Haruto Watanabe

132 20 0
                                    

Watanabe hidup dengan tumpukan buku di kamar sebelah. Suara gesekan bolpen diatas kertas seringkali mengundang rasa penasaranku hingga mendatangi kamarnya—hanya untuk kembali melihat dirinya sibuk menulis. Sering pula aku melihat Watanabe frustasi ketika bolpen miliknya kehabisan tinta. Atau ketika tintanya bocor diatas kertas, maka dirobeklah kertas tersebut tanpa segan.

Watanabe tidak pernah terganggu dengan diriku yang akan mengambil salah satu dari tumpukan buku miliknya, menaiki kasurnya untuk kemudian mulai membaca apa yang telah ia tulis.

Sejauh ini, buku dengan halaman depan bertuliskan "Watanabe" adalah buku favoritku. Buku itu ia beli di toko buku terdekat bersamaku satu tahun lalu, kangen Jepang, katanya, ketika kutanya alasan mengapa membeli buku baru ketika buku lama belum selesai ia lengkapi.

"Watanabe, kamu gak pegel?"

"Pegel," katanya tanpa menghentikan aktivitas menulisnya.

"Kisah siapa yang kamu tulis kali ini?"

"Bang Yedam,"

"Dimana letak keistimewaan si Yedam ini?"

"Dari atas kepala sampai ujung kaki,"

"Oh ya? Kalau udah selesai, aku mau pinjem," kataku cukup antusias sambil membalikkan lembaran buku yang kubaca.

Watanabe menengok kearahku kemudian menggelengkan kepalanya, "Kali ini kamu harus izin ke Yedam sendiri kalau mau baca,"

"Aku kan gak kenal Yedam siapa?"

Watanabe bangun dari kursi menuju kasur, segera merebahkan diri disebelahku. "Aku jamin buku Yedam bakal jadi buku favoritmu dibanding ini," katanya sambil mengambil alih buku berjudul "Watanabe" dari tanganku. Buku yang sebagian besar isinya menceritakan keluarga Haruto Watanabe sendiri.

Catatan WatanabeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang