Kenan ikut ekstrakurikuler, Yah."
"Ekstrakurikuler apa yang sampai jam setengah tujuh?"
Seperti biasa, suara Ayah tegas dan dingin. Ditambah lagi dia berbicara tanpa memandang Kenan.
"Tadi ban sepedaku--"
"Mulai besok biar diantar sopir."
Kenan menggigit bibir ketika mendengar nada absolut keluar dari bibir sang ayah.
"Sepedanya udah bener kok Yah. Kenan janji nggak akan pulang telat tanpa ijin lagi."
"Kalo kamu ngelanggar hukumannya apa?"
Kali ini Ayah menutup laptopnya, memusatkan perhatian pada putrinya.
Kenan kembali menundukkan kepalanya sembari meremas kedua tali tasnya.
"Ayah boleh sita kameraku," ucapnya lirih sembari memandang kamera yang tergantung di lehernya.
"Oke. Diterima." Derap kaki Ayah terdengar setelahnya. Kenan merasakan tepukan pelan di kepalanya sebelum Ayah melewatinya.
"Tiga puluh menit lagi Ayah tunggu di meja makan."
Kenan mengembuskan napas panjang. Ia harus segera mandi dan makan malam sebelum ayahnya benar-benar marah dan menetapkan aturan baru yang lebih mengikatnya.
***
Kenan menatap sendu foto berbingkai yang menampakkan dirinya bersama seorang pria. Dua wajah yang tampak mirip itu terlihat begitu bahagia dengan kamera di tangan sang gadis dan bola basket di tangan sang pria.
Ia menghela napas, kembali meletakkan foto itu di nakas. Sejujurnya ia rindu suasana hangat yang tercipta saat pria itu masih ada di tengah-tengah keluarganya. Makan malam yang dirasakannya sepuluh menit lalu sangat berbeda dengan makan malam tiga tahun lalu saat pria itu masih ada.
Lamunan Kenan buyar ketika pintu kamarnya terbuka diikuti wanita paruh baya yang memasuki kamarnya.
"Bunda."
"Kenapa tadi pulang terlambat? Apa terjadi sesuatu di sekolah?"
Bunda ikut duduk di tepi kasur sambil mengelus pelan kepala Kenan.
"Kalo Kenan bilang Kenan ketemu Kak Kenzo apa Bunda percaya?"
Bunda tampak terdiam, kemudian mengalihkan pandangan.
"Ken, sampai kapan sih kamu mau terbayang-bayang kakak kamu terus? Kamu harus terima dia itu sudah meninggal."
"Tapi Kenan serius, besok Kenan kasih lihat fotonya ke Bunda deh."
Bunda memandang Kenan sesaat, ada perasaan sedih yang tersirat dalam tatapannya. Namun wanita paruh baya itu memutuskan untuk beranjak meninggalkan putrinya.
"Jangan sampai ayah kamu tahu alasan kamu bersikeras sekolah di SMK Bhinneka ada hubungannya dengan Kenzo, atau ayah kamu akan memaksamu sekolah privat."
Kenan mengembuskan napas berat setelah Bunda menghilang di balik pintu. Ia membanting tubuhnya ke kasur, memandang langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong.
Ia mengusap wajahnya dengan kasar sebelum akhirnya meraih kameranya di atas nakas dan kembali ke posisi semula. Tatapannya fokus melihat-lihat hasil jepretannya seharian ini. Rasa penasaran kembali menyergap ketika ia mendapati foto terakhirnya tadi. Dipandanginya seorang pria dalam foto itu, ia merasa tatapan pria itu seperti hewan buas di malam hari. Namun entah mengapa ia menyukainya.
Sudut bibir Kenan terangkat ke atas. "Raydo Andreas ya," gumamnya ketika membaca badge nama di dada kanan pria itu. Entah dorongan dari mana, ia tiba-tiba bangkit dan meraih HPnya untuk mencari informasi tentang pria itu di media sosial.
Dan yap, beberapa menit kemudian dia sudah mendapat informasi tentang pria itu. Siswa STM kelas sebelas yang jaraknya tak begitu jauh dari sekolahnya. Dari postingan di akun Instagramnya dapat Kenan simpulkan dia salah satu siswa yang mengangap aturan dibuat untuk dilanggar.
Pikiran Kenan kembali menerawang pada kejadian tadi. Mempertanyakan akal sehatnya sampai dirinya dengan santainya memotret seorang berandal yang sedang berkelahi.
Menghela napas, ia memutuskan untuk tidur setelah menekan follow pada akun Instagram Raydo Andreas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Freedom Fake
Teen FictionKebebasan palsu. Kebebasan yang hanya berlaku pada ragamu, tetapi tidak dengan hati dan batinmu. Ia membuatmu seolah bisa menjelajah dunia, namun sebenarnya ada sel tak kasat mata yang membelenggu jiwa. Ia adalah sesuatu yang lebih mengekang daripad...