Bagian 2

83 7 0
                                    

Pagi ini sangat cerah. Mentari berhasil menyirami seluruh bumi dengan cahayanya yang di penuhi dengan rahmat Tuhan. Begitupun dengan tanaman biji-biji kopi yang ada di kebun milik Jeje. Walau kebunnya tak sebesar kebun teh yang ada di sebrang bukit.

Sesampainya mereka di sana. Terlihat ada seorang bapak paruh baya sedang memanen biji kopi yang ada di kebun milik Jeje.

"Gimana pak Iman? sudah panen banyak hari ini?" Tanya Jeje kepada penjaga kebunnya.

"Iya ini neng. Hari ini lumayan banyak."

"Sini pak biar saya yang terusin. Pak iman istirahat saja."

"Baik neng." Pak Iman permisi dan beranjak pergi.

Joy yang hanya berdiri melihat pemandangan dari atas bukit. Melihat pedesaan dari atas sana. Joy teringat seseorang. Memandangi pemandangan yang terhampar luas. Disisi kiri ada danau yang di sinari langsung mentari pagi hari dan di sisi kanannya terdapat rumah-rumah penduduk desa yang tersusun rapih.

"Bantuin gw gih dari pada lo bengong aja."

"Iya-iya."

Joy menyusul Jeje yang sedang memetik biji-biji kopi yang sudah siap panen.

"Je kok lo suka banget si sama kopi."

"Kenapa harus ga suka?"

"Ya.. contohnya gw ga suka kopi."

"Alaaaahh itu cuman lo yang gak tau cara menikmatinya."

"hhmm?"

Jeje berhenti melakukan aktifitasnya.

"Joy. Lo mau jadi Lighting Designer kenapa?" Tanya Jeje tegas.

"Karena itu salah satu impian gw."

"Selain itu?"

"Gw menikmatinya."

"Kopi juga seperti itu Joy. Pecinta kopi pada umumnya menyukai kopi karna mereka bisa menikmatinya. Sepahit-pahitnya kopi pasti ada banyak kenikmatan yang bisa di dapat. Jika kita berhasil menikmatinya tentunya." Lalu jeje melanjutkan aktifitasnya memetik biji-biji kopinya.

"Sepertinya sudah cukup Joy. Bantuin gw bawa ini semua ke gudang penyimpanan."

"Siap Bu Bos."

Mereka berdua istirahat setelah menaruh semua hasil panen kopi ke gudang penyimpanan.

Mereka duduk di bawah pohon yang cukup rindang. Dengan angin sepoy-sepoy yang menerpa meraba halus kulit mereka. Tiba-tiba pak Iman datang membawa beberapa minuman dingin dan sedikit cemilan.

"Ini neng silahkan."

"Ohiya terimakasih pak Iman."

"Saya balik ke gudang dulu ya neng, masih ada kerjaan soalnya."

"Loh ga ikut istirahat disini aja pak? Sudah istirahat dulu."

"Iya pak Iman bener istirahat saja dulu disini bareng kami." Potong Joy.

"Enggak apa-apa den. Silahkan istirahat, pak Iman istirahat di dalam saja. Kalau gitu permisi dulu ya. Bapak tak kedalam dulu."

Joy dan Jeje hanya mengangguk mengiyakan sambil tersenyum sopan.

"Sudah berapa lama pak Iman kerja sama lo."

"Baru dua bulan. Gw kasihan sama pak iman. Dia kerja sana sini untuk menghidupkan  istri dan kedua anaknya. Pak Iman pernah menjadi kulih bangunan. Sempat ada kecelakaan saat beliau bekerja. Mengalami patah tulang di bagian kaki kanannya. Tapi syukurnya sudah baikan dan bisa berjalan lagi. Gw membantu sedikit biaya berobat pak Iman kala itu, dan setelah sembuh gw menawarkan pak Iman kerja di kebun gw sekalian jaga kebunnya. Dan dia dengan senang hati menerima pekerjaan yang gw tawarin. Memang gajinya tidak besar tapi cukup untuk menghidupkan keluarganya."

"Pak Iman penduduk didesa ini?"

"Iya. Rumahnya enggak jauh kok dari sini. Nanti kalau agak sorean anaknya sering main kesini. Kadang membantu pak Iman mengurusi kebun."

"Oh begitu. Lo memang yang terbaik je, salut gw punya teman kaya lo." Jawab Joy sambil melempar kulit kacang ke arah Jeje.

***

Cakrawala menguning. Matahari hampir tiba di peraduan, Joy berbaring sejenak menatap atap langit dengan penuh rasa kekaguman. Angin berdesir membelai rambut, membentuk nyanyian surgawi di telinga.

Peria itu mengingat lagi wajah seseorang perempuan yang pernah memberikan segalannya, namun pergi tanpa memberi aba-aba. Di kepalanya selalu diisi dengan pertanyaan-pertanyaa "Bagaimana jika?" Itu yang sering kali membuatnya muak. Ia ingin berhenti, ingin melupakan. Namun semakun kuat melupakan, semakin ingin dia mengingat-ngingat segala hal tentang perempuan itu.

"Lo enggak balik? Sudah mau gelap."

"Dari mana Lo?"

"Ngebantuin Pak Iman beresin gudang. Sekalian pamit pulang." Jawab Jeje.

"Oh begitu."

Jeje membalas pesan-pesan yang ada di ponselnya. Sementara Joy masih berbaring di tempat yang sama.

"Je apa yang lo lakuin jika sepeninggal seseorang, dan lo masih punya pertanyaan-pertanyaan yang ingin lo sampaikan." Tanya Joy.

Jeje duduk di samping sahabatnya yang sedang berbaring sambil melihat langit yang mulai berwarna ungu, gemintang mulai bermunculan beradu indah dengan matahari yang berpamit pulang.

"Ya tinggal tanya saja." Jawab Jeje singkat.

"Gw serius Je."

"Tidak ada pertanyaan lain? Apa hanya itu pertanyaan yang ada di kepala lo? Menurut gw ya sudahi saja apa yang sudah usai. Toh hidup berjalan maju, bukan berjalan mundur."

"Ehh.. Sebentar. Lo dapat kata-kata itu dari mana?" Joy sontak terduduk.

"Kan lo sendiri yang bilang ke gw. Lo sering nasehatin gw seperti itu."

Joy tersenyum kecut.

"Pulang yuk." Ajak Joy.

"Kirain Lo tidur disini."

Joy melempar dedaunan kering ke arah Jeje. Mereka beranjak pergi dan segera pulang.

T A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang